Universitas Gadjah Mada Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT)
Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada
  •  Home
  •  Profil
    •  Visi-Misi
    •  Pengelola
    •  Tim Peneliti
    •  Kesekretariatan
  •  Galeri
  •  Kegiatan
    •  Eksaminasi
    •  Diskusi
    •  KKN Tematik
    •  Penelitian
      •  Trend Corruption Report
    •  Perekaman Sidang Tipikor
    •  School of Integrity
  •  Peraturan
  • Rubuhnya Pengadilan Kami
  • Beranda
  • Berita
  • page. 7
Arsip:

Berita

A suitable interpellation

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Certain members of the House of Representatives (DPR), all of whom are from the opposition Red-and-White Coalition, have filed an interpellation motion to question the policy of raising fuel prices.

This is not an unorthodox measure considering fuel is a key commodity, especially after the fuel-price rise.

Moreover, the Red-and-White Coalition positions itself as the government’s opposition.

Yet as Indonesia practices a presidential government system, would interpellation be suitable? Let’s look at the implication of this right to raise opinion toward impeachment.

Interpellation is the right of DPR members to request information from the government concerning imperative and strategic governmental policies widely affecting the lives of the people.

That is how Article 20A of the 1945 Constitution grants the right to House members, which is regulated further under the provisions in the Legislative Institution Law No. 17/2014, known as the MD3 Law. Interpellation provides the right for DPR members to compel the government to elucidate an undertaken policy.

Interestingly, interpellation is closer to the parliamentary system, where it is an instrument used by parliament to control policies run by the primus inter pares and his or her cabinet. However, interpellation is also found in countries with a presidential system.

Scott Mainwaring (1994) was reluctant to define interpellation as a trait distinguishing the parliamentary from the presidential system.

Indeed many presidential countries use interpellation as part of the checks and balances between the government and parliament. Thus it is wrong to reject the existence of interpellation, as it is not a proscribed practice in a presidential system.

However, there are some basic distinctions between interpellation in the parliamentary and presidential systems. Within the parliamentary system, interpellation is an initial process that can lead to a motion of no confidence that could dissolve a government with its cabinet, as interpellation assesses a government’ policies; one erroneous policy may result in a motion of no confidence.

Unlike in a parliamentary system, interpellation in a presidential system is used to request detailed elucidation of a policy, and only when the questioned policy meets the clauses for the removal of the president can the impeachment process be initiated.
Under our Constitution, interpellation may lead to impeachment if the president is found to have committed the deeds regulated by Article 7A of the Constitution — proven guilty of violation of the law through an act of treason, corruption, bribery or other acts of grave criminal nature, or through moral turpitude, and/or no longer meeting the qualifications to serve as president. Thus impeachment is constitutionally impossible on the grounds of a policy, unless the policy contains elements of legal violation.

This means that the notion that interpellation might lead to impeachment is an excessive fear. Interpellation in our presidential system is more of a control instrument and means of public deliberation of a certain policy, and is not a route heading toward impeachment.

Regrettably, though impeachment is legally unviable, it is not politically impossible. In Indonesia, politics repeatedly finds its own logic through unlawful means in many cases. And fear materializes itself in such a context; the Red-and-White Coalition as the very locomotive
of opposition is considerably hazardous in light of its recurring political maneuvers.

The fact that interpellation is a common conduct is inevitable. Fuel is a strategic commodity and has wide effects when its price rises. Currently, its wide effects are visible; rises in prices and tariffs, and other consequences. Requesting certain information is undeniably the constitutional right of DPR members.

Back to politics, it would be overly ambitious if interpellation were used as an instrument to initiate impeachment. Many suspect that DPR members will frantically seek justification to relate to Article 7A and then foster attempts for the freedom of opinion rights that will culminate in impeachment.

This is the point where legal consciousness and political maturity are required from both the government and the House. The government should not deny the existence of interpellation. It must be aware that interpellation is a constitutional mechanism provided to extend the checks-and-balances principle between the branches of power.

At the same time, the House should not treat interpellation as a mere political tool and forget the origin of its juridical significance in the 1945 Constitution.

Only through legal consciousness and political maturity can interpellation be a good solution in maintaining our presidential system. Otherwise its use would disrupt the image of Indonesia and its presidential system, and eventually, lead to increasing divisions in the House, the government and society.

artikel ini pernah diterbitkan oleh JAKARTA POST, pada 09 Desember 2014

Jaksa Agung dan Penegakan Hukum

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

PENUNJUKAN HM Prasetyo menjadi jaksa agung oleh Presiden Joko Widodo memunculkan banyak keraguan di kalangan masyarakat menyangkut prospek penegakan hukum pada era pemerintahan Joko Widodo-Jusuf Kalla. Ketika nama tersebut diumumkan, tak kurang dari delapan telepon kolega yang saya terima intinya mempertanyakan tiga hal utama. Pertama, apakah penunjukan tersebut melanggar aturan hukum, khususnya Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan. Kedua, apa alasan sesungguhnya di balik penunjukan HM Prasetyo. Ketiga, bagaimana nasib penegakan hukum oleh Kejaksaan Agung jika dikomandoi orang yang berlatar belakang partai politik, seperti HM Prasetyo

Melanggar UU Kejaksaan?

Jika dibaca detail dalam UU Kejaksaan, syarat menjadi Jaksa Agung memang hampir serupa dengan syarat untuk menjadi jaksa. Karena itu, ini hanya diatur secara minimalis dalam Pasal 20 UU Kejaksaan yang menyatakan bahwa syarat menjadi Jaksa Agung adalah, sebagaimana poin- poin khusus yang diatur dalam syarat menjadi jaksa, warga negara Indonesia yang bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, setia kepada Pancasila dan UUD 1945, berlatar belakang sarjana hukum, sehat jasmani dan rohani, serta berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela.

Selebihnya, posisi Jaksa Agung mutlak menjadi hak presiden untuk memilih siapa yang ingin dia tunjuk untuk menakhodai ”Gedung Bundar”. Sepanjang tidak merangkap jabatan-jabatan yang ditentukan di Pasal 21, sosok tersebut dapat dipilih sebagai Jaksa Agung.
Menarik untuk mencermati siapa HM Prasetyo. Adalah benar dia anggota DPR dari Partai Nasdem, yang berarti ia pejabat negara atau penyelenggara negara yang diatur menurut UU. Namun, apakah itu berarti ia melanggar Pasal 21 tersebut? Tentu saja tidak! Begitu dia dipilih dan sebelum dilantik, ia sudah mengundurkan diri sebagai anggota partai sehingga otomatis ia berhenti menjadi anggota DPR.

Artinya jelas tak ada rangkap jabatan yang terjadi. Pelanggaran atas UU Kejaksaan tidak terjadi. Menunjuk HM Prasetyo selaku Jaksa Agung adalah sah secara hukum.

Walau memang benar tidak ada aturan hukum yang dilanggar secara diametral oleh JKW-JK, pertanyaan tentang alasan penunjukan itu tetap menjadi penting. Hal ini mengingat karena sebelumnya terdapat sejumlah nama lain yang juga sempat digadang-gadang menjadi Jaksa Agung dan beberapa di antaranya cukup diterima publik.

Setidaknya ada tiga pertanyaan yang bisa diajukan menyangkut HM Prasetyo. Pertama, apa prestasi utama yang telah ditorehkan serta mendapatkan apresiasi publik secara berarti. Rasanya sulit untuk bisa melacaknya dengan detail. Jejak dari Kepala Kejaksaan Negeri Kotabumi (Lampung) hingga menjadi Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Umum di Kejaksaan Agung telah dilewati dan nyaris tak terendus prestasi yang cukup menonjol. Demikian pula dalam hal pemikiran dan terobosan. Hanya Presiden yang bisa menjelaskan alasan yang melatarbelakangi sehingga akhirnya dia yang dipilih. Prestasi adalah perlambang penting dari kapabilitas untuk menduduki jabatan Jaksa Agung.

Kedua, rekam jejak. Rekam jejak adalah perlambang penting integritas. Integritas adalah faktor yang tak bisa ditawar-tawar, sebagaimana ditegaskan dalam persyaratan menjadi Jaksa Agung berdasarkan UU Kejaksaan, yaitu berwibawa, jujur, adil dan berkelakuan tidak tercela. Syarat ini syarat mutlak karena tanpa ini, seorang Jaksa Agung dapat diberhentikan dari jabatannya.

