oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
JIKA dibuat dalam babakan, sudah sulit untuk menentukan kasus Century itu sesungguhnya sudah memasukkan babakan apa.
Serialnya sudah terlalu banyak dengan cerita yang nyaris berputar di masalah yang sama, antara hukum atau politik. Yang banyak bersisa dan dipertontonkan saat ini sesungguhnya ialah akrobat yang hanya diberi packaging hukum atau malah dianggap tipuan politik.
Pemanggilan Boedino oleh Tim Pengawas Century (Timwas) bentukan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) juga sesungguhnya berkutat pada masalah yang kurang lebih sama. Timwas Centu merasa berhak melakukan pemanggilan oleh karena DPR memiliki kewenangan untuk memanggil orang maupun pejabat mana pun dalam hal dimintai keterangan. keteranga Bahkan jika tidak datang, Timwas merasa memiliki ke miliki kewenangan yang dimiliki oleh DPR untuk melaksanakan tindakan paksa sebagaimana yang diatur di UU MPR, DPR, DPD, dan DPRD (UU MD3).
Kewenangan Timwas
Dalam konsep negara hukum, tidak ada satu pun yang boleh melakukan suatu kuasa tanpa adanya basis kewenangan hukum. Hanya dapat dikatakan berwenang, ketika memang memiliki kewenangan untuk melakukan hal itu. Makanya, lahirlah teori tentang bagaimana kewenangan itu bisa lahir, yakni secara atributif, distributif, ataupun mandat.
Akan halnya Timwas Century, tim ini lahir dari Sidang Paripurna DPR. Artinya, Timwas Century dan DPR bukanlah lembaga yang sama dan identik. DPR mendapatkan kewenangan yang teratribusi secara langsung kepada UUD `45 dan perundang-undangan lainnya, sedangkan Timwas lahir dari bentukan Sidang Paripurna DPR. Kewenangannya tentu juga jauh berbeda. DPR tentu memiliki kewenangan untuk semua hal yang dimiliki karena teratribusi, sedangkan Timwas memiliki kewenangan berdasarkan paripurna yang limitatif berdasarkan hal yang mau dimintakan kepada Timwas oleh DPR.
Dalam keputusan Sidang Paripurna DPR, kewenangan Timwas dengan jelas termaktub ten tang kewenangan untuk melakukan pengawasan atas rekomendasi DPR perihal penanganan kasus Bank Century, yang mana isinya telah menyerahkan prosesnya ke proses penegakan hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), kepolisian, dan kepolisian, dan kejaksaan. Dengan kata lain, kewenangan Timwas ialah mengawasi pelaksanaan penegakan hukum yang akan dilakukan oleh lembaga-lembaga penegak hukum itu. Apalagi, dalam rekomendasi Pansus Century ketika itu sudah dengan jelas menyebutkan bahwa Boediono adalah orang nomor wahid yang harus bertanggung jawab di kasus Century.
Artinya, secara hukum, tidak terlalu besar kemungkinan untuk dapat membenarkan tindakan pemanggilan oleh Timwas Century, apalagi jika hingga mau melakukan tindakan paksa jika Boediono menolak pemanggilan tersebut. Karena kewenangan Timwas Century tidak lagi berada pada ranah permintaan keterangan yang berkaitan dengan kasus Century, tetapi lebih pada keterangan soal penegakan hukum yang dilakukan oleh aparat penegakan hukum.
Terlebih, yang paling mengherankan dari tindakan pemanggilan dan ancaman tindakan paksa ialah urgensi dan hal apa yang mau didapatkan oleh Timwas Century dari Boediono. Bukankah DPR sudah berkesimpulan soal Boediono bersalah dan harus bertanggung jawab, dan karenanya menjadi bagian yang harus diperiksa oleh lembaga penegak hukum. DPR yang sudah melahirkan kesimpulan Boediono harus bertanggung jawab dan membentuk tim untuk hal itu. Timwas Century tentu saja tidak perlu mengulangi hal itu karena sudah menjadi keputusan DPR.
Aborsi hak menyatakan pendapat
Pertanyaan sederhana nya, bolehkah Timwas Century kemudian berbeda pendapat dengan rekomendasi DPR soal kedudukan Boediono? Tentu tidak, karena Timwas hanyalah perpanjangan tangan rekomendasi DPR dalam kaitan posisi Boediono di dalam skandal Century. Karena itu, lagi-lagi sulit untuk mendapatkan alasan pembenar perihal keterangan apa yang dimaui oleh Timwas Century atas Boediono ini.
