Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Draf Rancangan Undang-Undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi memicu polemik yang luas di tengah masyarakat. Terdapat beberapa rumusan pasal yang dianggap tidak masuk akal bila disandingkan dengan upaya pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Tidak hanya batang tubuh, dalam konsideran filosofinya juga tak luput mengirim perdebatan yang akut. Rumusan konsideran huruf c—yang ditulis sesuai dengan draf—menyebutkan, ”bahwa keberadaan lembaga Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi melakukan pemberantasan tindak pidana korupsi perlu ditinjau ulang karena penegakan hukum tidak termasuk bagian dari kegiatan pemberantasan tindak pidana korupsi, tetapi sebagai perwujudan kedaulatan hukum dan masuk wilayah kekuasaan kehakiman yang harus dijaga dari pengaruh kekuasaan mana pun”.
Tak usah dulu membahas pasal per pasal yang kontroversial dalam RUU KPK, pada kalimat pertimbangannya saja belum-belum sudah mengundang kehebohan penyusunan peraturan perundang-undangan. Dari konsideran huruf c di atas dapat digarisbawahi minimal dua hal. Pertama, eksistensi KPK perlu ditinjau ulang karena melakukan pemberantasan korupsi.
Kedua, pemberantasan korupsi tidak masuk wilayah kerja KPK, melainkan kekuasaan kehakiman. Mengkritisi kinerja komisi antikorupsi dalam usianya yang sudah mencapai 13 tahun bukanlah perbuatan haram. Tetapi, meninjau ulang eksistensi KPK atas tugas, fungsi, dan hasilnya dalam memberantas korupsi adalah sesuatu yang mengada-ada. Persis seperti kurang kerjaan saja.
Balas Dendam?
Laporan tahunan KPK pada 2014 mengumumkan ada 80 kasus korupsi yang dilidik dan disidik. Sebanyak 77 kasus sudah dilakukan penuntutan dan 40 kasus telah berkekuatan hukum tetap. Selain itu, 48 kasus juga berhasil dieksekusi pascainkracht. KPK juga berhasil memeriksa empat anggota Dewan, sembilan orang kepala lembaga/kementerian, dua gubernur, dua belas orang bupati/wali kota, serta dua orang hakim.
Komisi antirasuah juga berhasil membangun koordinasi dan supervisi dengan kejaksaan dan kepolisian. Ada total 911 kasus yang berhasil dikerjasamakan dengan korps adyaksa serta 273 kasus dengan korps baju cokelat. Hal ini pencapaian yang nyata dari improvisasi yang diperintahkan oleh undang-undang agar KPK menjalin kerja sama yang erat dengan penegak hukum lain.
Lalu, di mana posisi peninjauan ulang terhadap kelembagaan KPK yang disebutkan oleh draf RUU KPK? Kecuali jika DPR ingin balas dendam ke KPK melalui jalur legislasi. Sangkaan ini tak berlebihan, mengingat sudah ada juga banyak potensi anggota DPR yang digelandang Komisi Pemberantas Korupsi ke kursi pesakitan.
Soal ”serangan balik” ke KPK, tercatat tidak hanya belakangan ini saja gencar dilakukan. Bolak-balik lembaga antikorupsi menerima hantaman. Jika masih ingat, pembubaran KPK sudah pernah diwacanakan oleh DPR pada periode 2004-2009. DPR juga sempat menolak pengajuan anggaran untuk pemberantasan korupsi dan pembangunan gedung baru KPK dalam RAPBN 2009.
Tidak hanya dari DPR, pemerintah periode sebelumnya juga pernah mengusulkan penyadapan terduga korupsi sebaiknya diatur dalam rancangan peraturan pemerintah. Padahal, aturan tentang penyadapan sudah jelas diatur dalam undang-undang. Kenapa pula harus diturunkan ke peraturan yang lebih rendah bila kemudian bertentangan? DPR juga sempat mengamini usulan ini.