Ketiga, yang tidak kalah penting adalah mengapa memilih orang yang punya akseptabilitas politik sangat tinggi. Hal yang boleh jadi, melebihi akseptabilitas publiknya. Harus diingat, posisi Jaksa Agung adalah penegak hukum. Konsep penegak hukum sesungguhnya adalah tidak boleh berpihak ke mana pun, kecuali pada keadilan yang jadi esensi dari hukum itu sendiri.

Sebagai sosok yang dekat dengan kepentingan politik, Jaksa Agung kali ini bukan tak mungkin terjerat dengan kepentingan politik sehingga menghilangkan esensi penegak hukum yang seharusnya berpihak semata-mata pada keadilan. Pada era pemerintahan pasca Soeharto, tercatat hanya satu Jaksa Agung yang berlatar partai politik kental.

Menyalakan sistem peringatan dini

Pilihan politik pada jabatan hukum ini menambah panjang keraguan terhadap tim penegakan hukum pemerintahan JKW-JK. Dalam posisi sebagai pemerintah, Presiden punya tiga posisi kunci yang berkaitan dengan penegakan hukum: Menteri Hukum dan HAM, Jaksa Agung, dan Kapolri. Sayangnya, JKW-JK telah memercayakan dua di antaranya kepada tokoh dengan latar belakang partai politik yang sangat kental. Hal ini memunculkan kekhawatiran terhadap prospek penegakan hukum pada masa pemerintahan JKW-JK.

Dalam hal itulah, sistem peringatan dini sudah harus dinyalakan keras dan tegas kepada tim hukum pada pemerintahan JKW-JK. Saatnya kita memberikan daftar pekerjaan rumah yang dapat menjadi indikator penegakan hukum dan keadilan pada era pemerintahan baru ini.

Kasus-kasus yang sudah dijanjikan untuk diselesaikan pada masa pemerintahannya oleh JKW-JK, misalnya pelanggaran HAM pada masa lalu, adalah salah satunya. Kita juga perlu menagih penyelesaian kasus hukum yang ditengarai melibatkan aktor-aktor politik. Selain itu, juga realisasi dari komitmen untuk segera melakukan bersih-bersih kejaksaan mengingat belum banyaknya kemajuan yang dibuat dalam reformasi internal kejaksaan selama ini.

Terakhir, salah satu yang paling penting adalah kemampuan kejaksaan untuk segera berkolaborasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Jika kejaksaan mau menguatkan pola kerja sama dengan KPK dan juga mau mengerjakan dengan sungguh-sungguh beberapa pekerjaan rumah di atas, bisa jadi kekhawatiran akan terjadi ”penegakan hukum rasa parpol” akan mereda.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 22 November 2014

Agunan SK Wakil Rakyat

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

BEBERAPA hari lalu, seorang kawan wartawan di Daerah Istimewa Yogyakarta mengajak berdiskusi mengenai posisi anggota DPRD atas risiko terlibat tindak pidana korupsi. Pasalnya, setelah mereka dilantik, banyak anggota mengagunkan surat keputusan (SK) pengangkatannya sebagai wakil rakyat ke bank.

Awalnya, saya menganggap itu hal biasa. Namun belakangan, fakta wakil rakyat ’’menggadaikan’’ surat keputusan tersebut tak hanya terjadi di DIY namun hampir di tiap daerah. Berdasarkan catatan media, jumlah pinjaman yang bakal diangsur oleh para wakil rakyat itu beragam. Minimal Rp 100 juta, bahkan ada yang berutang Rp 300 juta.

Menariknya, semua alasan yang dikemukakan relatif sama: guna menutup biaya politik. Pada bagian inilah kekhawatiran saya, dan juga konstituen/pemilih, mulai muncul. Biaya politik untuk Pileg 2014 memang tak bisa dimungkiri menggelembungkan utang setiap anggota DPR/DPRD terpilih.

Anggaran yang harus disiapkan untuk proses pencoblosan suara dan mengamankan pemilih disinyalir antara Rp 100 juta dan Rp 1 miliar, bergantung ’’kelasnya’’, apakah DPRD atau DPR. Tatkala hanya 1-2 wakil rakyat menggadaikan SK itu untuk menutup biaya politik, sepertinya wajar saja.

Menjadi tidak wajar setelah lebih dari separuh wakil rakyat menggadaikannya. Alasan paling utama adalah inkonsistensi pelaksanaan tugas dan kewenangan sebagai anggota legislatif secara kelembagaan akan terganggu dengan jumlah dan pembayaran pinjaman.

Logikanya sederhana, pendapatan yang seharusnya untuk memenuhi biaya kehidupan sehari-hari, dialihkan untuk mengangsur utang. Lalu, dari mana uang untuk makan, minum, membayar tagihan listrik, air, telepon, dan biaya sekolah anak?

Jalan Masuk

Asumsi sumber pendapatan yang bisa digunakan adalah korupsi, kolusi, dan nepotisme. Tiga sumber perantara itu adalah jalan masuk demi menutup pembiayaan sehari-hari dari yang seharusnya diperankan oleh pendapatan tetap sebagai anggota DPRD.

Korupsi, bagaimanapun akan membawa dampak buruk dalam pelaksanaan kewenangan. Robert Klitgaard melalui karyanya, Controlling Corruption (1988), menuliskan kembali laporan Josep Nye (1967) atas bahaya korupsi pada sektor pelaksanaan tugas dan kewenangan.

”Korupsi bukan membuka akses cepat bagi masyarakat dalam semua strata sosial, melainkan malah sebaliknya menciptakan stratifikasi sumber bagi elite borjuasi yang patrialistik,’’kira-kira begitu cuplikan laporan Nye.

Saya cenderung mengikuti pendapat Nye ketimbang mengakui bahwa ketika anggota DPRD menggadaikan SK tidak ada sangkut-pautnya dengan risiko untuk korupsi.

Mengagunkan surat pengangkatan untuk menutup biaya politik, hampir sama dan sebangun dengan memberikan ruang bagi anggota legislatif untuk bermain politik uang.

Ada efek lanjutan yang perlu dipikirkan serius. Efek lanjutan pertama; keterlibatan anggota DPRD dalam pembangunan, khususnya proyek infrastruktur, secara melawan hukum.

Bagaimana itu bisa terjadi? Desakan untuk mendapatkan banyak duit kemungkinan besar mendorong anggota DPRD menyisir beberapa proyek yang sedang dikerjakan pemerintah daerah. Harapannya, mereka dapat menjadi bagian dari proyek tersebut.

Kualitas Proyek

Dengan kewenangan yang dimiliki, anggota DPRD mudah ’’masuk’’ dalam proyek pemerintah daerah tersebut. Akibatnya, persaingan tidak sehat akan diasumsikan sebagai ’’cara yang biasa’’ alias diperbolehkan. Imbas dari efek lanjutan itu adalah kualitas hasil pembangunan infrastruktur pasti mengecewakan. Bangunan tidak kuat dan tidak tahan lama.

Dalam jangka waktu tertentu, keselamatan bagi manusia (pengguna) yang memakai bangunan tersebut bakal dipertaruhkan. Ini adalah harga sangat mahal yang harus ditanggung. Kedua; melemahkan fungsi pengawasan DPRD terhadap gubernur, bupati/wali kota (eksekutif).

Satu fungsi lembaga perwakilan daerah adalah menjadi pengawas, sekaligus penyeimbang, dari semua kebijakan eksekutif. Tugas dan kewenangan ini dapat dijalankan maksimal bila anggota DPRD tidak tersandera utang, apalagi kepentingan politik lainnya.

Transaksi politik akibat penjaminan utang mudah dibaca dari sering tidaknya DPRD memberikan tanggapan dan pengawasan atas kebijakan gubernur atau bupati/wali kota. Setiap usulan eksekutif mudah saja lolos di rapat paripurna DPRD.

Tidak ada pembahasan lebih lanjut, nihil perdebatan, dan tidak ada catatan atas kebijakan eksekutif. Dengan kata lain, andai kebijakan eksekutif berisiko atau cenderung korup pun, legislator cenderung diam, tidak bakal berteriak. Bahkan mereka pun ’’terpaksa’’ menyetujui.

Naga-naganya, menggadaikan SK membawa dampak serius terhadap eksistensi pelaksanaan tugas dan kewenangan anggota DPRD. Namun hal itu adalah kemungkinan terburuk yang ditakutkan. Semoga kemungkinan itu tetap menjadi kemungkinan, tidak berubah menjadi kenyataan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 01 Oktober 2014

Kabinet Nirpartai, Lagi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Setelah ditunggu-tunggu, presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mengumumkan rencana kabinetnya (15 September 2014). Setidaknya ada 34 kementerian dan lembaga yang disiapkan. Sebanyak 18 kursi menteri akan diisi kalangan profesional. Sisanya, 16 kursi, berasal dari partai politik.

Pernyataan Jokowi tersebut sungguh di luar dugaan. Pasalnya, sebelumnya diyakini bahwa ia bakal merampingkan postur kementeriannya. Harapan untuk menggeser dominasi partai politik dalam pengisian jabatan menteri masih jauh panggang dari api. Kedudukan partai masih utama. Padahal santer diberitakan bahwa pemerintahan 2014-2019 akan mulai bersih dari unsur partai politik.

Sebulan yang lalu (13 Agustus 2014) saya menulis di koran ini perihal kabinet nirpartai, sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan kepentingan partai politik. Nyatanya, memang sulit mendudukkan partai jauh dari kekuasaan eksekutif. Sebab, keberadaan pengaruh partai secara tidak langsung dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 adalah landasan hukum bagi partai untuk ikut serta dalam urusan pasang-bongkar kandidat menteri.

Lagi pula, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Kementerian Negara tidak secara tegas melarang calon menteri dari unsur partai politik. Artinya, partai politik sah-sah saja mengajukan orang yang dianggap sebagai bagian dari partai menjadi bakal calon menteri dalam kabinet Jokowi.

Meski demikian, membiarkan begitu saja anasir partai masuk dalam kekuasaan eksekutif adalah hal yang berbahaya. Lagi-lagi, salah satu sumber masalahnya berasal dari peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 2 Tahun 2008 juncto UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan, “Keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota…” Klausul pasal inilah yang menjadi titik api pemicu penolakan calon menteri dari partai politik.

Asumsinya, apabila calon menteri merupakan simpatisan, kader, anggota, apalagi pengurus teras partai politik, ia tetap harus membayar iuran kepada partai. Iuran itu bisa berbentuk langsung ataupun tidak langsung. Dari sinilah petaka lahir. Iuran yang bentuknya tidak langsung kemungkinan besar diserupakan dengan pengerjaan program dan proyek di kementerian masing-masing. Uang akan mengalir dari anggaran kementerian ke kantong partai politik. Akibatnya, orientasi yang dituju adalah penyejahteraan partai, bukan rakyat.

Ketika partai sudah mencengkeramkan tentakelnya, akan susah bagi menteri atau kementerian itu sendiri untuk melepaskan diri. Sudah ada tiga contoh menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode 2009-2014 yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan kebetulan semuanya berasal dari unsur partai politik.

Bagaimanapun, pilihan membentuk kabinet nirpartai seharusnya tak lagi menjadi kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan. Apa lacur, Jokowi-JK sudah mengumumkan ada 16 kursi menteri yang nantinya diperuntukkan bagi partai politik. Meski demikian, tanpa bermaksud melawan Undang-Undang tentang Kementerian Negara untuk menghindarkan petinggi atau anggota partai berdiri dalam kabinet, pemimpin pilihan rakyat itu harus membuat prosedur dan filter yang ketat bagi setiap bakal calon menteri.

Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM dalam laporan risetnya mengenai kecenderungan korupsi (Trend of Corruption Report) semester pertama tahun 2014 mendorong agar Presiden memberikan, setidaknya, tiga syarat bagi setiap bakal calon menteri-khususnya yang berasal dari partai politik. Ini adalah kebijakan jalan tengah.

Pertama, syarat integritas. Ukurannya syarat ini jelas. Siapa saja yang tersangkut kejahatan dengan ancaman lima tahun atau lebih tidak dapat maju sebagai bakal calon menteri. Hal demikian juga berlaku bagi mereka yang disangkutpautkan-meski belum secara hukum dibuktikan-dengan setiap kejahatan, misalnya korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotik, kejahatan hak asasi manusia, dan kejahatan perdagangan manusia.

Kedua, syarat akseptabilitas. Bakal calon menteri harus diterima oleh publik. Setelah pembukaan bakal calon menteri, Presiden harus membuka polling penilaian rakyat terhadap semua bakal calon. Mereka yang pernah dipidana, disangka melakukan tindakan asusila, ditengarai terlibat pelanggaran hak asasi manusia, yang menyebabkan khalayak umum menolaknya, harus pula dieliminasi oleh Presiden.

Ketiga, syarat kapabilitas. Kemampuan memimpin lembaga atau kementerian bisa dilacak dari catatan pengalaman setiap bakal calon menteri. Presiden harus berani menolak mereka yang didorong kuat oleh partai tapi tak cakap dan tak memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), apalagi tak menguasai bidang kementerian. Sebab, para menteri akan bekerja bersama Presiden, bukan bersama elite partai.

Syarat integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas adalah bentuk negosiasi paling sederhana untuk memfasilitasi interest partai dan tuntutan rakyat. Terakhir, komitmen presiden-di samping janjinya kepada rakyat-sejatinya menjadi tapal batas antara usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memenuhi kepuasan partai politik atas dahaga kekuasaan.

artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 22 September 2014

DPRD dan Korupsi

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

TAK lama setelah dilantik, ia digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan. Itulah yang terjadi pada salah satu anggota DPRD Sumatera Barat periode 2014-2019 yang menjadi tersangka korupsi. Sesungguhnya kejadian serupa terjadi kepada anggota DPRD di beberapa daerah lain. Ironisnya, merekalah wakil rakyat yang diamanahi tugas memperjuangkan aspirasi rakyat, membuat peraturan daerah, mengawasi pemerintahan, dan menetapkan anggaran daerah.

Terpilihnya ribuan anggota DPRD baru membawa harapan terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa di daerah. Dengan kewenangan yang luas, DPRD dapat mewujudkan itu. DPRD merupakan aktor penting pembangunan di daerah, terutama pasca berlakunya otonomi daerah di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih besar.

Bahkan, pada awal masa reformasi, DPRD diberikan kewenangan ala pemerintahan parlementer; memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini merupakan respons terhadap model sentralistik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru yang menghasilkan buruknya tata kelola dan tingginya korupsi di jajaran pemerintahan daerah.

DPRD yang kuat diharapkan memunculkan pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Melalui kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran, DPRD diharapkan jadi aktor pendorong munculnya tata kelola pemerintahan yang baik.

Namun, kewenangan yang besar itu ternyata tidak membawa kabar gembira. Justru korupsi dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. DPRD jadi episentrum baru korupsi di daerah. Tingginya angka korupsi DPRD tecermin dari data Kementerian Dalam Negeri: hingga saat ini lebih dari 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Angka itu masih akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD sedang diperiksa oleh aparat penegak hukum.

Istilah korupsi berjemaah pun muncul untuk merefleksikan perbuatan korupsi wakil rakyat yang dilakukan secara bersama-sama. Tak jarang ada kasus korupsi yang melibatkan hampir semua, bahkan semuanya, anggota DPRD. Kewenangan yang besar jadi pintu masuk korupsi. Setiap kewenangan menjadi alat untuk melakukan transaksi koruptif. Permainan anggaran dan suap merupakan modus utama yang sering terjadi.

Ketika kepala daerah dipilih DPRD, gubernur, bupati/wali kota jadi sasaran empuk perahan. Sebaliknya, sebagai balas jasa politik, kepala daerah pun menganggarkan sejumlah pos anggaran bagi anggota Dewan. Kepala daerah merasa berutang budi kepada anggota DPRD yang telah memilihnya, bukan kepada rakyat. Implikasinya, DPRD diguyur berbagai macam bentuk anggaran, misalnya tunjangan aspirasi, komunikasi, transportasi, asuransi, kesejahteraan, dan purnatugas. Sementara program untuk rakyat terbengkalai.

