oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
SETIAP kasus korupsi yang melibatkan petinggi partai politik hampir selalu diikuti tendensi dan berbagai jenis pertarungan yang mengiringi penanganan perkara tersebut. Sekadar mengingatkan, apa yang terjadi di kasus-kasus yang melibatkan oknum partai biasanya menimbulkan turbulensi tertentu dalam penanganannya. Karena itu, seakan menjadi rumusan standar bahwa perkara korupsi dengan tendensi politik sering akan berhadapan dengan upaya memolitisasi penegakan hukum.
Seperti yang terkini di kasus Hambalang. Pengakuan salah seorang petingi Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) menyebutkan ada pihak yang mengintervensi kerja BPK dalam melakukan audit investigasi proyek Hambalang. Dalam laporan tersebut, nama Menteri Pemuda dan Olahraga Andi Mallarangeng dan sejumlah perusahaan kontraktor tidak dinyatakan terlibat. Padahal, dalam pemeriksaan awal yang dilakukan BPK, terdapat sejumlah bukti keterlibatan Andi dan sejumlah perusahaan kontraktor tersebut dalam proyek Hambalang. Perusahaanperusahaan yang diduga terlibat dalam proyek Hambalang antara lain PT Dutasari Citralaras dan PT Adhi Karya. Di PT Dutasari Citralaras, istri Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum pernah menjadi komisaris.
Pernyataan itu sontak menjadi pembi caraan publik. Pernyataan intervensi tersebut menjadi semakin aktual ke tika diikuti beredarnya laporan hasil pemeriksaan kasus Hambalang memang ti dak terdapat nama-nama yang telah diindikasikan salah seorang anggota BPK tersebut. Potret itu seakan-akan mengafirmasi pernyataan sang anggota BPK. Hal itu kemudian secara resmi dibantah BPK dengan menyatakan terjadi `keseleo lidah’ dalam menyebutkan intervensi.
Bahayanya ialah dengan seketika, publik dikaburkan dengan cita-cita penegakan hukum di kasus Ham balang. Yang terjadi seakan-akan bahwa sudah terjadi `kongkalikong’ yang menjadikan proses penegakan hukum di kasus Hambalang telah dimodifikasi. Pernyataan `keseleo lidah’ tentunya menjadi sangat dangkal untuk dijadikan pemurni bagi opini publik yang sudah telanjur terbentuk.
Karena itu, entah benar entah tidak, pernyataan tersebut telah terlanjut membentuk beberapa wilayah yang harus dianalisis, sekaligus diverifikasi, agar tidak membunuh kepercayaan publik akan penegakan hukum di kasus Hambalang.
Pertama, yang paling penting tentu saja ialah penjelasan mendetail perihal makna intervensi yang ada. Jika ada anggota BPK merasa diintervensi dan pada saat yang sama ada yang merasa tidak ada intervensi, tentu harus diklarifikasikan ke publik.
Apalagi secara proses, semua keputusan BPK dikerjakan secara kolektif dan dibahas bersama di antara semua anggota BPK. Karena itu, paling tidak harus disebutkan makna sebenarnya dari intervensi tersebut. `Keseleo lidah’ terasa terlalu meremehkan kecerdasan publik, termasuk kecerdasan anggota BPK yang dicap keseleo lidah dengan mengatakan ada intervensi. Makna ada intervensi dengan pemeriksaan yang benar tanpa intervensi tentunya berseberangan diametral. Dalam potret yang berseberangan diametral tersebut, selain berpeluang menghalangi penegakan hukum kasus Hambalang, ada pertaruhan atas kredibilitas BPK.
Baik masa depan kasus Hambalang maupun kredibilitas BPK memiliki `harga’ yang sangat tinggi untuk dipertaruhkan. Karena itu, jika BPK memilih untuk `berdiam’ atau sekadar mengumumkan keseleo lidah, tentu menjadi semacam pertaruhan dengan harga mahal tersebut sangat dikhawatirkan tidak akan mampu dibayar. Apa yang akan terjadi pada masa depan kasus Hambalang yang laporannya sudah dianggap termodifikasi? Siapa yang masih bisa memercayai BPK dengan rezim ketertutupan soal intervensi?
Penjelasan mendetail itu menjadi sangat perlu mengingat intervensi politik memang sangat mungkin untuk lembaga semisal BPK yang memang rentan dengan berbagai kepentingan politik. Secara keanggotaan, kedekatan proses pemilihan anggota BPK dengan preferensi politik ialah hal yang menjadi faktor mustahil untuk dieliminasi begitu saja. Kolaborasi DPR dengan usulan DPD untuk keanggotaan BPK menjadi sangat mungkin berbau `politis’. Faktor yang ketika disandingkan dengan kepentingan partai-partai menjadi sangat mungkin tersentuh oleh intervensi secara sengaja maupun tidak sengaja. Faktor-faktor yang ketika terus dikumpulkan bisa semakin mengakumulasi kecurigaan adanya intervensi.
