oleh : Hifdzil Alim ( Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
PEMERIKSAAN perkara suap dengan cek perjalanan terkait pemilihan Deputi Senior Gubernur Bank Indonesia 2004 tampaknya makin sulit karena salah satu tersangka mendapat ancaman. Adalah Nunun Nurbaetie Daradjatun, salah satu tersangka kuncil dalam kasus suap terhadap anggota Komisi IX DPR 1999-2004, melalui pengacaranya mengaku diancam oleh orang atau kelompok tertentu.
Menurut Mulyaharja, pengacara itu, banyak nama dan orang berduit yang berkepentingan dengan kasus tersebut. Ia menduga pengancam kliennya adalah orang yang memiliki uang (SM, 03/01/12).
Kasus suap yang memenjarakan sejumlah anggota DPR itu memang menyisakan sejumlah persoalan. Sebelum ada ancaman ini, Nunun sendiri yang membuat masalah. Tatkala KPK sibuk memeriksa para tersangka korupsi suap tersebut, Nunun lari ke luar negeri. Negara di Asia Tenggara seperti Thailand dan Singapura menjadi tempat persembunyiannya.
Sebelumnya, melalui dokter pribadinya, Nunun menyatakan dirinya mengidap penyakit lupa berat sehingga tidak bisa menjalani pemeriksaan. Dalihnya, kalau diajak berpikir dan mengingat kembali peristiwa itu secara serius, penyakit lupanya bertambah parah. Pelarian Nunun dan penyakit lupanya itu, diakui atau tidak telah menyulitkan pembongkaran kasus suap itu. Tatkala penerima suap dari kalangan DPR sudah dipenjara, bahkan ada yang sudah mendapatkan pembebasan bersyarat, wanita tersebut belum juga bisa ditangkap. Publik pun bertanya, bagaimana mungkin penerima suap dimejahijaukan, tetapi pemberi suapnya tak ada.
Yang terburuk dari kasus itu adalah penanganan kasusnya dinilai sarat dengan kepentingan politik. Seakan-akan pemeriksaan hukum dilakukan, dengan menjerat penerima suap, untuk menjatuhkan pamor partai politik yang dinaungi oleh anggota DPR yang tersangkut kasus itu. Hal tersebut yang sebenarnya ditakutkan masuk dalam usaha pemberantasan korupsi.
Ketika kepentingan dan syahwat politik merusak jalur hukum, misalnya menyusupkan cengkeraman politik dalam pemeriksaan tersangka korupsi, yang terjadi adalah gesekan politik. Tanpa disadari, gesekan itu akan mengikis kinerja penegakan hukum. Padahal, dalam skema pengusutan kasus korupsi, unsur politik dilarang masuk. Jika tidak, mustahil menemukan aktor yang paling bertanggung jawab dan apa motif di baliknya.
Sikap Kooperatif
Asumsi bahwa ada kekuatan besar yang melindungi Nunun pernah disampaikan oleh mantan Ketua KPK Busyro Muqoddas. Menurut Busyro, KPK kesulitan menangkap wanita itu karena ada kekuatan besar yang melindungi (26/10/11). Dengan demikian, ancaman terhadap Nunun kemungkinan besar benar adanya. Kekuatan besar itu takut kalau Nunun membuka mulut. Lantas apa yang harus diperbuat oleh pihak Nunun terkait dengan ancaman itu?
Jika mau hitung-hitungan, ditangkapnya Nunun sebetulnya menjadi kartu mati bagi dirinya. Posisinya sudah terjepit. Peluang untuk kembali melarikan diri sedemikian kecil. Adapun cara mengelabui penegak hukum dengan penyakit lupanya ditangkal oleh KPK dengan menghadirkan dokter tandingan terhadap dokter pribadi.
Dengan akal waras, tak ada jalan lain yang bisa dilakukan Nunun selain melawan ancaman tersebut. Diam saja tanpa berbuat apa-apa adalah kesia-sian belaka. Apalagi mengikuti keinginan si pengancam yang katanya berasal dari kelompok kuat dan berduit itu, juga cuma menyusahkan posisi Nunun karena hukum akan dengan kuat melawan dirinya.
Jadi, hanya ada satu cara melawan ancaman itu, yakni bekerja sama dengan KPK membongkar kasus suap tersebut. Istri mantan Wakapolri itu harus membeberkan siapa aktor intelektual dan apa perannya. Kerja sama Nunun akan dicatat oleh penegak hukum sebagai hal-hal yang meringankan dalam persidangan. Tentunya cara itu sangat menguntungkan dirinya ketimbang memilih diam dan mengekor.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 10 Januari 2012