Mata rantai koruptif

Inilah gambaran karakteristik korupsi DPRD 1999-2004 tatkala kepala daerah dipilih oleh DPRD. Korupsi yang muncul akibat relasi koruptif antara DPRD dan kepala daerah. Keadaan makin diperparah oleh perilaku partai politik di daerah yang menjadikan anggota DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Parpol terkadang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai.

Dalam beberapa kasus terungkap bahwa anggota Dewan merangkap jadi calo proyek, yang mempertemukan kepentingan pengusaha dan kepala daerah. Bahkan, tak jarang meminta jatah proyek secara terang-terangan. Relasi koruptif ini terbangun karena DPRD merasa bisa memonopoli kekuasaan eksekutif bahwa kepala daerah ditentukan oleh DPRD. Format kekuasaan DPRD ini jelas telah gagal. Kekuasaan besar pada DPRD gagal dijadikan modal untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih responsif, bertanggung jawab, bersih, dan berwibawa.

Untuk memutus mata rantai relasi koruptif ini dirumuskanlah pemilihan kepala daerah langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah lebih fokus kepada rakyat, tidak hanya segelintir elite yang ada di DPRD. Maka, berkembanglah berbagai inisiatif reformasi pelayanan publik di daerah dan program- program prorakyat. Orientasi kebijakan publik tertuju kepada rakyat karena rakyatlah yang berdaulat.

Mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD hanya akan menarik DPRD kembali masuk pada masa kelamnya. Masa di mana pimpinan dan anggota Dewan disoroti, digunjingkan, bahkan harus menghadapi dakwaan dan tuntutan hukum di pengadilan karena terlibat suap dan korupsi. Itulah puncak keterpurukan kredibilitas lembaga tersebut dalam sejarah republik ini.

Parpol pengusung gagasan kepala daerah dipilih DPRD mestinya sadar diri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini pada partai berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis melihat perilaku elite politik yang kerap menyalahgunakan kewenangan. Lebih baik parpol berpikir keras bagaimana agar kredibilitas lembaga perwakilan kembali pulih dan parpol mendapat kepercayaan penuh dari rakyat sebagai pilar demokrasi, bukan pilar korupsi.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 13 September 2014

Perihal Pemilihan Komisioner KPK

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

DI tengah pemberantasan korupsi yang memang terus harus dihela, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang menjadi garda ter depannya saat ini kembali harus berganti komisioner lantaran masa jabatan yang sudah berakhir. Bukan hal yang baru, tentu nya, mengingat perihal pengisian komisioner KPK sudah berkali-kali dilakukan. Kita sudah pernah mengisi secara lima orang komisioner bersamaan, hanya mencari empat, bahkan juga pernah melakukan seleksi untuk memilih satu orang saja komisioner.

Sekadar mengingatkan, pengisian yang tak serempak lima komisioner diakibatkan oleh diberhentikannya Antasari Azhar di tengah jalan karena tersandung skandal pembunuhan. Sejak itulah, pergantian dengan sistem tak serempak atau pergantian berjenjang (staggered) terjadi di KPK. Bahkan, Busyro Muqoddas yang kali ini harus diganti sesungguhnya masuk ke KPK melalui penggantian berjenjang yang hanya satu orang tersebut. Kala itu, Busyro Muqoddas terpilih setelah menyisihkan Bambang Widjojanto di fit and proper test Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Namun, Bambang kemudian masuk jajaran KPK dalam proses seleksi pergantian empat pimpinan setahun kemudian.

Menariknya, perihal pergantian pimpinan ini menjadi ramai dengan penolakan seiringan dengan pergantian Busyro Muqoddas de ngan pembentukan pansel yang dilakukan saat ini. Setidaknya, ada empat alasan yang mengemuka. Pertama, kemungkinan politik intervensi yang bisa masuk ke KPK dengan adanya orang baru tersebut, apalagi di lakukan di tengah kecepatan tinggi KPK mendorong pemberantasan korupsi. Kedua, alasan yang lebih teknis soal keseriusan DPR dan pemerintah meng ingat pergantian yang terjadi seiring dengan berakhirnya masa jabatan pemerintah dan DPR dalam prosesi lima tahunan. Jangan-jangan, proses yang terjadi akan menjadi prosesi `ala kadarnya’ yang akan berpotensi mendatangkan orang yang juga `ala kadarnya’. Ketiga, pemborosan uang negara karena harus melakukan dua kali seleksi dalam kurun masa jabatan. Padahal, mencari satu orang biayanya tidak jauh berbeda dengan men cari empat orang atau lima orang komisioner. Keempat, lebih baik melakukan langkah praktis semisal memperpanjang masa jabatan Busyro ataukah sekalian mengosongkan masa jabatan yang tertinggal setahun untuk kemudian melakukan seleksi secara bersamaan lima orang tahun depan.

Seleksi atau penunjukan

UU KPK sesungguhnya memberikan isyarat yang sangat jelas soal pengisian jabatan pim pinan KPK, yakni wajib untuk `diseleksi’. Pasal 30 UU KPK mengatur bahwa pimpinan KPK dipilih oleh DPR berdasarkan calon anggota yang diusulkan oleh presiden. Untuk proses usulan dari Presiden ter sebut, pemerintah membentuk panitia seleksi yang bertugas melakukan seleksi berdasarkan apa yang diatur di dalam UU KPK. Ketentuan tersebut adalah ketentuan yang mendasari proses pemilihan biasa.

Sementara itu, jika terjadi kekosongan, baik karena hal tertentu maupun karena berakhirnya masa jabatan, UU KPK, khususnya Pasal 33 meng atur bahwa pengisiannya dilakukan dengan mekanisme presiden mengajukan calon pengganti kepada DPR. Namun, memang klausulnya ditutup dengan ayat (2) yang mengatakan bahwa prosedur pengajuan calon pengganti dilaksanakan sesuai dengan ketentuan pasal-pasal mekanisme pemilihan biasa seperti yang ada di dalam UU KPK.

Artinya, sulit untuk membawa logika bahwa penggantiannya bisa dilakukan dengan cara memperpanjang masa jabatan Busyro begitu saja tanpa melalui proses seleksi. Oleh karena memperpanjang tentu saja bukan proses seleksi sebagaimana yang dimaksudkan UU KPK, dan memang ada baiknya mekanisme memperpanjang tidak dilakukan oleh karena; Pertama, secara aturan hukum mustahil untuk melakukan hal tersebut. Selain karena ketentuannya tertutup untuk melakukan hal tersebut, tetapi yang paling harus dihindari ialah kemungkinan menggunakan ketidaksinkronan perpanjangan masa jabatan Busyro sebagai cara untuk merusak legalitas tindakan KPK yang diambil secara kolegial, dan Busyro menjadi bagian dari pengambilan itu nantinya. Para koruptor, alih-alih merasa takut karena Busyro diperpanjang tanpa proses seleksi, tetapi malah bersyukur karena ada peluang untuk mempermasalahkan legalitasnya.

Kedua, kita pun harus sinkron dengan logika yang selama ini kita lakukan dengan menolak proses perpanjangan begitu saja ketika perintah UU melakukan seleksi. Bahkan, kita tentunya masih ingat ketika kita semua menolak perpanjangan Akil Mochtar oleh DPR di Mahkamah Konstitusi (MK) tanpa proses yang benar, transparan, dan akuntabel sebagaimana yang diminta di UU MK. Bahasa sederhananya, kalau Akil Mochtar kita tolak dengan alasan hukum bahwa ia seharusnya disaring secara lebih layak seperti yang dimintakan oleh UU, mengapa kemudian untuk Busyro kita mintakan proses yang tanpa saring. Saya secara pribadi-dan tentu juga banyak orang–percaya dengan kualitas dan integritas Busyro. Namun jika kita mau membangun sistem dengan baik, apa yang dimaui oleh UU sebagai sebuah proses seleksi tetaplah harus dikedepankan.

