oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Sungguh menarik setiap kali mencermati laporan yang disajikan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK). Dari ribuan lebih laporan hasil analisis (LHA)-PPATK, sangat sedikit yang ditindaklanjuti dan diperkarakan aparat penegak hukum (Polri, Kejaksaan, maupun KPK).
Tak aneh kalau akhirnya PPATK sering “bernyanyi” di luaran. Temuan terakhir menyatakan transaksi keuangan mencurigakan marak terjadi di Kemenkeu (Ditjen Pajak dan Ditjen Bea dan Cukai) dan pemerintahan daerah (pemda).
Temuan tersebut merupakan hasil analisis PPATK terhadap 630 kasus transaksi mencurigakan yang melibatkan PNS mulai 2003 hingga 2011, tercatat melibatkan PNS pusat maupun daerah. Nilai transaksi mencurigakan mulai dari Rp 1-5 miliar lebih.
Biasanya dilakukan dengan cara menggeser uang dalam pos Dana Alokasi Khusus dan
Umum, dari rekening dinas ke rekening pribadi, kemudian yang bersangkutan mendapatkan bunganya.
Inilah “nyanyian” pejabat PPATK terbaru, menyusul nyanyian-nyanyian lainnya. Ini memperlihatkan kegundahan dari lembaga sekelas PPATK. Maklum, PPATK memang tanpa taring dan gigi untuk menangkap dan mengadili para koruptor.
PPATK hanya sekadar lembaga independen yang dibentuk dalam rangka mencegah dan memberantas tindak pidana pencucian uang. Lembaga ini hanya menghasilkan LHA, yang perlu ditindaklanjuti aparat penegak hukum.
Kendati demikian, LHA sebenarnya bisa dijadikan pintu masuk bagi para aparat penegak hukum untuk menindaklanjuti dan memproses secara hukum para koruptor dan pencuci uang.
Justru laporan yang berjumlah ribuan ini, apabila ditelusuri, mungkin memerlukan personel aparat penegak hukum yang sangat besar. Mungkin, pihak aparat hukumnya justru yang tidak siap dengan banyaknya kasus korupsi yang akan ditangani. Kamar penjara mungkin tidak akan cukup untuk menampung para koruptor yang tertangkap di Indonesia.
Rekening Koruptor
Menurut UU No 15/2002 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) yang sudah direvisi dengan UU No 25 Tahun 2003, khususnya Pasal 13, para Pengelola Jasa Keuangan (PJK) wajib menyampaikan kepada PPATK untuk dua hal.
Pertama, laporan transaksi keuangan mencurigakan (LTKM), dan kedua, transaksi keuangan yang dilakukan secara tunai (baik setor maupun tarik tunai) (LTKT) dalam jumlah kumulatif Rp 500 juta atau lebih, atau mata uang asing yang nilainya setara, baik yang dilakukan dalam satu kali transaksi maupun beberapa kali transaksi dalam satu hari (dari satu rekening yang sama).
Hal yang pertama sangat sering dijumpai, yakni transaksi tak wajar (unusual transactions), di mana transaksi yang dilakukan keluar dari profil nasabah yang bersangkutan.
Mengapa dikatakan transaksi tak wajar sering terjadi di bank, karena hampir semua pelaku kejahatan keuangan (termasuk koruptor) bisa dipastikan memiliki rekening di bank/PJK lainnya. Di sini pihak PJK sebenarnya sudah memiliki profil dari nasabah, termasuk profil sang koruptor.
Pada saat awal berhubungan dengan pihak PJK, nasabah biasanya diwajibkan mengisi formulir know your customer (KYC) yang berfungsi mengetahui profil dan karakteristik transaksi dari nasabah yang bersangkutan. Di sinilah titik awal para pengelola PJK mengenal nasabahnya, termasuk profil dan kekuatan keuangannya.
Logikanya, para PJK semestinya juga bisa mengendus dan mengidentifikasi transaksi keuangan mencurigakan yang dilakukan si pelaku tindak kejahatan keuangan tersebut.
Misalnya, seorang pegawai negeri golongan III-D dengan kisaran penghasilan di bawah Rp 50 juta per tahun kok tiba-tiba melakukan transaksi keuangan di atas profil yang tersedia, maka sistem komputer secara otomatis akan mengeluarkan laporan keuangan mencurigakan pada akhir harinya.
Oleh PJK, transaksi ini akan dilaporkan ke pihak PPATK setiap akhir bulan. Di sinilah pentingnya laporan PPATK, yang akan menganalisis LTKM dari para PJK.
Apabila LTKM pada satu orang ini dilakukan di banyak PJK dengan identitas yang sama, pihak PPATK biasanya akan memberikan rekomendasi bahwa transaksi keuangan dari seseorang tersebut berindikasi menyimpang dan perlu ditelusuri lebih lanjut.
Apabila semua PJK, seperti halnya bank, asuransi, pedagang valas, pemain pasar modal, manajer investasi, multifinance, kospin, leasing, diler mobil, pengembang (developer), agen properti, sudah memberikan LTKM ke pihak PPATK, bisa dipastikan ruang gerak para koruptor dan pencuci uang akan semakin terbatas.
Sayangnya, belum begitu banyak para koruptor yang terjerat hukum, akibat pelaporan langsung dari para PJK, yang kemudian dianalisis PPATK. Padahal, LHA-PPATK ini bisa dijadikan entry point bagi para aparat penegak hukum untuk segera bergerak dan “mengobok-obok” para koruptor.
Nyanyian merdu rekening gendut PNS muda semestinya menjadi momentum bagi aparat penegak hukum untuk memprosesnya lebih lanjut. Persoalannya, juga belum banyak PJK yang mau memberikan secara rutin LTKM ke PPATK. Banyak alasan yang mendasarinya sehingga mereka belum tertib menyampaikan LTKM.
Namun, di atas semua itu, tindak lanjut dari LHA-PPATK sebenarnya sangat ditunggu masyarakat banyak. Aneka kepentingan (politik-ekonomis) semestinya disingkirkan dan kepentingan publiklah yang diutamakan. Para aparat penegak hukum tidak perlu takut karena tekanan dari berbagai pihak.
Tekanan yang bergitu besar dari masyarakat sebenarnya yang harus diutamakan, yakni memberdayakan LHA-PPATK semaksimal mungkin. Ini karena di sanalah muara dari berbagai transaksi ilegal dari para koruptor. Masyarakat menunggu kiprah lebih lanjut dari para aparat penegak hukum.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 24 Februari 2012