Yang harus diingat juga oleh publik ialah adanya partai tertentu yang sesungguhnya sangat terlihat bermain-main dan tidak serius dalam penyelesaian skandal Century. Partai tersebut seakan-akan menjadikan skandal Century menjadi `layangan politik’ yang menentukan ditarik atau direnggangkannya hanya akan mengikuti hasrat politik. Sekadar membalik catatan kita ketika itu, yakni adanya pilihan partai-partai tersebut untuk tidak melakukan hak menyatakan pendapat (HMP) soal pelanggaran yang dilakukan oleh Boediono.
Padahal, UUD `45 secara jelas menyebutkan bahwa dalam hal DPR menganggap telah terjadi pelanggaran hukum semacam tindakan koruptif pada skandal Century yang dilakukan oleh presiden dan/atau wakil presiden, maka terdapat adanya kewenangan DPR untuk melanjutkannya ke proses pemakzulan via Mahkamah Konstitusi (MK). Jika memang ada anggapan serius dan matang soal kesalahan yang dilakukan oleh Boediono dan berakibat pada kerugian negara, menjadi perta nyaan yang paling mendasar ialah mengapa HMP malah diboikot oleh partai-partai tersebut.
Jangan-jangan, skandal Century yang memang peristiwa hukum telah digan daikan menjadi komoditas politik sehingga ketika akomodasi politik sudah terjadi, semisal dengan membentuk Sekretariat Gabungan (Setgab) ketika itu, maka partai-partai ter tentu tersebut sudah menarik diri dari proses HMP dan terjadi diri dari proses HMP dan terjadi lah proses aborsi HMP. Proses yang sesungguhnya konstitusional malah dinihilkan oleh tindakan partai-partai tertentu tersebut.
Karena itu, jangan salahkan publik jika mencurigai keinginan-keinginan pemanggilan atas Boediono hanyalah `kayu bakar’ politik yang ingin dinyalakan sebagai pemanasan menuju kontestasi politik 2014. Jangan salahkan jika masyarakat akan menjadi muak dengan tontonan politik karena yang dinanti-nantikan publik ialah penyelesaian secara hukum yang elegan dan benar.
Kemungkinan deadlock
Masalahnya sekarang ialah apabila kedua pendapat tersebut tidak bertemu. Antara perasaan memiliki kewenangan Timwas Century dan keengganan Boediono untuk menghadiri pemanggilan tersebut. Karena, kita sama sekali tidak memiliki mekanisme yang kuat untuk menyelesaikan sengketa kewenangan atau ketidakwenangan dalam hal ini. Kita hanya memiliki mekanisme sengketa kewenangan antarlembaga negara yang kewenangannya diberikan di UUD `45 yang akan dibawa ke MK untuk memutuskan kewenangan atau ketidakwenangan. Itu pun seungguhnya tidak begitu pas karena sengketa antara Boediono dan Timwas Century bukanlah sengketa kewenangan yang diambil oleh salah satunya. Bahkan, perlu ada pengayaan wacana yang mendalam untuk bisa mengatakan Boediono dan Timwas Century adalah lembaga negara yang disebutkan di konstitusi dan karenanya dapat bersengketa di MK.
Jika mau menghindari kemungkinan dead lock, memang harus ada keinginan Boediono maupun DPR untuk tidak melanjutkan `pertikaian’ tersebut di hadapan publik. Jika DPR mengatakan bahwa pemanggilan itu untuk menggali hasil pemeriksaan KPK yang sudah dilakukan atas Boediono yang mana ia kemudian melakukan konferensi pers, rasanya tidak membutuhkan pemanggilan terbuka dalam tingkat sidang di DPR.
Bisa saja Timwas Century melakukan apa yang sering mereka lakukan melalui silaturahim ke tokoh-tokoh semisal Jusuf Kalla. Mengapa Timwas Century tidak menyambangi saja Istana Wakil Presiden untuk saling berdiskusi atas konferensi pers yang dilakukan Boediono? Hal itu sangat mungkin dilakukan dengan prasyarat Boediono juga mau memahami bahwa ini sekadar permintaan silaturahim dan menceritakan hal-hal yang berkaitan dengan apa yang ia sampaikan dalam konferensi pers.
Hal-hal itu akan jauh lebih elegan dan meninggalkan kesan skandal Century hanya disajikan dalam rangka memanaskan suhu politik 2014. Kesan yang harus segera dihilangkan karena yang dinantikan ialah terselesaikannya secara hukum. Tindakan-tindakan yang lebih layak, yakni mendorong proses politik ke arah hukum, merupakan tindakan yang jauh lebih diinginkan saat ini. Salah satunya melalui proses HMP untuk melayangkan pendapat DPR menuju ke MK.
Hari ini merupakan tahun kelima perayaan Hari Antikorupsi, ketika kita masih berkutat pada hal yang sama soal skandal Century. Jengah rasanya ketika kasus itu terus-menerus hanya terlihat pada proses politik. Dorong segera dalam proses hukum, tanpa perlu manuver pemanggilan, apalagi tindakan paksa.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA pada 09 Desember 2013