oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Ada pertentangan menarik dalam persidangan kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi meyakini uang suap dalam proyek Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID) Rp 1,5 miliar memang benar untuk Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar. Namun Dadong Irbarelawan, salah satu terdakwa dalam kasus suap tersebut, menolak kesimpulan jaksa (Koran Tempo, 13 Maret 2012). Selain itu, Fauzi, salah satu saksi pada persidangan kasus suap proyek PPID, menyatakan hal serupa. Uang suap bukan ditujukan untuk Menteri Muhaimin. Fauzi mengatakan bahwa ia hanya mencatut nama menteri Muhaimin.
Pertentangan ini menarik dicermati. Di satu sisi, jaksa KPK yakin atas skema kasus yang didalaminya. Ada duit untuk Menteri Muhaimin, meski belum sempat diserahkan kepada yang bersangkutan. Di sisi yang lain, banyak saksi yang bilang uang bukan untuk Menteri Muhaimin. Apakah jaksa KPK keliru menyimpulkan? Ataukah Fauzi dan Dadong sedang “pasang badan” untuk tuan menteri?
Peta Kasus
Jaksa KPK tampak yakin sekali atas kesimpulannya. Jaksa menyatakan uang yang mengucur dari kuasa direksi PT Alam Raya Jaya Papua, Dharnawati, tak hanya berjumlah Rp 1,5 miliar. Tapi ada dana lain yang disiapkan sebesar Rp 2,001 miliar. Semua duit itu sebelumnya disiapkan sebagai komisi, karena PT Alam Raya Jaya Papua berhasil mendapatkan proyek PPID di empat kabupaten di Papua senilai Rp 73 miliar. Komisi yang akan diberikan adalah 10 persen dari nilai proyek.
Keyakinan jaksa KPK itu jauh-jauh hari sudah didengungkan. M. Jasin, mantan pemimpin KPK jilid II, tak menampik jika dikatakan duit suap akan diberikan kepada Menteri Muhaimin, meski belum sempat dilakukan. Farhat Abbas, pengacara Dharnawati, berucap serupa. Uang suap yang diberikan kliennya kepada I Nyoman Suisnaya, Sekretaris Direktorat Jenderal Pembangunan Kawasan Transmigrasi, serta Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Program, Evaluasi, dan Pelaporan Direktorat Jenderal Pembinaan Pengembangan Kawasan Transmigrasi, akan diteruskan kepada Menteri Muhaimin (Tempointeraktif, 3 September 2011).
Kalau benar uang yang diperuntukkan sebagai suap berjumlah 10 persen dari nilai proyek Rp 73 miliar, yang berarti Rp 7,3 miliar, angka Rp 3,501 miliar–Rp 1,5 miliar ditambah Rp 2,001 miliar–yang ada dalam berkas penuntutan jaksa masih kurang. Artinya, setidaknya ada duit Rp 3,8 miliar lagi yang akan diserahkan kepada Nyoman Suisnaya, Dadong, atau Fauzi sebagai bagian dari uang suap.
Agak susah meyakini bahwa uang Rp 7,3 miliar itu hanya akan dinikmati oleh oknum di bawah menteri, mengingat posisi yang sangat dekat antara oknum tersebut dan menteri yang bersangkutan. Tengok saja, Fauzi adalah salah satu anggota staf khusus menteri. Nyoman Suisnaya dan Dadong duduk sebagai pejabat di Kementerian Tenaga Kerja dan Transmigrasi. Posisi yang sangat dekat tersebut memungkinkan mereka melakukan koordinasi dengan menteri.
Lagi pula program percepatan pembangunan infrastruktur di daerah tertinggal menjadi salah satu program Kementerian. Keterangan dalam pemeriksaan membuktikan ada program PPID di Kementerian Tenaga Kerja. Misalnya, keterangan Olly Dondokambey, anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Fraksi Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan sekaligus Wakil Ketua Badan Anggaran DPR, yang disampaikan sesaat setelah dimintai keterangan oleh penyidik KPK, menjelaskan DPR menyetujui anggaran Rp 500 miliar untuk percepatan pembangunan infrastruktur daerah. Anggaran tersebut diperuntukkan bagi Kementerian yang dimasukkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2011.
Dengan menggunakan keterangan pengacara Dharnawati dan Olly sebagai bentuk cross-check keterangan, akan diperoleh peta kasus suap proyek PPID Kementerian Tenaga Kerja, yakni program PPID disetujui, sekaligus dengan anggaran Rp 500 miliar. Program tersebut menjadi bagian dari kegiatan Kementerian. Karena itu, setiap kebijakan yang terkait dengan PPID harus melewati menteri.
