oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
KASUS korupsi impor daging sapi memasuki babak kisruh. PKS melaporkan penyidik dan juru bicara KPK ke Mabes Polri atas sikap yang dianggap tak senonoh. Ada dua delik yang digunakan.
Pertama; perbuatan tidak menyenangkan, dan kedua; perbuatan para penyidik KPK yang masuk ke kantor orang lain dengan cara melompati pagar. Sontak rencana pelaporan ini memicu kisruh antara PKS dan KPK. Partai yang konon mencirikan diri bersih harus berhadapan dengan komisi antirasuah.
Dalam kerangka pemberantasan korupsi, KPK adalah lembaga yang dirancang khusus memberantas suap. Meski demikian, hukum mengatur setiap tindak-tanduk komisi antikorupsi itu harus berdasarkan prinsip kepastian hukum. Pada penjelasannya, ketentuan tersebut memerintahkan jika komisi ini dalam menjalankan tugas tidak boleh keluar dari aturan perundang-undangan.
Sejak 2002, sudah lebih satu dekade lembaga antikorupsi yang dibentuk dengan UU Nomor 30 Tahun 2002 ini berdiri. Artinya, sudah lebih dari 10 tahun KPK melakukan penyelidikan, penyidikan, termasuk penyitaan. Tentu pola penyitaan yang dijalankan sudah diatur sedemikian rupa dengan tidak melawan undang-undang.
Kalau sekarang ada tuduhan bahwa penyidik KPK tak membawa surat sita tatkala akan merampas harta yang diduga hasil korupsi, sungguh sangat sulit memercayai. Selanjutnya, agak aneh juga andaikata harus meyakini bahwa ada penyidik KPK yang lompat pagar ketika akan melaksanakan penyitaan. Ini benar-benar mirip dagelan.
Di sisi yang lain, tanpa disadari langkah PKS memolisikan KPK dalam kacamata politik merupakan pilihan yang salah, langkah yang keliru.
PKS sedang melakukan perjudian atas posisinya dalam kontestasi Pemilu 2014. Posisi bagus pada Pemilu 2009 cenderung sulit dipertahankan kala elite partai ini lebih memilih vis a vis dengan KPK dari pada bekerja sama dengan badan penangkap koruptor itu.
Elite PKS seperti ’’kebakaran jenggot’’ menghadapi pemeriksaan kasus korupsi dari KPK. Langkah kebakaran jenggot ini mengubur kepercayaan dan dukungan pemilih yang telah memenangkan partai bulan kembar ini pada pemilu sebelumnya.
Meski katakanlah, konsolidasi partai sangat luar biasa sehingga tidak mengurangi dukungan suara pada PKS, paling tidak partai itu telah menampakkan wajah sesungguhnya yang tidak lagi mampu dipercaya. Itu tentunya akan menghanguskan impian dan harapan besar akan kehadiran parpol berbasis agama yang punya kemampuan dan kemauan mengubah wajah Indonesia, dan bukan mengorupsi Indonesia.
Yang juga berbahaya dari langkah PKS melaporkan ke kepolisian adalah dapat dimaknai sebagai upaya partai tersebut untuk kembali membuka luka lama pola hubungan KPK-Polri yang memang tak pernah mesra.
Tapi apa lacur, PKS sudah keukeh mau laporkan KPK ke Mabes Polri. Pada bagian ini, pendulum menyelesaikan kisruh ada di tangan kepolisian. Dalam saga pemberantasan korupsi, Mabes Polri melalui Bareskrim pernah memiliki sejarah emas dukungan terhadap usaha pemberantasan korupsi. Pada 7 Maret 2005 Bareskrim menerbitkan surat nomor B/345/III/2005/ Bareskrim.
Langkah Benar
Layang itu pada pokoknya bicara, jika ada pemeriksaan kasus korupsi kemudian si terperiksa melaporkan balik pe-meriksaan tersebut, maka kepolisian harus mengutamakan penanganan tindak pidana ko-rupsinya. Laporan balik bisa ditangani dalam rangka dimanfaatkan untuk mendapatkan dokumen/keterangan yang mendukung pengungkapan kasus korupsinya. Kita yakin Mabes Polri akan bersikap bijak menanggapi laporan PKS.
Apakah tidak ada pilihan langkah yang benar yang dapat dilakukan PKS guna menanggapi kasus korupsi impor daging sapi? Selalu ada pilihan rasional untuk menyelamatkan bahtera partai. Bila masih ingin menyitrakan diri sebagai partai yang benar-benar bersih, semestinya semua anggota dan kader korup ataupun berisiko korup dikeluarkan dari partai. Partai yang bersih tak akan membiarkan orang berkaki kotor karena kubangan korupsi masuk ke dalam pemikiran dan kebijakan partai.
Syahwat politik elite PKS yang tak bisa ditahan hanya akan membahayakan posisi partai di depan pemilih. Tidak lebih. Mungkin kengototan elite PKS dalam melawan KPK tak akan menggoyahkan kader fundamental di tubuh partai. Sayang, konstitusi ternyata mengakomodasi keberadaan Mahkamah Konstitusi melalui Pasal 24C Ayat (1) UUD 1945. Pasal itu menyebutkan MK memiliki wewenang yang bersifat final untuk membubarkan partai.
Undang-Undang tentang Partai Politik mengamini kewenangan MK itu. Partai dilarang melakukan kegiatan yang bertentangan dengan hukum. Partai dilarang menjadi sarana pencucian uang oleh elite, kader, atau anggota. Jika partai membangkang, ia akan dibekukan. Jika masih ngotot, ia akan dibubarkan.
Terakhir, menentukan pilihan yang benar dengan pilihan yang salah hanyalah soal keyakinan. Dengan keimanan yang sungguh-sungguh dan akal waras, rasa-rasanya bekerja sama dengan KPK adalah lebih baik dari pada membuka konfrontasi, yang cuma memuaskan syahwat elite partai.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 22 Mei 2013