Karena itu, gerak dan langkah klarifikasi dan verifikasi BPK menjadi penting karena begitu banyak yang akan dipertaruhkan oleh BPK. Paling tidak, BPK bisa datang dengan penjelasan resmi soal pernyataan intervensi yang dihadiri oleh yang memberikan pernyataan dan pada saat yang sama ada tindakan untuk penegasan yang dilakukan atas pernyataan tersebut.
Jika pernyataan intervensi memang benar, BPK harus menyebutkan wilayah mana yang diintervensi dan apa yang telah dilakukan untuk menutup lubang yang tercipta karena intervensi. Jika pernyataan intervensi memang tidak benar, harusnya diikuti dengan sanksi terhadap pemberi pernyataan yang telah telanjur membawa BPK ke arah `pertaruhan’ dengan harga yang kelewatan mahal. Selama hal itu tidak dilakukan, kalkulasi pertaruhan atas nama BPK dan kasus Hambalang akan terus berjalan dan sangat berpotensi merugikan masa depan pemberantasan korupsi yang diinginkan oleh negeri ini.
Kedua, BPK mau tidak mau terpaksa harus memperbaiki beberapa hal yang berkaitan dengan hasil pemeriksaan tersebut. Hasil pemeriksaan yang akan diserahkan pada 31 Oktober 2012 dan bertepatan dengan masa reses tentu akan sangat dinantikan tidak hanya oleh publik, tetapi juga oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Jika memang laporan nantinya akan diserahkan, tentunya akan menjadi menarik untuk membandingkan draft audit yang ada di 1 Oktober 2012 dengan laporan hasil pemeriksaan 31 Oktober 2012. Pun ketika draft dan laporannya selaras, tetap akan menimbulkan pertanyaan. Begitu juga ketika ada ketidaksinkronan di antara kedua nya, begitu banyak pertanyaan akan tetap dimunculkan.
Artinya, perbaikan rasio laporan menjadi penting untuk ikut menjelaskan keselarasan draft laporan dengan hasil akhirnya. Maupun juga penjelasan yang memadai ketika ada pergeseran hasil antara draft dan laporannya. Format yang kemudian menjelaskan secara detail mengenai teknis pekerjaan auditing yang menyebabkannya selaras, maupun yang menyebabkannya berbeda, karena pernyataan intervensi telah memperburuk kondisi keterkaitan antara draft-nya dan laporan akhirnya. Rasio yang pas dan benar harus ada untuk menjelaskannya.
Ketiga, kembali berharap pada kerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). KPK memang ditakdirkan untuk menjaga asa masa depan pemberantasan korupsi tetap ada. Lagi pula harus diingat, laporan BPK ialah format indikasi yang belum dapat dibaca sebagai penjelasan pertanggungjawaban hukum antikorupsi atas aktor yang disebutkan di dalamnya. KPK tentu tidak boleh terpengaruh dengan substansi laporan BPK. Artinya, arah penuntasan kasus Hambalang tidak boleh diselaraskan dengan laporan BPK an sich.
Karena itu, meskipun laporan BPK telah ditengarai terkontaminasi atau termodifikasi oleh kepentingan politik, tidak boleh dijadikan alasan bahwa kasus Hambalang tidak selesai dengan baik. Langkah dan kemampuan KPK untuk menyelidiki kasus Hambalang harus mampu menjadi purifikasi atas aroma publik yang sudah dikotori oleh adanya pernyataan intervensi. KPK punya mandat kuat dari negara dan masyarakat untuk menyelesaikan kasus-kasus korupsi apa pun, apalagi kasus korupsi yang memiliki tingkat tendensi politik tinggi sehingga berpeluang mengaburkan cita-cita pemberantasan korupsi.
Secara keseluruhan, BPK memang harus bekerja ekstra saat ini untuk membuktikan posisi pernyataan intervensi. Kealpaan menjelaskan akan menjadi jalan termudah untuk merusak kredibilitas BPK, termasuk kemungkinan tuduhan bahwa BPK-lah yang menghalangi kasus Hambalang. Selain itu, harapan memang harus dikirimkan ke KPK. Kerja KPK akan menentukan purifikasi atas intervensi. Lagi-lagi karena kita semua punya harapan besar akan pemberantasan korupsi yang baik untuk menyelesaikan berbagai kasus tanpa halangan, termasuk kasus Hambalang.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 29 Oktober 2012