Dengan peta kasus itu, sulit kiranya meyakini bahwa duit suap dari Dharnawati yang diberikan kepada Nyoman Suisnaya dan Dadong tidak akan mengalir kepada Menteri Muhaimin. Namun, untuk membuktikan aliran duit suap tersebut, perlu pembuktian lebih lanjut di persidangan tindak pidana korupsi. Hakim harus mencermati setiap keterangan–yang boleh jadi direkayasa. Hakim tidak boleh terjebak dalam kebohongan pihak-pihak di persidangan.
Tiga Kemungkinan
Kalaupun duit suap dari Dharnawati tidak akan disampaikan kepada Menteri Muhaimin, dan jika benar Fauzi serta Dadong hanya mencatut nama Muhaimin, berarti ada tiga kemungkinan yang muncul. Pertama, memang tidak ada rencana pemberian duit kepada Menteri Muhaimin. Kedua, Fauzi dan Dadong sedang melakukan aksi “pasang badan” untuk Menteri Muhaimin. Ketiga, sedang terjadi sebuah skandal besar yang melanda Kementerian Tenaga Kerja.
Apabila kemungkinan pertama yang terjadi, sepertinya susah bagi akal sehat untuk menerimanya. Pasalnya, melihat kedekatan Fauzi dan Dadong dengan Menteri Muhaimin, sulit rasanya mengiyakan kemungkinan ini. Tapi kemungkinan demikian tetap ada. Kemungkinan tersebut menuntut jaksa lebih dalam menyidik kasus suap PPID Kementerian. Di samping itu, butuh kejelian hakim untuk bisa merunut setiap peristiwa sehingga dapat ditemukan ke mana akhir aliran dana suap PPID Kementerian.
Andai kemungkinan kedua yang didapat, apa yang dilakukan Fauzi dan Dadong, disadari atau tidak, telah menempatkan diri mereka dalam kungkungan hukuman yang berat. Ada beban luar biasa yang akan mereka tanggung, yaitu beban hukum dan beban moral. Beban hukum diperoleh dua kali lipat karena sangkaan bersama-sama melakukan tindak pidana korupsi sekaligus memberikan kesaksian bohong di persidangan. Beban moral akan mengikuti diri mereka dalam status koruptor dan pembohong.
Tentu saja, untuk membuktikan kemungkinan kedua tersebut, sekali lagi menuntut jaksa agar lebih serius dan mendalam melakukan penyidikan kasus suap PPID Kementerian. Majelis hakim juga dipacu untuk membuka mata dan sensitif naluri supaya tidak tertipu oleh drama yang dimainkan para saksi serta terdakwa.
Terakhir, misalnya kemungkinan ketiga yang hadir, hal ini tak begitu membutuhkan analisis yang tajam. Tak dapat dimungkiri, kementerian adalah salah satu obyek paling cepat untuk mengeruk uang. Pundi-pundi duit dikumpulkan melalui komisi atau fee yang diperoleh dari proyek kementerian. Proses proyek, yang dieksekusi melalui tender pengadaan barang dan jasa pemerintah, disulap sebagai wahana potensial untuk mendatangkan bergepok rupiah.
Pertanyaannya, siapa yang ambil untung dari skandal di kementerian itu. Jika dicermati, pola kasus suap di Kementerian Tenaga Kerja sebenarnya mirip pola kasus suap pembangunan wisma atlet SEA Games, Palembang, Sumatera Selatan, yang menjerat pejabat Kementerian Pemuda dan Olahraga. Uang haram dari pelulusan proyek pemerintah diduga kuat dialirkan ke partai politik tertentu.
Diyakini atau tidak, partai politik membutuhkan biaya sangat besar untuk dapat berlaga di arena pemilihan umum. Pembiayaan partai politik yang sementara ini digunakan salah satunya dengan memanfaatkan kadernya, baik yang berada di lembaga legislatif maupun di lembaga eksekutif. Para kader ini kemudian akan mengelompokkan mana proyek yang dapat ditunggangi untuk dipererat. Pola demikian mafhum dimasukkan dalam area korupsi politik.
Sesungguhnya korupsi politik inilah yang susah diberantas. Mengingat sistem pemerintahan negara ini masih menempatkan partai politik sebagai aktor yang menentukan siapa yang akan menjadi nakhoda negara, yang selanjutnya nakhoda negara itu menentukan siapa yang akan menjadi pembantu (menteri)-nya. Namun susah bukan berarti tidak mungkin. Korupsi politik bisa diputus. Syaratnya, ada pemimpin yang memiliki keberanian (political will) untuk memutusnya!
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO pada 19 Maret 2012