Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
PENGADILAN Tipikor Semarang menvonis bebas Untung Wiyono, mantan Bupati Sragen, terdakwa korupsi pencairan APBD Kabupaten Sragen 2003-2010 (SM, 22/03/12). Putusan bebas itu sontak membuat akal dan pikir lunglai. Apa yang sedang terjadi?
Sebelumnya, Pengadilan Tipikor Semarang beberapa kali membebaskan terdakwa korupsi. Ada terdakwa Oei Shindu Stefanus, kasus korupsi SIAK Online Cilacap, yang dibebaskan pada 21 Oktober 2011. Lalu, Agus Sukmaniharto, kasus korupsi dana ganti rugi pembebasan lahan untuk jalan tol Semarang-Solo di Jatirunggo (10 Januari 2012). Kemudian, Yanuelva Etliana, kasus korupsi Bank Jateng Rp 39 miliar (29 Februari 2012). Selanjutnya, Suyatno, kasus suap Bupati Kendal (mantan) Hendy Boedoro sejumlah Rp 13,5 miliar (8 Maret 2012).
Bayangkan, Pengadilan Tipikor Semarang membebaskan empat terdakwa korupsi dalam waktu tiga bulan (Januari-Maret). Persentase pembebasannya lebih dari 100 persen. Jika begini sejatinya Pengadilan Tipikor telah mati. Ia tak berfungsi sebagaimana tujuan pendiriannya.
Posisi Pengadilan Tipikor penting pada skema pemberantasan korupsi. Pasalnya pengadilan tersebut adalah muara dari segala upaya memerangi korupsi. Pengadilan menjadi tempat terakhir mendapatkan keadilan dalam kerangka kasat mata. Kerja penindakan korupsi oleh kepolisian, kejaksaan, bahkan KPK, akan diakui hasilnya kalau sudah diproses Pengadilan Tipikor.
Pada bagian inilah, titik krusial keberadaan Pengadilan Tipikor. Artinya, Pengadilan Tipikor tidak boleh seenaknya membebaskan terdakwa korupsi. Karena membebaskan berarti menggembosi roda pemberantasan korupsi, menyiutkan kerja kepolisian, kejaksaan, dan KPK.
Inti Keadilan
Mungkin ada pendapat bahwa pengadilan adalah ruang mencari keadilan bukan tempat penghukuman. Apa yang disangka benar oleh publik, belum tentu benar oleh pengadilan. Begitu juga, sesuatu yang diduga keliru oleh masyarakat, tak selalu keliru oleh pengadilan. Karena itu, membebaskan terdakwa, termasuk kasus korupsi, boleh jadi benar mengingat pengadilan adalah tempat mengadili, bukan menghakimi.
Namun keadilan selalu memiliki inti. Keadilan yang diperkenalkan Aristoteles ataupun John Rawls mempunyai inti. Keadilan substantif, keadilan distributif, ataupun keadilan prosedural juga ada intinya. Inti keadilan adalah ia bermanfaat untuk kemaslahatan dan diperoleh dengan tidak melanggar norma, asas, serta nilai. Ia tidak melanggar ketentuan agama, ketentuan formal, dan material perundang-undangan.
Jika keadilan hasil putusan pengadilan didapat dengan menutup mata norma, asas, dan nilai maka ia menjadi tidak adil. Apabila keadilan dari vonis hakim ternyata melanggar ketentuan agama dan ketentuan formal serta material peraturan perundang-undangan maka ia menjadi tak adil.
Dalam kasus Untung misalnya, terdakwa lain seperti Koeshardjono, mantan Sekda Sragen, divonis 4 tahun 6 bulan penjara. Adapun Srie Wahyuni, mantan Kepala DPPKAD, divonis 2 tahun 8 bulan (SM, 22/03/12).
Padahal, Untung diduga bersama-sama Koesdihardjono dan Srie mengorupsi APBD Sragen 2003-2010. Sekarang Untung bebas, sedangkan Koeshardjono dan Srie tetap dipenjara. Dalam perspektif Koeshardjono dan Srie Wahyuni, di manakah keadilan itu?
Hakim memiliki kewenangan besar. Ia menjadi wakil Tuhan di bumi. Dengan kewenangannya, jika tuntutan jaksa dinilai lemah, hakim memiliki kuasa untuk memerintahkan jaksa memperbaiki berkas tuntutan.
Kuasa hakim dalam rangka memberikan keadilan bagi Koeshardjono dan Srie Wahyuni, serta bagi seluruh masyarakat Sragen pembayar pajak yang dipungut untuk APBD, dan bagi nation-state.
Apa yang terjadi di Pengadilan Tipikor Semarang sehingga menjatuhkan vonis bebas? Jangan-jangan ada tangan mafia yang mengotori roh pengadilan dalam memberantas korupsi.
Karena itu KPK, KY, dan MA harus turun memeriksa majelis supaya pengadilan itu tak mati terlalu lama.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 29 Maret 2012