Senin, (13/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #6: RUU Cipta Kerja: “State Capture & Sentralisasi Kekuasaan”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM. Narasumber diskusi ini adalah Siti Rakhma Mary (Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia), Nur Hidayati (Wahana Lingkungan Hidup), Herdyansyah Hamzah (Pusat Studi Antikorupsi Universitas Mulawarman) dan Zainal Arifin Mochtar (Peneliti PUKAT UGM dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada).
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Siti Rakhma Mary yang membahas mengenai RUU Omnibus Law dan pembacaan terhadap hidden agenda negara. Permasalahan yang terdapat pada RUU Cipta Kerja pun dijelaskan dari berbagai sektor, seperti perizinan, agraria dan tata ruang, sampai perburuhan. Rakhma menjelaskan permasalahan yang ada dalam RUU ini dan implikasinya terhadap masyarakat Indonesia, antara lain: perlebaran gap antara pengusaha dan buruh, kemiskinan yang parah, perbudakan buruh, kerusakan lingkungan, serta pelanggaran hukum dan HAM. Pada akhir pemaparan, Rakhma menjelaskan, “Pemerintah seperti ‘tidak kuasa’ untuk memenuhi keinginan pengusaha dengan menghabisi semua hal yang dianggap menghambat investasi. Di sini banyak aturan yang ditabrak tanpa merasa bersalah, dan diganti dengan aturan baru seolah-olah ini hukum baru.”
Pemaparan dilanjutkan oleh Nur Hidayati yang menjelaskan mengenai isu sumber daya alam yang terdapat pada RUU Cipta Kerja. Beliau memulai diskusi dengan ilustrasi yang digambar oleh akun instagram @gumpnhell, dimana ada pejabat yang mengiming-imingi investasi, lapangan kerja, dan kesejahteraan kepada petani. Padahal dengan adanya RUU ini, air, hutan dan lahannya dapat tercemar dan dirampas sehingga petani tersebut jadi tidak punya pekerjaan. Nur Hidayati juga memaparkan permasalahan SDA dan kaitannya dengan pelaku usaha.
Pemaparan disusul oleh Herdyansyah Hamzah, yang memantik diskusi dengan membandingkan proses Revisi UU KPK dan RUU Cipta Kerja. Herdyansyah menjelaskan bahwa terdapat lima kesamaan yang terdapat dalam kedua UU tersebut, yaitu state capture dengan aktor yang sama, yaitu DPR RI; nir-partisipasi dan tertutup (cacat prosedural); anti dialog yang jauh dari prinsip demokrasi liberatif; cenderung anti kritik dan represif; dan memperlemah gerakan anti korupsi.
Diskusi dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal membahas mengenai dampak negatif sentralisasi kekuasaan dari perspektif korupsi. Selain itu, ia juga memaparkan mengenai sentralisasi dan dampaknya terhadap pengawasan. Zainal menegaskan bahwa RUU ini tidak bisa hanya dibaca pasal-perpasal, namun harus secara keseluruhan dengan pendekatan beyond the law dan aspek socio-legal. Beliau pun berpendapat bahwa penyusunan UU harus melihat paradigma seperti hukum, publik, politik hukum, kemampuan mekanisme, relasinya dengan masyarakat, dan lain sebagainya.
Penulis: Erma Nuzula
Link materi: