oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Dunia penegakan hukum dilanda masalah kesejahteraan hakim. Hal pokok yang dituntut para hakim adalah adanya jaminan kesejahteraan yang selama ini mereka rasa sangat kurang. Gaji yang diberikan negara kepada profesi yang mulia tersebut dinilai tidak cukup. Tercatat sejak empat tahun yang lalu tidak ada perubahan gaji dan tunjangan yang mereka terima. Sementara itu, jika dibandingkan dengan pegawai negeri sipil atau pejabat negara lainnya, seperti anggota DPR yang terhormat, gaji dan tunjangan hakim sangatlah kecil.
Padahal Undang-Undang Kekuasaan Kehakiman telah menempatkan hakim sebagai pejabat negara. Setara dengan hakim Mahkamah Konstitusi. Semestinya, hakim menikmati sejumlah fasilitas layaknya pejabat negara, sebagaimana dijamin dalam Pasal 48 UU Kekuasaan Kehakiman bahwa hakim berhak atas kesejahteraan dan keamanan dalam menjalankan tugas penyelenggaraan kekuasaan kehakiman. Yang dimaksud jaminan kesejahteraan itu adalah meliputi gaji pokok, tunjangan, biaya dinas dan pensiun, serta hak-hak lainnya. Dan negara bertanggung jawab untuk memenuhinya.
Namun, kenyataannya, negara gagal memberikan jaminan kesejahteraan bagi para hakim. Jangankan sejahtera dalam pengertian sangat layak. Untuk memenuhi standar minimal kesejahteraan saja, negara telah gagal. Buktinya, selama empat tahun, gaji pokok hakim tidak pernah dinaikkan. Bahkan saat ini gaji pokok hakim lebih rendah dari gaji pegawai negeri sipil. Tunjangan remunerasi pun tidak dibayarkan penuh, melainkan hanya 70 persen saja. Entah apa alasan pemerintah, tunjangan remunerasi itu tak kunjung dibayar penuh walaupun sudah berjalan selama 4 tahun.
Kondisi inilah yang dikeluhkan hakim. Bahwa negara telah gagal menjalankan amanat undang-undang untuk memberikan jaminan kesejahteraan bagi hakim. Akibatnya, banyak cerita pilu tentang kehidupan para hakim, apalagi hakim yang bertugas di daerah-daerah yang jauh dari pusat kekuasaan dan perekonomian. Keadaan demikian jelas berpengaruh pada profesionalitas, integritas, dan kinerja hakim. Kinerja mereka bisa tidak maksimal dan integritas bisa tergadaikan. Lebih jauh, persoalan kesejahteraan ini bisa mengancam independensi hakim dan institusi peradilan.
Remunerasi Yudisial
Independensi peradilan bukanlah sesuatu hal yang hanya berhubungan dengan sistem ketatanegaraan dan mekanisme checks and balances. Faktor keuangan juga merupakan komponen penting dalam konsep independensi peradilan. Sebagaimana dijelaskan Shimon Shetreet dalam Judicial Independence in the Age of Democracy (2001), bahwa remunerasi yudisial merupakan aspek yang terkait dengan independensi institusional sekaligus independensi individu hakim yang harus dijamin negara.
Senada dengan Shetreet, P.H. Lane dalam Constitutional Aspects of Judicial Independence (1999) menempatkan jaminan akan keuangan ini sebagai salah satu aspek konstitusional dari independensi peradilan yang harus dijamin negara. Lane lebih tegas menyatakan bahwa gaji hakim harus diatur dalam konstitusi. Sebagaimana di beberapa negara seperti Amerika Serikat, Jepang, dan Singapura, di mana konstitusinya mengatur bahwa gaji hakim ditanggung negara dan tidak boleh dikurangi selama hakim tersebut menjabat. Pengaturan ini dimaksudkan untuk melindungi independensi hakim dan lembaga peradilan dari potensi intervensi pemerintah dan parlemen.
Rentannya hakim dan lembaga peradilan terhadap intervensi lembaga lain terkait dengan masalah keuangan ini telah lama dikhawatirkan oleh Alexander Hamilton. Dalam The Federalist Paper No. 78, Hamilton mengungkapkan bahwa dalam konsep Trias Politica, lembaga yudikatif merupakan yang paling lemah dibanding eksekutif dan legislatif.