Artinya, menyokong proses seleksi ketimbang menggunakan mekanisme lain ialah cara yang sesungguhnya jauh lebih menguatkan KPK, alih-alih dengan menggunakan mekanisme lain dan kemudian malah membuka peluang dipersoalkan secara UU.

Seleksi murah dan sederhana

Salah satu yang menarik ialah seleksi membuat pembiayaan negara menjadi besar oleh karena proses yang hanya mencari satu orang.Termasuk mengganti prosesnya dengan hanya menunjuk saja orang dari hasil fit and proper test di DPR pada tiga tahun yang lalu untuk dipilih dan disahkan oleh DPR dan pemerintah.

Soal menunjuk orang dari hasil fit and proper test yang terdahulu juga sangat riskan. Selain sangat mudah bagi para koruptor menggugat posisi satu orang yang tanpa proses pemilihan seperti yang dimintakan oleh UU KPK, juga akan ada pertanyaan seiring dengan berjalannya waktu. Logika sederhananya, jika tiga tahun yang lalu dianggap sehat, layak, dan mampu menjadi komisioner KPK, apakah ada yang bisa menjamin bahwa saat ini orang tersebut masih sehat, layak, dan mampu? Bukankah orang sekaliber Rudi Rubiandini yang dipuji sebagai orang yang luar biasa hanya membutuhkan waktu kurang dari dua tahun semenjak pujian tersebut untuk jadi pesakitan di KPK.

Lebih baik, mari menghemat uang melalui proses pemilihan yang sederhana. Misalnya, memangkas biaya-biaya mahal proses seleksi yang biasanya mahal dengan menaruhnya di akhir proses. Semisal, pemeriksaan kesehatan yang memerlukan anggaran besar disiasati dengan pemeriksaan kesehatan yang lengkap hanya di akhir proses dan dengan jumlah peserta yang sudah tersaring. Termasuk proses-proses psikologis dan kerja sama lembaga sumber daya manusia tertentu dilempar ke proses yang di belakang, dan bukan di depan ketika kandidatnya masih sangat banyak. Berdasar pengalaman dari proses-proses seleksi, sangat mudah untuk memangkas begitu banyak nama yang tidak jelas komitmen dan analisis pemberantasan korupsinya sedari awal dengan melalui proses wawancara dengan panitia seleksi. Artinya, banyak pilihanpilihan yang mungkin dilakukan untuk menyederhanakan dan membuat proses pemilihan menjadi lebih murah tanpa kemudian menegasi atau mengesampingkan ketentuan UU KPK.

Minimalisasi intervensi politik

Perihal intervensi politik pun bukan hal yang tidak kalah menariknya. Tentu tak ada yang tak mungkin. Sangat besar kemungkinan intervensi politik masuk ke dalam proses seleksi oleh pansel. Namun, harus diingat bahwa intervensi politik itu bukan hanya via pansel, melainkan juga di DPR. Artinya, proses itu memang mendatangkan kemungkinan intervensi politik.

Tetapi, apakah ada sistem yang tidak memungkinkan intervensi politik? Selalu pasti mungkin ada. Pun sejujurnya, membandingkan model political appointee, partisant election, dan nonpartisant election dengan model merit system, maka sistem merit ini selalu jauh lebih menarik dan mungkin untuk mengecilkan kemungkinan intervensi.

Bahkan tidak hanya itu, kita juga sudah berpengalaman berkali-kali melakukan seleksi dengan cara yang sama dan berkali-kali pula kita berhasil menjauhkan diri dari kemungkinan intervensi. Dengan proses itulah akhirnya kita juga bisa mendapatkan Abraham Samad, Busyro Muqoddas, Bambang Widjojanto, Adnan Pandu Praja, dan Zulkarnaen yang sudah membawa KPK ke level yang sangat luar biasa saat ini. Saya sendiri optimistis bahwa kita mampu mengeliminasi kemungkinan intervensi politik jika pansel bekerja efektif, DPR diawasi dengan baik dan masyarakat sipil bekerja sama dalam memonitor proses tersebut. Seperti halnya yang lalu-lalu dan menghasilkan orang yang juga bekerja cukup membanggakan seperti saat ini.

Berjenjang atau sekaligus

Satu-satunya yang menarik untuk diperbincangkan dan ada kemungkinan secara hukum adalah apakah lebih baik mengosongkan satu jabatan lowong itu selama setahun untuk melakukan pemilihan secara bersamaan lima orang tahun depan, ataukah segera mengisinya sehingga menjadi model pergantian berjenjang (staggered).

Secara logika hukum tata negara dan administrasi negara, memang ada ciri lembaga negara independen yang disebut dengan pergantian secara staggered terms atau pergantian masa jabatan secara berjenjang. Di Amerika, hampir seluruh lembaga negara independennya diisi dengan cara pergantian berjenjang ini.Jadi tidak dilakukan pergantian sekaligus, tetapi komisioner diganti secara berjenjang. Hal itu dilakukan demi menjaga kesinambungan kerja lembaga tersebut. Artinya, akan selalu ada orang lama di setiap pergantian pimpinan yang akan memasukkan orang baru pula.

Tentu ini menjadi pilihan pola kebijakan yang masing-masing ada plus dan minusnya. UU KPK sama sekali tidak mengatur dan menjelaskan detail perihal ini. Tetapi, menarik sesungguhnya untuk mendapatkan lembaga negara independen yang berganti pimpinannya secara berjenjang. Karena proses itu bisa menjaga kesinambungan kerja seperti yang diharapkan dari sistem berjenjang yang dibangun di Amerika.Nah, tentu akan ada kritikan secara pengeluaran negara.

Namun jika mampu membuat proses pemilihan yang lebih sederhana dan menghemat biaya, tentu sisi positif dari model berjenjang akan kita dapatkan faedahnya untuk KPK. Mempertahankan ritme KPK oleh karena selalu ada orang lama yang sudah paham kerja KPK, tanpa terputus karena adanya orang-orang baru.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA, pada 08 September 2014

Membidik Korupsi Migas

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

GALAILA Karen Agustiawan menyatakan mundur dari kursinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina, perusahaan negara yang mengurus soal minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan, menjelang transisi pemerintahan. Meski alot pada awalnya, akhirnya perusahaan minyak negara menyetujui rencana resign perempuan kelahiran Bandung, 19 Oktober 1958 itu. Dari laman resmi perusahaan diketahui, Karen mengajukan surat pengunduran diri sejak 13 Agustus 2014. Akhirnya, rapat umum pemegang saham mempersilakannya untuk tak lagi memegang posisi dirut terhitung mulai 1 Oktober 2014.

Perusahaan juga menyampaikan alasan pengunduran diri itu lebih bersifat pribadi dan demi regenerasi kepemimpinan pada korporasi yang berdiri 10 Desember 1957. Namun, beberapa sumber mengungkap bahwa keputusan Karen tak melulu didasarkan sikap pribadi dan regenerasi kepemimpinan, tapi soal eksistensi tekanan politik dalam pengelolaan minyak dan gas. Hal itu dinilai rasional mengingat prestasi Karen dalam mengatur dan merawat cukup menyakinkan. Contoh, dia berhasil mengakuisisi aset Conoco Phillips di Aljazair dan membeli ladang minyak ExxonMobil di Irak. Kemudian, pendapatan fiskal Pertamina naik dalam setahun belakangan. Total pendapatan pada 2013 sebesar 71,1 miliar dolar AS dari sebelumnya 70,9 miliar dolar pada 2012. Laba bersih perusahaan tercatat mengalami kenaikan sekitar 11% dari 2,77 miliar dolar AS pada 2012 menjadi 3,07 miliar dolar pada 2013. Bagaimana pencapaian yang gemilang tersebut bisa menuntun dia pada pilihan keluar dari perusahaan?

Dengan melihat peningkatan pendapatan tersebut, wajar masyarakat mengira ada yang tak beres di internal Pertamina. Kejahatan dan korupsi di sektor minyak dan gas sebenarnya telah lama diendus. Dari obrolan di Seputar Ibu Kota misalnya, ada fenomena ‘minyak kencing’ dalam pendistribusiannya. Jalur penyaluran minyak dari Jawa ke Kalimantan telah dikuasai oleh sejumlah cukong tertentu. Akibatnya, jumlah liter minyak yang dikirim mengalami penyusutan ketika sudah sampai di daerah tujuan.

