Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Hampir setiap pergantian komisioner pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi, isu perihal komposisi komisioner KPK selalu menjadi perhatian. Bahkan, sering kali ada anggapan yang tidak tepat dengan mengatasnamakan tafsir historis (sejarah pembentukan KPK). Atau malah menggunakan penalaran yuridis, yang seakan-akan menggariskan pentingnya KPK memiliki komisioner dari unsur kepolisian dan/atau kejaksaan, termasuk urgensi adanya mereka di jajaran komisioner KPK. Suatu hal yang tentu sangat mungkin untuk diperdebatkan.
Membaca UU KPK
Membaca ketentuan dan sebuah kebijakan, sangat sulit hanya mendekatinya dengan perspektif tunggal. Apalagi untuk aturan yang tak secara jelas menyebutkan secara limitatif. Artinya, ruang menafsirkan menjadi terbuka lebar. Akan halnya soal KPK, tak ada aturan sedikit pun yang menjelaskan bahwa komisioner di sana merupakan perwakilan dari berbagai tempat.
UU No 30/2001 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) hanya menyebutkan latar belakang kompetensi sebagai memiliki ijazah sarjana hukum atau sarjana lain yang memiliki keahlian dan pengalaman sekurang-kurangnya 15 tahun dalam bidang hukum, ekonomi, keuangan, atau perbankan (Pasal 29). Dari ketentuan ini, tentunya mustahil mengartikannya sebagai alasan yuridis untuk mengatakan bahwa polisi dan jaksa sangat wajib ada dalam KPK.
Alasan yuridis lain yang lebih tidak tepat lagi adalah kutipan beberapa pihak atas Pasal 21 Ayat (5) UU KPK bahwa: ”Pimpinan KPK sebagaimana yang dimaksud dalam ayat (1) huruf a adalah penyidik dan penuntut umum”. Penafsiran ini berdasarkan pemikiran bahwa pimpinan KPK adalah penyidik dan penuntut umum seakan-akan menggariskan harus adanya penyidik dan penuntut umum sebagaimana dimaksud dalam ketentuan perundang-undangan, yakni polisi dan jaksa.
Kalau pasal ini ditafsirkan secara sangat letterlijk, hasilnya akan lebih kacau lagi karena seakan-akan pimpinan KPK hanya boleh berasal dari unsur kejaksaan. Pasalnya, hanya kejaksaan yang dapat bersifat ganda, bersifat penyidik dan penuntut umum dalam perkara korupsi.
Artinya, mustahil menggunakan klausul pasal itu untuk membenarkan bahwa harus ada jaksa dan/atau polisi di KPK. Yang paling mungkin, begitu menjadi pimpinan KPK, UU memberikan kewenangan secara atributif kepada kelima komisioner KPK untuk bertindak sebagai penyidik dan penuntut umum.
Dari konsep inilah mustahil membaca keseluruhan UU KPK (khususnya Pasal 39) dalam konsep bahwa penyidik perkara korupsi dan penuntut umum perkara korupsi hanya yang berasal dari kepolisian dan kejaksaan. Sangat mungkin bagi KPK mengangkat penyidik dan penuntut sendiri dan mendelegasikan kewenangan penyidikan dan penuntutan yang dimiliki oleh komisioner KPK tersebut kepada orang yang akan ditugaskan sebagai penyidik dan penuntut umum di KPK.
Inilah salah satu ”kekeliruan” yang terjadi dalam putusan salah satu sidang praperadilan tersangka korupsi yang lalu, yang mengatakan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan melakukan pengangkatan terhadap penyidik sendiri. Jika KPK tidak berwenang dengan alasan Pasal 39 Ayat (3) UU KPK, maka termasuk komisioner KPK pun tak bisa disematkan status penyidik dan penuntut umum sebagaimana yang diatur dalam Pasal 21 Ayat (5) UU KPK.
Artinya, tidak ada alasan yuridis yang dapat membenarkan bahwa seakan-akan harus ada polisi atau jaksa yang hadir di jajaran komisioner KPK oleh karena perintah UU.