Kelemahan itu tidak hanya berhubungan dengan posisi lembaga yudikatif dalam sistem ketatanegaraan, tapi juga lemah dari sisi keuangan. Sebab, pada umumnya, lembaga eksekutif dan legislatiflah yang mempunyai kewenangan menetapkan anggaran.
Sedangkan lembaga yudikatif tidak punya pengaruh apa-apa. Pada titik inilah, masalah anggaran bisa menjadi alat intervensi terhadap badan peradilan. Pemerintah berpotensi secara tidak langsung mempengaruhi independensi hakim dalam menangani sebuah perkara melalui kebijakan anggaran ini.
Dalam konteks itulah kita melihat bahwa persoalan kesejahteraan hakim ini tidak bisa dianggap sepele. Ada potensi intervensi di situ. Faktor keuangan ini dapat dijadikan sebagai salah satu alat untuk mempengaruhi perkara yang sedang ditangani. Selain terkait dengan independensi, absennya jaminan remunerasi yudisial ini menyebabkan hakim rentan terhadap korupsi dan suap. Sebuah penelitian International Commission of Justice (ICJ) yang berjudul “Reviewing Measures to Prevent and Combat Judicial Corruption” (2010) memberi konfirmasi bahwa salah satu penyebab korupsi peradilan adalah rendahnya remunerasi yang diterima hakim. Karena itu, ICJ merekomendasikan agar kesejahteraan hakim dijamin oleh negara, tidak dikurangi, dan aplikasinya harus dijauhkan dari pengaruh politik.
Pemerintah sebagai pemegang kuasa anggaran semestinya menyadari pentingnya masalah keuangan ini. Bahwa menyediakan anggaran yang cukup bagi peradilan merupakan kewajiban konstitusional pemerintah untuk menjaga independensi peradilan dan menjauhkan para hakim dari sikap koruptif.
Secara hukum, sebenarnya jaminan kesejahteraan itu sudah tertuang dalam UU Kekuasaan Kehakiman yang disahkan pada 2009, namun minim implementasi. Undang-undang mengamanatkan agar kesejahteraan hakim sebagai pejabat negara itu diatur lebih lanjut. Tetapi pemerintah tak kunjung menindaklanjutinya. Terakhir, aturan tentang gaji dan tunjangan hakim dikeluarkan pada 2008, yakni Peraturan Presiden Nomor 15 dan Nomor 19 tahun 2008. Hingga saat ini, aturan tersebut belum pernah direvisi dan disesuaikan dengan amanat UU Kekuasaan Kehakiman tahun 2009.
Protes hakim tidak akan muncul jika pemerintah patuh menjalankan amanat UU Kekuasaan Kehakiman. Bahwa pemerintah harus menerbitkan seperangkat aturan perihal status hakim sebagai pejabat negara beserta hak dan fasilitas layaknya pejabat negara. Inilah yang harus dikerjakan oleh pemerintah secara serius.
Kinerja Hakim
Jaminan finansial yang diberikan kepada hakim tentu bukanlah cek kosong. Para hakim tersebut harus mengimbanginya dengan kinerja yang profesional, berintegritas, dan memperhatikan rasa keadilan masyarakat. Harus diakui bahwa saat ini pengadilan masih dipandang sebagai institusi yang korup. Banyaknya putusan hakim yang memicu kontroversi, diikuti dengan perilaku hakim yang tercela dan koruptif, telah menurunkan kepercayaan publik pada institusi pengadilan.
Adanya peningkatan kesejahteraan hakim tentu bertujuan agar hakim dapat bekerja lebih baik dan mempercepat proses reformasi birokrasi di lembaga pengadilan. Yang pada gilirannya, hal itu menghindarkan para ”wakil Tuhan” di muka bumi dari berperilaku atau berbuat menyimpang dan para hakim dapat mengembalikan kewibawaan institusi peradilan. Dengan begitu, rakyat sebagai pembayar pajak tidak merasa ”tertipu” untuk memberikan gaji dan tunjangan yang pantas bagi hakim.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 03 Mei 2012