oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Akhirnya, dugaan kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membongkar perselingkuhan pejabat korup dengan mafia minyak yang menyebabkan jebolnya anggaran negara.
Rudi Rubiandini, tersangka dugaan kasus suap Kernel Oil Pte Ltd ke mantan Ketua Satuan Kerja Khusus Pelaksana Kegiatan Hulu Minyak dan Gas Bumi, membantah menerima suap. Menurut dia, yang betul adalah gratifikasi, bukan korupsi atau suap (Tempo.co, 14 Agustus 2013). Apakah bantahan ini dapat mempengaruhi hasil penyidikan sehingga aturan hukum antikorupsi tak dapat menjeratnya?
Gratifikasi diatur dalam Pasal 12B dan Pasal 12C Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Berdasarkan bunyi Pasal 12B ayat (1), gratifikasi dianggap suap apabila berkaitan dengan jabatan. Dalam penjelasannya, gratifikasi adalah pemberian dalam arti luas. Bisa berupa uang, barang, rabat, diskon, komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Pendek kata, gratifikasi dapat berupa barang atau jasa.
Tetapi ketentuan Pasal 12B dikecualikan oleh Pasal 12C ayat (1) UU No. 20 Tahun 2011. Tidak dianggap gratifikasi apabila dilaporkan ke KPK maksimal 30 hari setelah diterimanya barang atau jasa. Setelah pelaporan, KPK dalam waktu paling lama 30 hari berkewajiban menentukan apakah gratifikasi itu menjadi milik negara atau si penerima.
Niat
Dari aturan pemberantasan korupsi, menurut saya, setidaknya ada tiga batasan agar gratifikasi tidak dianggap sebagai suap. Pertama, waktu pelaporan. Undang-undang memberikan jangka waktu bagi penerima gratifikasi melaporkan barang, fasilitas, atau pemberian apa pun yang mungkin saja berkaitan dengan jabatan, tanggung jawab, dan kewenangannya. Tenggat 30 hari diberikan sebagai jeda supaya penerima gratifikasi memiliki kesempatan yang cukup untuk memberitahukan ke KPK. Artinya, semestinya term waktu tak bisa lagi dijadikan alasan untuk menghindari sangkaan suap.
Kedua, penilaian KPK. Yang berhak menilai apakah sebuah gratifikasi bisa dianggap suap atau tidak hanyalah KPK. Lembaga antikorupsi ini adalah satu-satunya pemegang otoritas. Tujuan utamanya, supaya pengawasan terhadap kewenangan tersebut mudah. Di samping itu, tak adil kiranya jika seandainya pemberian kepada pejabat yang tak berkaitan dengan jabatannya dilarang. Meski demikian, idealnya pejabat tak boleh menerima apa pun dari pihak mana pun untuk menjaga integritasnya.
Unsur ketiga yang sangat penting adalah niat dari penerima gratifikasi. Batas tempo yang ditentukan, lembaga penilai yang sudah ada tidak akan berjalan dalam mengontrol gratifikasi kalau si penerima tak memiliki niat melaporkan sebuah pemberian ke KPK. Di sinilah kemudian aturan delik suap berlaku. Apabila tidak ada laporan sampai batas waktu yang dipatok oleh undang-undang, otomatis delik suap berlaku. Untuk gratifikasi di bawah harga Rp 10 juta, jaksa penuntut umum yang berkewajiban membuktikan. Sebaliknya, di atas Rp 10 juta, si penerima yang membuktikannya. Pada titik ini, ketentuan mengenai pembalikan beban pembuktian dapat dikenakan.
Lantas, apakah Rudi dapat lepas dari jerat hukum? Dalam hal ini, hasil pemeriksaan penyidik masih harus ditunggu. Tetapi tak ada kelirunya kalau mencoba mensimulasi kemungkinan proses pemeriksaannya. Minimal ada tiga langkah yang bisa ditapak untuk membuat terang apakah pemberian uang dan barang dari Kornel Oil kepada dosen teladan dua kali itu merupakan suap atau gratifikasi.
Motif
Langkah pertama, merekonstruksi waktu. Dari informasi yang dilansir media dan keterangan KPK, operasi tangkap tangan terhadap Rudi dilakukan pada Selasa malam, 13 Agustus 2013, pukul 22.30 WIB. Operasi dilakukan karena ada sangkaan suap sebesar US$ 700 ribu yang diberikan sebanyak dua kali. US$ 300 ribu sebelum Lebaran dan US$ 400 ribu setelah Lebaran (tempo.co, 14 Agustus 2013).
Simulasi waktu yang tersedia adalah titik tengah untuk kasus itu, yakni hari Idul Fitri 1434 Hijriah, yang bertepatan dengan 8 Agustus 2013. Katakanlah jangka maksimal waktu pemberian uang sebelum Lebaran adalah 7 Agustus 2013, dan 12 Agustus 2013 adalah batas maksimal pemberian uang setelah Lebaran, maka ada waktu enam hari bagi berlangsungnya dugaan perbuatan pidana.
Sebagaimana diatur dalam Pasal 12C ayat (1) UU No. 20 Tahun 2001, batas maksimal hari pelaporan gratifikasi adalah 30 hari. Waktu enam hari kurang dari 30 hari. Dengan demikian, Rudi bisa jadi tidak dapat dijerat dengan ketentuan pasal gratifikasi. Namun, jika pemberian US$ 300 ribu dilakukan pada 14 Juli 2013 atau sebelumnya, sistem hukum gratifikasi dapat dijatuhkan tanpa terkecuali, tanpa syarat apa pun alias wajib.
Langkah kedua, menakar besaran gratifikasi. Sangat susah meyakini bahwa gratifikasi kepada Rudi bukan suap. Sebab, nilainya bukan puluhan ribu, melainkan miliaran rupiah. Ada juga motor gede. Selanjutnya, Kernel Oil, sebagai pemberi gratifikasi, juga tak memiliki hubungan darah apa pun dengannya. Pada bagian ini, kemungkinan besar Rudi tidak lagi dijerat dengan pasal gratifikasi, melainkan pasal suap-menyuap.
Apakah ada gratifikasi yang tidak masuk kategori suap dan karenanya tak perlu dilaporkan? Jawabannya sementara ini ada. Imbauan pimpinan KPK bernomor B. 143/01-13/01/2013 bertanggal 21 Januari 2013 mengemukakan, ada sepuluh poin bentuk dan asal pemberian gratifikasi yang tidak perlu dilaporkan. Misalnya, hadiah undian, bunga bank, pemberian keluarga yang tidak memiliki konflik kepentingan, seminar kits, dan sajian yang berlaku umum dari acara resmi.
Langkah ketiga, memeriksa motif. Jika nyata atau samar pemberian sejumlah uang dan barang dari Kernel Oil ternyata berkaitan dengan jabatan Rudi dan kemudian mengubah kebijakan SKK Migas yang secara langsung atau tidak langsung menguntungkan atau akan menguntungkan Kernel Oil, patut diduga pemberian itu adalah suap, bukan gratifikasi. Akhirnya, dugaan kasus ini diharapkan menjadi pintu masuk untuk membongkar perselingkuhan pejabat korup dengan mafia minyak yang menyebabkan jebolnya anggaran negara. Semoga.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 24 Agustus 2013