Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Entah apa sebenarnya yang terjadi di komisi III DPR hingga saat ini belum terlihat ada kemauan untuk melakukan uji kelayakan dan kepatutan terhadap calon pimpinan KPK (capim KPK). Padahal pemerintah sudah mengajukan 10 kandidat. 2 kandidat diajukan dimasa pemerintahan SBY, dan 8 kandidat diajukan oleh Presiden Jokowi. Tugas DPR saat ini untuk melakukan pemilihan. Namun nampaknya DPR masih menyendera Capim KPK tersebut. Berputar-putar dengan berbagai alasan, DPR masih enggan melanjutkan proses fit and proper test, meskipun masa jabatan pimpinan KPK saat ini akan habis.
Sebenarnya aturan seleksi pimpinan KPK sudah sangat jelas, baik mengenai syarat dan prosedurnya. Ini juga bukan kali pertama seleksi dilakukan. Telah 3 periode pimpinan KPK yang diseleksi. Namun kali ini, manuver dan intrik politik DPR sangat mengkhawatirkan bagi masa depan KPK.
Kewajiban DPR
Menurut UU KPK, proses seleksi pimpinan KPK melibatkan dua kekuasaan, yaitu kekuasaan pemerintahan (eksekutif) dan parlemen (legislatif). Masing-masing kekuasaan itu memiliki peran masing-masing dalam proses seleksi yang telah ditentukan oleh UU. Prinsipnya, tidak boleh ada saling intervensi antara dua kekuasaan tersebut. Mereka harus bekerja dalam ranah prinsip checks and balances dan mutual respect (saling menghormati). UU mengatur bahwa proses pemilihan calon pimpinan KPK dilakukan oleh pemerintah. Sementara pemilihan tahap akhir, dilakukan oleh DPR. Jadi proses pemilihan dimulai oleh pemerintah dan berakhir di DPR.
Untuk menjaring para kandidat tersebut, pemerintah harus membentuk Panitia Seleksi (Pansel) yang terdiri atas unsur pemerintah dan masyarakat. Pansel bekerja dan bertanggung jawab pada Presiden. Bentuk pertanggungjawaban Pansel adalah dalam waktu lebih kurang selama 2 bulan, Pansel harus menyelesaikan seleksi dan menyerahkan 10 nama kandidat Capim KPK kepada Presiden. Setelah itu, Presiden menyampaikannya kepada DPR. Disinilah kewenangan DPR dimulai. Sejak diterimanya calon yang diusulkan Presiden, maka DPR dapat memulai kewenangannya untuk melakukan pemilihan.
Apakah DPR dapat menolak untuk memilih? Jawabannya tidak. Sebab UU tidak memberikan pilihan bagi DPR untuk menerima atau menolak calon dari pemerintah. Pasal 30 angka 10 tegas menyatakan bahwa DPR wajib memilih diantara Capim yang diajukan Presiden. Dan DPR wajib memilih dan menetapkan 5 (lima) orang. Tidak boleh kurang dari itu. Bahkan UU pun memerintahkan DPR untuk wajib memilih dan menetapkan Ketua dan Wakil Ketua KPK. Penggunaan kata “wajib” dalam norma UU tersebut menunjukkan bahwa pemilihan itu merupakan kewajiban DPR, bukan kewenangan biasa. Artinya, mau tidak mau, DPR harus memilih pimpinan KPK dari kandidat yang diusulkan oleh pemerintah.
Mekanisme pemilihan pimpinan KPK memang berbeda dengan komisi negara lainnya. Ambil contoh pemilihan anggota Komisi Yudisial. Disitu memang DPR dapat menyatakan penolakan atas semua atau sebagian calon. Sebab, mekanisme yang digunakan adalah model persetujuan. Dalam sistem ini, sejatinya DPR tidak melakukan pemilihan, tetapi hanya menyatakan setuju atau tidak setuju dengan kandidat yang diajukan. Terdapat kemungkinan bahwa DPR menyetujui/menolak semua calon atau sebagian saja. Sementara untuk KPK, DPR wajib melakukan pemilihan.
Jika anggota komisi III DPR menolak untuk memilih dan mengembalikan calon-calon tersebut ke pemerintah, maka sikap ini jelas melanggar UU KPK. Mereka yang duduk di komisi III juga dapat melanggar aturan dalam UU MD3 yang mewajibkan semua anggota DPR untuk menaati peraturan perundang-undangan dan melaksanakan kewajiban sesuai perintah UU. Pelanggaran terhadap ketentuan ini juga merupakan termasuk pelanggaran kode etik anggota DPR.
Bukan Perwakilan
Masalah kedua yang mencuat dalam seleksi KPK kali ini adalah, apakah harus ada perwakilan Jaksa (dan polisi)? Isu ini sebenarnya bukanlah isu baru. Setiap momen seleksi pimpinan KPK, isu ini selalu saja diperdebatkan. Padahal UU KPK telah dengan jelas mengatur syarat seorang pimpinan KPK. Tidak ada satu norma pun dalam UU KPK yang mengatur bahwa harus ada unsur-unsur Kejaksaan dan Kepolisian dalam komposisi pimpinan KPK. Sepanjang memenuhi syarat administratif yang ditetapkan UU, seseorang dapat menjadi calon.
Persyaratan itu termaktub dalam Pasal 29 UU KPK. syarat spesifik misalnya batas usia minimal 40 tahun, tidak pernah melakukan perbuatan tercela, tidak menjadi pengurus partai politik, melepaskan jabatan struktural dan atau jabatan lainnya selama menjadi pimpinan KPK. Tidak harus sarjana hukum. Sarjana lain juga diterima karena UU KPK tidak menekankan pada gelar kesarjanaan. Yang terpenting adalah memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 (lima belas) tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan. Selain itu, harus cakap, jujur, memiliki integritas moral yang tinggi, dan memiliki reputasi yang baik. Ketentuan Pasal 29 tersebut dengan jelas menunjukkan bahwa tidak ada keharusan adanya perwakilan Jaksa dan Polisi.
Selain bertentangan dengan UU, logika adanya perwakilan jaksa dan polisi juga bertentangan dengan raison d’etre (alasan hukum) lahirnya KPK. Secara historis, jaksa dan polisi tidak dikehendaki untuk menjadi pimpinan KPK. Lembaga antikorupsi ini justru secara khusus dibentuk karena kejaksaan dan kepolisian dianggap tidak efektif. Untuk itulah, KPK menjadi trigger mechanism dan punya tugas khusus yaitu memberantas penegak hukum korup. Hadirnya jaksa dan polisi sebagai pimpinan tentu dapat membuat lumpuh lembaga ini ketika mengusut korupsi di institusi penegak hukum karena adanya benturan kepentingan (conflict of interest) dan semangat korps (esprit de corps). Dan hal ini telah terbukti dalam beberapa kasus yang ditangani KPK.
Maka dapat disimpulkan bahwa alasan DPR menunda pemilihan Capim KPK jelas mengada-ada dan tidak legitimate. Karenanya kepada yang terhormat anggota DPR, segeralah pilih dan tetapkan 5 pimpinan KPK yang baru.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO pada 30 November 2015