Selain alasan yuridis, ada juga yang menggunakan alasan urgensi kapasitas dan keahlian penyidikan dan penuntutan. Sulit untuk menolak adanya urgensi kapasitas dan keahlian penyidikan dan penuntutan di KPK. Siapa pun paham itu adalah kemampuan yang sudah seharusnya dimiliki oleh KPK. Namun, hal ini juga tidak berarti komisioner KPK harus dari unsur kejaksaan dan kepolisian. Kapasitas penyidikan dan penuntutan sesungguhnya bisa dikerjakan oleh penyidik dan penuntut umum yang bekerja di KPK selaku penyidik dan penuntut umum dari unsur kejaksaan dan kepolisian.
Apalagi kalau kita lihat dari segi kiprah unsur kejaksaan dan kepolisian di komisioner KPK sebelumnya. Tanpa bermaksud menafikan kerja mereka, nyatanya tidak banyak juga yang dapat mereka lakukan dan inisiasi dalam pola relasi dan kerja hubungan KPK dengan kejaksaan dan kepolisian. Jika dalam relasi saja minim, apalagi dalam konsep prestasi pemberantasan korupsi secara lebih luas, yakni termasuk koordinasi dan supervisi pemberantasan korupsi.
Menentukan unsur KPK
Dalam sebuah riset bersama dengan Indonesia Corruption Watch (ICW) beberapa tahun silam, tercatat bahwa problem koordinasi dan supervisi tetap saja tinggi dan ada walaupun pada zaman KPK jilid I dan II ada unsur kejaksaan dan kepolisian di dalamnya. Relasi tak rapi (atau bahkan pembangkangan) konsep koordinasi dan supervisi sesungguhnya tidak berada pada ada tidaknya unsur kejaksaan dan kepolisian. Akan tetapi, pada kemampuan membangun peraturan yang kuat dan rinci, sekaligus itikad secara kelembagaan untuk melakukannya.
Pada hakikatnya, KPK tidaklah dapat dikatakan sebagai Komisi Perwakilan Kejaksaan atau Komisi Perwakilan Kepolisian. Tak perlu ada logika perwakilan di tubuh KPK. Sesungguhnya, UU juga tidak menentukan hal itu. Oleh karena itu, yang paling penting dilakukan adalah menentukan apa yang dibutuhkan oleh KPK dalam kondisi saat ini, lalu menentukan unsur yang masuk di KPK. Dan inilah tugas panitia seleksi (pansel). Pansel KPK tidaklah dibentuk untuk hanya menjadi semacam event organizer dari sebuah proses seleksi, tetapi juga merupakan pengambil keputusan dari ”haru biru” dan kerja KPK ke depan.
Oleh karena itu, untuk pemberantasan korupsi hingga empat tahun ke depan, pansel pulalah yang harusnya menentukan corak dan model komisioner KPK apakah yang sesungguhnya dibutuhkan dalam melakukan percepatan pemberantasan korupsi. Pemberantasan korupsi apa yang mau dikedepankan dalam empat tahun ke depan. Pansel harus memperhatikan sektor-sektor prioritas pemberantasan korupsi, dan dari situlah KPK menentukan unsur yang pas bagi komposisi KPK.
Semoga Pansel KPK tidak terjebak pada logika pragmatis bahwa karena relasi KPK dengan kepolisian/kejaksaan sedang buruk, maka harus ada orang kejaksaan dan kepolisian yang dibawa ke komisioner KPK untuk memperbaiki hal itu. Logika ini tentu sangat pragmatis.
Apalagi, seperti yang dituliskan sebelumnya, tidak ada bukti yang bisa menjelaskan hal itu. Bahkan, alih-alih menciptakan relasi yang lebih baik, malah sangat mungkin yang akan terjadi sebaliknya: justru menjadi momok yang mendomestikasi kegarangan KPK dalam bertindak.
Oleh karena itu, sekali lagi, silakan Pansel KPK menentukan sektor dan wilayah prioritas pemberantasan korupsi hingga empat tahun ke depan, lalu pilihlah orang yang pas untuk mengawal hal tersebut. Semoga tanpa embel-embel pragmatisme.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 06 Agustus 2015