Walau ada topik demikian, sampai sekarang fenomena ‘minyak kencing’ sangat susah dibuktikan. Boleh jadi, para cukong itulah yang ingin dilawan oleh Karen. Dari obrolan juga diperoleh berita kalau para cukong telah menjalin kerja sama lancung dengan para pengambil kebijakan negara dan kekuatan politik yang ada di parlemen. Tujuan kongkalikong itu adalah untuk mengamankan ”pengelolaan” dan penyaluran minyak. Ada monopoli yang dibangun di luar ketentuan peraturan perundang- undangan. Dan kekuatan besar — yang dalam ”Tajuk Rencana” harian ini (20/8/14) disebut sebagai kekuasaan metapolitik— diduga membekinginya.

Integritas Perusahaan

Sikap Karen yang kukuh ingin menegakkan peraturan dan menjaga integritas perusahaan pernah dia paparkan ke publik tatkala menolak keras permintaan tunjangan hari raya (THR) dari anggota Komisi VII DPR. Bahkan dia tegaskan, tidak akan membiarkan badan usaha milik negara dijadikan sapi perah oleh siapa pun.

Karena hal itulah, ancaman pemecatan terhadapnya datang bertubi-tubi (SM, 28/1/14). Jangan-jangan, sekarang ini ancaman tersebut menuju terbukti. Andai para cukong yang ”bekerja sama” dengan kekuatan metapolitik benar-benar membuktikan ancamannya, seharusnya negara tak bisa hanya tinggal diam dan berpangku tangan. Negara harus bergerak melawannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai memberi perhatian pada indikasi keberadaan jaringan korupsi di sektor energi dan sumber daya mineral. Kasus korupsi yang menjerat Rudi Rubiandini, mantan kepala SKK Migas yang menerima suap dari Simon Sanjaya, petinggi Kernel Oil Private Limited, adalah awal yang baik untuk membidik korupsi di bagian minyak dan gas. Sudah ada preseden bahwa pelaku korupsi di sektor minyak dan gas ternyata bisa ditangkap. Artinya, kekuatan metapolitik dan konglomerasi dalam sektor tersebut sebenarnya bisa dilawan. Lembaga antirasuah membuktikan hal itu.

Faktanya, saat ini sejumlah petinggi partai yang disangka menjadi pemeras SKK Migas mulai diperiksa. Sementara itu, satu menteri berkaitan dengan kasus tersebut juga sedang diselidiki secara serius. Ini yang harus ditiru oleh negara. Terakhir, pengunduran Karen harus mampu menjadi momentum untuk menegakkan integritas Pertamina sekaligus sebagai bentuk komitmen untuk tidak memberi ruang bagi konglomerasi dan kekuatan metapolitik busuk dalam pengelolaan dan pendistribusian minyak dan gas. Lagi pula, sesuai dengan amanat UUD 1945, minyak dan gas hanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tentu, negara harus mewujudkan perintah tersebut.

artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 26 Agustus 2014

Koalisi Presidensial atawa Parlementer

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

Komisi Pemilihan Umum telah menetapkan dua pasangan calon yang akan mengikuti Pemilihan Presiden 2014: Jokowi-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa. Keduanya diusulkan oleh gabungan partai politik peserta pemilu legislatif 2014. Tidak adanya partai politik yang memenuhi syarat presidential threshold–memperoleh suara nasional minimal 25 persen atau kursi parlemen sebesar minimal 20 persen–membuat partai-partai bergabung (berkoalisi) untuk memunculkan calon presiden. Publik menyaksikan bagaimana alotnya pembicaraan dan negosiasi antar-partai politik untuk mengusung salah satu calon. Perolehan suara dan kursi di parlemen menjadi salah satu pertimbangan utama.

Koalisi yang mendukung Jokowi-JK terdiri atas empat partai politik: PDIP (109 kursi), PKB (47 kursi), Nasional Demokrat (35 kursi), dan Hanura (16 kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Jokowi-JK adalah 207 kursi. Sedangkan koalisi Prabowo-Hatta didukung oleh lima partai politik: Gerindra (73 kursi), Golkar (91 kursi), PAN (49 kursi), PKS (40 kursi), dan PPP 39 kursi). Total perolehan kursi parlemen pendukung koalisi Prabowo-Hatta adalah 292 kursi. Hanya Partai Demokrat (61 kursi) yang tidak secara resmi menjadi pengusung capres dan cawapres.

Koalisi yang dibangun oleh masing-masing calon menunjukkan satu hal: kekuatan dukungan di parlemen sangat diperhitungkan. Selain sebagai syarat untuk mengajukan pasangan calon, dukungan partai di parlemen berguna untuk meloloskan kebijakan-kebijakan penting presiden terpilih. Meskipun konstitusi Indonesia menganut sistem presidensial, besarnya kekuasaan parlemen membuat setiap presiden harus “menjaga hubungan baik” dengan parlemen. Hal inilah yang sering disebut oleh akademisi hukum tata negara sebagai fenomena “presidensial citarasa parlementer”.

Walaupun UUD 1945 tidak secara eksplisit menjelaskan bahwa Indonesia termasuk negara yang menganut sistem presidensial, ciri-ciri utama sistem itu dapat ditemukan dalam konstitusi. Misalnya penegasan bahwa presiden memegang kekuasaan pemerintahan negara, adanya pemilihan presiden secara langsung oleh rakyat, dan presiden hanya dapat dijatuhkan melalui prosedur hukum jika melanggar konstitusi. Tapi sistem presidensial Indonesia ditandemkan dengan sistem multipartai yang tidak sederhana. Di sinilah letak persoalannya, sistem multipartai tersebut membuat praktek pemerintahan seolah-olah menjadi parlementer.

Menguatnya karakter parlementer dalam sistem presidensial Indonesia juga disebabkan oleh besarnya kekuasaan yang dimiliki parlemen (DPR). Konstitusi UUD 1945 pasca-amendemen memberi fondasi yang kokoh bagi kewenangan DPR. Penguatan parlemen tidak terlepas dari sejarah kelam pemerintahan Orde Baru yang memiliki kekuasaan yang nyaris tanpa kontrol (executive heavy).

DPR pasca-amendemen berkuasa penuh atas fungsi legislasi, pengawasan, dan anggaran. Tanpa persetujuan DPR, sebuah rancangan Undang-Undang (RUU) mustahil dapat diberlakukan. Juga, walaupun Mahkamah Konstitusi telah memutuskan bahwa Badan Anggaran DPR tidak bisa terlibat dalam pembahasan rancangan anggaran dan belanja negara (RAPBN) secara lebih detail, tetap saja pemerintah membutuhkan persetujuan DPR agar RAPBN dapat diterapkan.

Selain itu, DPR saat ini memiliki kewenangan pengawasan yang jauh lebih kuat daripada sebelumnya. DPR dapat dengan mudah meloloskan hak interpelasi, hak angket, bahkan hak menyatakan pendapat yang dapat berujung pada pemakzulan presiden dan atau wakil presiden. Kebijakan nasional yang kontroversial (tidak populer) dapat menjadi amunisi DPR untuk menyerang presiden. Pengawasan DPR tidak hanya pada presiden, tapi juga pada kementerian dan lembaga-lembaga pemerintahan lainnya. Menteri dan pejabat pemerintahan bisa disibukkan oleh berbagai rapat dengan komisi terkait di DPR, baik soal program, kebijakan, maupun anggaran.

Menguatnya karakter parlementer diperparah oleh model koalisi pemerintahan. Pasca-reformasi, tidak ada partai politik yang mayoritas dan dominan yang dapat membentuk pemerintahan sendiri. Kekuatan partai politik terbagi hampir merata. Kondisi ini memaksa setiap presiden untuk membentuk koalisi partai politik yang mendukung pemerintah. Sebenarnya, presiden bisa saja membentuk pemerintahan sendiri tanpa melibatkan partai politik lain. Hal ini dimungkinkan karena presiden dipilih secara langsung oleh rakyat, bukan oleh partai politik. Namun apakah presiden siap dengan konsekuensi akan diganggu terus-menerus oleh partai-partai yang ada di DPR? Sebagaimana pengalaman pemerintahan mantan presiden Abdurrahman Wahid, yang hanya didukung oleh minoritas partai di DPR dan akhirnya berujung pada pemakzulan.

Tujuan utama pembentukan pemerintahan koalisi adalah demi stabilitas dukungan politik di parlemen. Sebab, pertama, partai yang tidak bergabung bisa membentuk poros oposisi di parlemen. Kedua, sulitnya menjaga komitmen koalisi partai-partai pengusung pemerintah. Secara formal, boleh jadi ada koalisi. Namun, dalam prakteknya, partai koalisi bisa saja menyeberang ke poros oposisi dalam isu-isu tertentu di parlemen. Hal ini tentu akan menyulitkan pemerintah. Lebih jauh, situasi ini dapat membentuk apa yang disebut oleh Morris P. Fiorina dalam Divided Government in the American States (1994) sebagai pemerintahan yang terbelah (divided government), di mana pemerintah dan parlemen dikuasai oleh partai (koalisi) yang berbeda, sehingga menghasilkan pemerintahan yang tidak efektif.

Sistem multipartai yang tidak sederhana, besarnya kekuasaan DPR, dan rapuhnya koalisi akan membuat presiden terpilih tersandera secara politik, baik oleh partai politik maupun oleh parlemen. Solusinya, presiden terpilih harus dapat membentuk pemerintahan koalisi yang efektif, baik di pemerintahan maupun di parlemen. Koalisi efektif bukan berarti mengakomodasi semua partai, tapi minimal menguasai 50 persen +1 kursi di parlemen.

artikel ini pernah diterbitkan oleh TEMPO.CO, pada 18 Juni 2014

Menghormati Proses Hukum Century

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)

“Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008 dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut.”

KONSTITUSI negara Indonesia menahbiskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum, dalam istilah Hugo Krabbe, merupakan hal yang sederhana, semua tindakan negara harus berdasarkan atas hukum dan karenanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dimensi ganda landasan hukum dan pertanggungjawaban secara hukum, meski sederhana mendatangkan implikasi yang tidak sederhana. Ketaksederhanaannya karena pada praktiknya ada ketidaksetaraan antara negara dan warga negara. Ketidaksamaam antara aparat penyelenggara negara dan warga negara. Doktrin lama mengakui ketidaksederajatan raja dengan rakyatnya.

Makanya kemudian lahir doktrin perihal kesamaan di hadapan hukum. AV Dicey menjelaskan bahwa syarat mutlak negara hukum ada beberapa, satu di antaranya yang penting ialah equality before the law, semua orang sama di hadapan hukum. Hal yang menghendaki kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama dan sederajat, yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat adalah yang diatur. Dan karenanya dalam konsep Dicey, baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki pedomannya satu, yaitu hukum.

Sangat mungkin ada yang akan mendebat soal distingsi model negara hukum ala Eropa kontinental yang bergaya rechtstaat dan yang lahir dari tradisi civil law yang lebih menitikberatkan pada rule of law. Biarkanlah itu sebagai perdebatan teoritik hukum, tetapi hal yang tidak mungkin diindahkan dari negara hukum tentu saja adalah konsep hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum. Persamaan kedudukan yang mewajibkan setiap orang, siapa pun tanpa kecuali harus menghormati hukum dan proses yang mengiringinya.

Kepatuhan proses hukum

Di megaskandal Bank Century, ada begitu banyak nama mentereng yang memiliki kapasitas luar biasa yang tampil dalam persidangannya. Sekadar mengingatkan, kasus Bank Century saat ini masih hanya menyidangkan Budi Mulya yang menerima uang Rp1 miliar di balik kasak-kusuk Bank Century. Menariknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwanya dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh Budi Mulya secara bersama-sama dengan orang-orang lainnya telah menyebabkan kerugian negara yang menjadi terkenal dengan skandal Century.

Kata `bersama-sama’, membuat magnitude kasus ini memang melebar dan banyak melibatkan orang-orang lain. Ada begitu banyak nama yang disangkutkan dengan kata `bersama-sama’ ini. Makanya kemudian, dalam proses persidangannya menghadirkan, setidaknya, tiga orang yang sangat sering diperbincangkan publik.

Sri Mulyani sebagai mantan Menteri Keuangan, Jusuf Kalla sebagai mantan Wakil Presiden, dan Boediono sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia dan kini sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.

Kehadiran Wakil Presiden di persidangan tentu harus diapresiasi. Namun, di lain sisi, memang begitulah adanya seorang penyelenggara negara bersikap. Harus diingat, negara ini sudah tidak bermain-main dengan perkara korupsi. Seorang penyelenggara negara, terlibat atau tidak terlibat, seharusnya mau menunjukkan iktikad mendorong pemberantasan korupsi dengan cara menghormati proses hukum dan mau menjadi saksi dalam proses peradilan.

Bukan hanya tataran etika penyelenggara negara, melainkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga sudah menggariskan hal yang sama. Pasal 5 angka 7 dengan jelas mengatakan bahwa setiap penyelenggara negara wajib untuk bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini pun berlaku untuk semua penyelenggara negara, yakni pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.

Aturan ini bukan hanya berdimensi anjuran etis untuk menaati dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, tetapi juga memiliki fungsi paksaan karena pada Pasal 20 Ayat 2 dicantumkan tentang setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 7 (tentang menjadi saksi dalam proses peradilan) dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini yang dalam kajian sosiologi hukum dianggap sebagai komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through legitimaty) karena adanya keinginan mematuhi hukum karena dipaksa oleh otoritas atau legitimasi kekuasaan pembuat hukum itu sendiri. Suatu kepatuhan yang dipaksakan oleh norma itu sendiri.

Akan halnya dengan kehadiran Boediono, kita tentu tidak paham apakah kehadirannya dilandasi kesadaran individual ataukah memang dipaksa secara legitimatif oleh hukum. Akan tetapi, kehadirannya tetap memberikan nuansa menarik bahwa Boediono mau dan bersedia untuk bekerja sama dengan proses hukum yang ada. Dapat dibandingkan dengan pejabat-pejabat lain yang sering berkilah dengan berbagai dalih. Pesan yang dikirimkan Boediono sangat jelas, semua orang sama di hadapan hukum dan karenanya kehadiran menjadi suatu hal yang pasti.

Kepatuhan akan kebenaran

Hal lain di balik kesadaran mengikuti dan menghormati proses hukum sesungguhnya tidak berhenti pada formalitas kehadiran. Namun, juga masuk pada substansi kehadiran itu sendiri. Meminjam kritik kaum strukturalis dan marxian soal kesadaran untuk patuh pada hukum, yakni kesadaran yang berwujud epiphenomena, yakni kesadaran yang bersifat sampingan dari suatu tujuan yang sebenarnya ingin dibangun dari kesadaran untuk patuh pada hukum. Sangat mungkin untuk hadir ke proses persidangan, bukan dalam rangka memperjelas proses hukum, tetapi untuk meneguhkan kepentingan pribadi di balik proses hukum yang dipertontonkan.

Dalam konteks ini, tentu saja yang harus dilacak adalah apakah substansi kehadiran Sri Mulyani, Jusuf Kalla, dan Boediono, memang dalam kerangka memperjelas kasus hukum sehingga menjadikan terang proses hukum tersebut, ataukah hanya dijadikan panggung untuk kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi yang mungkin beragam.

Karenanya, proses hukum haruslah melacak, memperlihatkan, dan pada saat yang sama harus berhati-hati dengan keterangan-keterangan yang terungkap di persidangan kasus Century.

Harus dilihat ketidaksinkronan keterangan setiap saksi tersebut. Karena dari situ dapat dilacak, apakah kesadaran hukum di balik kehadiran proses persidangan adalah datang dari komitmen penegakan hukum atau malah bagian yang mendistorsi proses hukum itu sendiri.