Pendek kata, tidak ada logika selain keanehan untuk meninjau keberadaan KPK saat ini. Saat lembaga penegak hukum lain sedang mulai meniti efektivitas pemberantasan korupsi, semestinya eksistensi KPK didukung untuk terus menunjang lembaga penegakan hukum antikorupsi, bukan malah mengebirinya.
Keanehan Tak Terstruktur
Logika kedua yang dipakai oleh DPR untuk mengubah UU KPK adalah logika pemberantasan korupsi bukan bagian dari kerja KPK, tetapi kerja kekuasaan kehakiman. Arti asumsi ini adalah kekuasaan kehakimanlah yang berhak melakukan pemberantasan korupsi. Apakah demikian adanya? Kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan.
Apabila menganut konstitusi, dalam Pasal 24 ayat (2) UUD 1945 disebutkan, ”Kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang ada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.”
Jika mengacu ke UUD 1945, lembaga yang melaksanakan kerja kekuasaan kehakiman hanya ada enam yakni MA, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, dan MK. Karena itu, KPK tidak berhak melakukan pemberantasan korupsi yang menjadi bagian dari penegakan hukum sebagai domain dari kekuasaan kehakiman.
Dengan logika yang sama, kepolisian tidak boleh melakukan penyelidikan dan penyidikan kasus korupsi. Kejaksaan juga tidak berhak menuntut kasus korupsi sebab penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan bagian dari pemberantasan korupsi di mana tindakan tersebut bagian dari kerja kekuasaan kehakiman.
Selain itu, kepolisian dan kejaksaan juga tidak masuk dalam kerangka Pasal 24 ayat (2) UUD 1945. Masih dengan logika yang sama, seharusnya MA, Pengadilan Umum, Pengadilan Agama, Pengadilan Militer, Pengadilan Tata Usaha Negara, serta MK-lah yang mesti melakukan pemberantasan korupsi, bukan KPK, kepolisian, apalagi kejaksaan.
Pilihan yang rumit apabila mengikuti logika konsideran menimbang huruf c draf RUU KPK. Sebuah keanehan yang tidak terstruktur dalam lingkup penegakan hukum. Mungkin bukan logika seperti di atas yang ingin dibangun oleh DPR meski tetap sebagai logika yang ngawur tetapi logika bahwa KPK tidak berhak melakukan pemberantasan korupsi. KPK hanya berhak melakukan pencegahan.
Katakanlah jika benar logika demikian yang diinginkan, tentunya akan bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Pasal 7 ayat (1) UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang- undangan masih menempatkan Ketetapan MPR sebagai produk hukum di bawah UUD 1945 dan di atas undang-undang/perppu.
TAP MPR Nomor VIII/MPRRI/ 2001 tentang Rekomendasi Arah Kebijakan Pemberantasan Korupsi dan Pencegahan Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme berisi perintah agar dilakukan penindakan hukum yang lebih sungguh-sungguh terhadap semua kasus korupsi. Secara implisit TAP MPR—dan masih diberlakukan sampai sekarang menjadi dasar hukum bagi KPK, kepolisian, dan kejaksaan untuk melakukan pencegahan dan pemberantasan korupsi.
Karena itu, logika yang mengeluarkan (exclude) KPK, kepolisian, dan kejaksaan dari tugas dan kewenangan pemberantasan korupsi sebagai bagian dari penegakan hukum adalah keliru besar. Dengan dua logika ngawur tersebut, draf RUU KPK sudah cacat materiil sejak penyusunannya. Draf RUU bertentangan dengan TAP MPR.
Supaya tidak terjerumus semakin dalam pada kekeliruan penyusunan undang-undang, alangkah lebih baik jika DPR mau mencabut usulan revisi UU KPK itu. Perlu ada perbaikan yang maksimal apabila ingin benar-benar membantu upaya pemberantasan korupsi. Kekeliruan tidak hanya di batang tubuh RUU, melainkan sudah dimulai sejak konsiderannya.
Begitu juga Presiden Joko Widodo harus bertindak aktif untuk mencabut RUU KPK agar tidak ada syak wasangka bahwa pemerintah saat ini sedang mengalihkan getah draf revisi UU KPK ke Senayan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO, pada 10 Oktober 2015