Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
KATA krimininalisasi kembali muncul. Sudah ”diwanti-wanti” supaya tak muncul lagi namun tanpa dinyana-nyana kata itu menyeruak secara tiba-tiba. Pemicunya adalah Bambang Widjojanto yang diinisialkan BW oleh beberapa pihak, salah satu pimpinan KPK, yang ditangkap penyidik Bareskrim Mabes Polri (23/1/15).
Saya bukan ahli bahasa yang bisa tepat mendefinisikan kata kriminalisasi. Hanya imbuhan ”isasi” pada kata kriminal saya maknai adanya proses untuk mengkriminalkan. Kriminal berarti berkait kejahatan yang dapat dihukum dengan undang-undang (KBBI; 2008: 819). Pendek kata, ada usaha mencari-cari atau mengada-adakan perbuatan kriminal terhadap seseorang/lembaga, yang sebenarnya tidak ada.
Mungkin ada yang bertanya, mengapa penangkapan BW sampai pada asumsi adanya kriminalisasi terhadap KPK? Bukankah penangkapan itu juga bagian dari penegakan hukum? Setidak-tidaknya ada tiga alasan runtut, sebagai satu kesatuan, untuk menilainya.
Pertama; penetapan Komjen Budi Gunawan sebagai tersangka korupsi oleh KPK (13/1/15). Jenderal bintang tiga itu disangka melanggar Pasal 5 Ayat (2), Pasal 11, Pasal 12 Huruf a, Pasal 12 Huruf b, atau Pasal 12B UU Nomor 31 Tahun 1999 jo UU Nomor 20 Tahun 2001. Ia diduga menerima hadiah dan suap selama melaksanakan tugas kepolisiannya.
Penetapan tersangka dilakukan KPK setelah mendalami hasil penelusuran Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) terhadap rekening mencurigakan milik beberapa jenderal polisi tahun 2010. Artinya, langkah hukum ini bukan ujug-ujug. Ada waktu hampir 4 tahun bagi penyidik KPK untuk mempelajari dan meyakinkan lidik-sidiknya.
Setelah penetapan status tersangka itu, tampaknya ada usaha dari Komjen Budi untuk menyoal kebijakan hukum KPK. Kabarnya, Ketua KPK Abraham Samad dan BW dilaporkan ke Kejaksaan Agung atas dugaan penyalahgunaan wewenang. Tujuannya jelas supaya komisi antirasuah kesusahan memeriksa karena pimpinannya dijerat hukum.
Ternyata strategi pelaporan penyalahgunaan wewenang meleset. Alhasil, dicari jalan lain. Jangan-jangan, yang memungkinkan adalah menetapkan BW sebagai tersangka dengan menggunakan Pasal 242 jo Pasal 55 KUHP perihal sumpah palsu dan keterangan palsu. Artinya, penangkapan BW adalah strategi sampingan untuk memperlambat kinerja KPK. Bila benar demikian, bukankah Bareskrim sedang mengada-ada?
Kemudian, langkah yang mengada-ada itu dikuatkan dengan alasan kedua bahwa ternyata pelaporan kembali dugaan kasus kesaksian palsu atas nama BW (dan lainnya) sudah dicabut. Bupati Kota Waringin Barat (Kobar) Kalimantan Tengah, Ujang Iskandar menuturkan (23/1/15), laporan kasus kesaksian palsu itu dulu memang pernah disampaikan ke Bareskrim. Pelapornya Sugianto alias Yusuf Sugianto alias Sugianto Sabran, pesaingnya di pilkada Kobar. Sugianto menuduh para saksi Ujang Iskandar —BW ada di dalamnya— telah memberikan kesaksian palsu di depan sidang sengketa hasil pilkada di Mahkamah Konstitusi.
Berdasarkan keterangan Ujang, ada 68 saksi yang dituduh Sugianto memberikan kesaksian palsu. Bareskrim Mabes Polri pun memeriksanya. Hasilnya nihil. Tuduhan tak terbukti. Akhirnya, Sugianto mencabut laporannya.
Proses Supercepat
Namun, pada 19 Januari 2015, Sugianto Sabran kembali melaporkan kasus itu ke Bareskrim sebagaimana dicatat dengan laporan bernomor LP/67/I/2015/ Bareskrim. Sehari setelahnya, 20 Januari 2015, terbit surat perintah penyidikan bernomor SP.Sidik/53/I/2015/ Dittipideksus. Bagai mendapat angin segar menghantam KPK, penyidik Bareskrim pun menangkap BW tiga hari setelahnya. Sungguh proses yang supercepat.
Ketiga; proses penangkapan tidak diawali prosedur yang layak oleh penyidik Bareskrim. Setelah proses administratif di Bareskrim selesai, penyidik langsung bergerak menggelandang BW tanpa mengindahkan misalnya Pasal 19 Ayat (2) KUHAP. Berdasarkan pasal itu, penyidik semestinya memanggil dulu tersangka secara sah maksimal dua kali. Faktanya, tak ada pemanggilan yang layak kepada BW. Bahkan satu kali pun tidak. Bukankah ini menyimpang?
Tiga alasan tersebut tak bisa dipisahkan satu per satu mengingat semuanya harus dirunutkan. Hasilnya, seperti ada usaha melemahkan KPK melalui penangkapan salah satu pimpinannya. Ada usaha sistematis dan merajalela (rampant) untuk mempereteli gerakan pemberantasan korupsi melalui kriminalisasi pimpinan KPK.
Memang, kolektif kolegial dalam Pasal 21 Ayat (5) UU Nomor 30 Tahun 2002 bisa diartikan: pokoknya lebih dari satu masih bisa dianggap kolektif. Tapi tak bisa dimungkiri bila pimpinan KPK berkurang satu maka sedikit banyak bakal mengganggu kinerja komisi antikorupsi.
Kriminalisasi terhadap KPK berarti perlawanan terhadap upaya pemberantasan korupsi. Saya kira, rakyat Indonesia tidak akan membiarkan kriminalisasi ini terus berlangsung mengingat korupsi adalah musuh bersama. Cita-cita memiliki negara yang bersih dari korupsi bukan lagi jadi kewajiban, melainkan kebutuhan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 27 Januari 2015