Keterangan Jusuf Kalla, misalnya, terdapat ketaksinkronan dengan keterangan Boediono. Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008, dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut. Padahal, meski tidak terlalu penting dalam perkara yang berkaitan dengan Budi Mulya, tetapi soal koordinasi per telepon ini tetap penting untuk membingkai kesan Century yang dirampok secara `sembunyi-sembunyi’ dan kesan `sembunyi-sembunyi’ inilah yang dapat diasosiasikan dengan upaya jahatnya.

Ataukah memang ada koordinasi kebijakan yang dapat diasosiasikan tidak dalam kerangka merampok Bank Century demi kepentingan tertentu, tetapi inilah penyelamatan perekonomian negara yang diambil secara bersama aktor-aktor negara. Bukan hanya itu, masih ada beberapa hal dibalik skandal Century yang tidak sinkron antara Jusuf Kalla, Sri Mulyani, dan Boediono.

Hukum logika mengatakan tidak mungkin keduanya benar secara bersamaan. Hukum logika yang sama juga manandaskan bahwa juga tak mungkin tidak ada yang benar secara bersamaan.

Karenanya, siapa yang berbohong di cerita itu akan sangat mungkin mengungkap siapa yang sedang memainkan kepentingan pribadi di balik kepatuhan akan kehadiran untuk patuh hadir dalam proses hukum.

Memang benar, semua orang sama di hadapan hukum. Namun, hal yang tidak kalah pentingnya adalah bukan hanya karena sama di hadapan hukum tetapi mau hadir di persidangan dan secara bersungguh-sungguh mengungkap terangnya suatu kasus korupsi. Itulah kesadaran hukum yang bermakna. Suatu makna yang menjadi solusi perkara dan bukan menginvolusi perkara.

artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA, pada 12 Mei 2014

Persidangan Century

Berita Tuesday, 10 November 2015

Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)

SETELAH lebih dari empat tahun, dugaan kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ke Bank Century akhirnya dimejahijaukan.

Maklum, setelah DPR menggelar rapat pengambilan keputusan hasil pemeriksaan panitia khusus, 3 Maret 2010, skandal korupsi perbankan tersebut mengalami masa naik-turun. Tak jelas apakah akan mengarah ke persidangan atau tidak.

Nuansanya sangat panas dan suhunya meninggi pada pengujung 2009 hingga awal 2010. Kala itu, isu persetujuan atas hasil investigasi panitia khusus (pansus) ditandingi kasak-kusuk rencana kabinet. Sebaliknya, setelah pengambilan suara di Sidang Paripurna DPR yang kemudian memuluskan opsi C—pilihan untuk setuju ada pelanggaran dalam kasus Bank Century—tampaknya gemuruh niat dalam membongkar kasus ini perlahan mereda.

Antiklimaks.

Sekarang, hasrat menggali siapa menanggung akibat hukum atas korupsi Century muncul kembali. Kalau tak ada aral, persidangan pertama digelar pada Kamis, 6 Maret 2014 (Kompas, 4/3). Pertanyaannya, apakah persidangan Century kali ini mampu membuka hitam-putih kasus yang merampok uang negara lebih dari Rp 6,7 triliun itu?

Persidangan politik

Ada pengalaman yang menyesakkan tatkala membahas perkembangan kasus Century di persidangan politik DPR. Pendulum bergerak tak tentu. Kadang kuat ke arah transaksi politik. Namun, pernah—untuk tak menyebut sering—mengarah ke magnet hukum yang memiliki daya tarik kuat agar kasus ini diselesaikan.

Pansus DPR antara akhir 2009 dan awal 2010 telah mengundang saksi dan ahli ke persidangan politik yang digelar untuk mencari tahu siapa yang paling bersalah atas bocornya uang negara dalam FPJP dan PMS Bank Century. Ketika pemeriksaan politik semakin digali lebih dalam, pendulum politik semakin kuat mengarah ke jarum transaksi.

Entah kebetulan atau tidak, seperti ada upaya untuk melenyapkan kasus Century. Sekadar mengingatkan, pindahnya mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Bank Dunia, menguatnya posisi Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Koalisi, dan melemahnya sikap Partai Golkar atas tuntutan pemeriksaan menyeluruh skandal Century, seperti sebuah teka-teki. Faktanya ada, tapi susah dibuktikan keterkaitannya. Nyatanya, umur kasus ini sudah lebih dari empat tahun, tetapi tak kunjung terpampang siapa yang ”sebenar-benar”-nya salah dan ”sebenar-benar”-nya benar.

Meski memperoleh banyak informasi, persidangan politik terbukti gagal mengurai karut-marut kasus korupsi perbankan ini. Sampai batas masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, rasa-rasanya sengkarut politik di seputar pengungkapan kasus Century masih terus bergulir. Pansus masih ngotot memanggil Wakil Presiden Boediono ke Senayan. Bukankah kasus ini sudah dilimpahkan ke penegak hukum? Lalu, mengapa DPR masih cari-cari kesempatan untuk menggelar ulang persidangan politik?

Sedikit kegagalan persidangan politik sebenarnya dapat ditutup dengan persidangan hukum. Boleh jadi langkah hukum adalah pilihan yang tepat untuk mengurai benang kusut Century. Lagi-lagi, perlu diingatkan, sekira tiga setengah tahun lalu auditor negara sudah menerbitkan laporan forensiknya. Setidaknya, ada empat temuan dugaan pelanggaran hukum pada kasus Century (Kompas, 6/6/2010).

Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Kedua, penerbitan letter of credit fiktif. Ketiga, rekayasa dalam menentukan capital adequacy ratio. Keempat, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 tak mempunyai landasan hukum. Empat potensi pelanggaran ini menabrak aturan internal Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.

Persidangan hukum pertama kali atas salah satu tersangka kasus korupsi Bank Century, Budi Mulya, semestinya menjadi penanda putusnya hubungan persidangan politik di kasus a quo. Sangat mudah mencari justifikasi atas tanda putus ini.

Pertama, walau kadang diterpa isu tak sedap, KPK sering bisa keluar dari tekanan dalam menyidangkan kasus korupsi big fish. KPK rasanya tak memiliki tendensi politik kecuali politik rakyat. Lembaga negara antikorupsi ini bertugas menyelidik, menyidik, dan menuntut tersangka korupsi untuk melindungi harapan rakyat demi memiliki negeri yang bebas dari korupsi. Kedua, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta masih duduk di peringkat peradilan yang mampu mengadili koruptor tanpa pandang bulu.

Dua hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi persidangan hukum Century bakal sedikit memberi lampu hijau atas terangnya kasus yang hampir lima tahun tak kunjung benderang. Akan tetapi, bukan berarti persidangan hukum ini tak butuh perlindungan. Ia tetap butuh dilindungi. Selalu ada rasa pesimistis di samping optimistis, begitu pula sebaliknya.

Jadi ritual formil?

Hasil maksimal dari persidangan hukum Century adalah terungkap siapa dalangnya? Ke mana duit triliunan rupiah mengalir? Siapa yang ambil untung? Apakah ada keterlibatan partai politik?

Sebaliknya, hasil paling minim dari persidangan itu cuma bicara soal kasus Century dan keterlibatan internal BI dan/atau KSSK, tanpa merunut sampai ujung muara kasus itu sendiri. Persidangan hukum menjadi sekadar ritual formil bahwa ada kasus korupsi yang disidangkan dan mesti diputus.

Bagaimanapun, keberhasilan membongkar kasus Century bergantung pada sterilnya penegakan hukum dari intervensi politik. Dukungan pemerintah dan parlemen dibutuhkan dengan bentuk tak mengumbar umpan politik di luar persidangan Century. Independensi penegak hukum sudah dibuktikan oleh KPK. Sekarang tinggal kehendak politik pemimpin. Jika ini tak ada, jangan sekali-kali berharap akan terbongkar siapa yang ”sebenar-benar”-nya salah dan siapa yang sebenar-benarnya benar dalam kasus Century.

artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 07 Maret 2014

1…56789…12
Universitas Gadjah Mada

Pusat Kajian Anti Korupsi (PUKAT) UGM

Sekretariat Pusat Kajian, Gedung IV Lantai 2 Fakultas Hukum UGM, Jl. Sosio Yustisia, No. 1 Bulaksumur
pukatkorupsi@ugm.ac.id

© Universitas Gadjah Mada

KEBIJAKAN PRIVASI/PRIVACY POLICY