Oleh
Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Hakim praperadilan akhirnya memenangkan tersangka korupsi Komisaris Jenderal Budi Gunawan atas KPK. Inti dari putusan hakim adalah bahwa penetapan status tersangka atas Komjen BG tidak sah dan KPK tidak berwewenang mengusut kasus itu karena tersangka bukanlah penyelenggara negara dan penegak hukum, serta tidak ada kerugian negara. Tentu saja putusan ini menyentakkan akal sehat kita. Bagaimana tidak, argumentasi hukum yang disampaikan hakim bertolakbelakang dengan doktrin hukum dan beberapa peraturan perundang-undangan. Selain itu, hakim melampaui kewenangannya karena terlalu jauh masuk ke substansi perkara yang bukan merupakan objek praperadilan.
Penegak Hukum
Pertimbangan hukum hakim yang paling tidak masuk akal adalah menyatakan bahwa Komjen BG bukanlah seorang penegak hukum. Ini jelas keliru. Polisi jelas merupakan penegak hukum. Dalam doktin hukum dikenal adanya tiga pilar penegak hukum, yaitu polisi, jaksa dan hakim. Ketiga profesi itulah yang berfungsi sebagai aparatur negara yang diberikan tugas khusus untuk menegakkan hukum. Hal ini ditegaskan dalam berbagai dokumen hukum negara. Doktrin ini dapat kita temukan dalam konstitusi UUD 1945. Polisi sebagai penegak hukum ditegaskan dalam Pasal 30 ayat 4 UUD 1945 bahwa Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.
Tugas polisi menurut konstitusi adalah sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masayarakat serta sebagai penegak hukum. Fungsi polisi sebagai penegak hukum juga ditegaskan dalam Ketatapan MPR No. VI/2000 dan Ketatapan MPR No. VII/2000 bahwa salah satu tugas pokok Kepolisian adalah menegakkan hukum. Konstitusi kemudian mendelegasikan pengaturan mengenai pelaksanaan tugas pokok polisi itu dalam UU.
Ditingkat UU, fungsi pokok kepolisian untuk menegakkan hukum kembali ditegaskan. Dalam Pasal 2 UU No. 2 tahun 2002 tentang Kepolisian dinyatakan bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Lagi-lagi, UU mengatur bahwa salah satu fungsi kepolisian adalah penegakan hukum.
Terlihat ada konsistensi pengaturan bahwa polisi adalah penegak hukum yang mempunyai wewenang untuk menegakkan hukum demi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat. Namun, polisi tidak hanya sebagai penegak hukum, saat bersamaan juga sebagai pelindung, pengayom dan pelayan masyarakat. Konstitusi dan UU tidak membeda-bedakan, polisi mana yang penegak hukum dan polisi mana yang bukan. Ketika seorang warga negara diangkat menjadi anggota Kepolisian, maka saat itu yang bersangkutan menjadi aparat penegak hukum. Bahwasanya ada pembagian tugas dalam organisasi Kepolisian, itu semata-mata adalah bagian dari tata laksana untuk memudahkan pelaksanaan tugas dan wewenang kepolisian. Dan disetiap institusi pemerintah, kita mengenal adanya kelompok jabatan. Misalnya ada kelompok jabatan fungsional dan administratif serta ada jabatan struktural. Kelompok jabatan itu menggambarkan adanya tugas dan wewenang khusus yang diberikan. Tidak ada hubungannya dengan status sebagai penegak hukum atau bukan.
Istilah aparat penegak hukum dalam UU KPK, juga ditujukan pada 3 profesi/institusi penegak, yakni polisi, jaksa dan hakim. Hal itu dapat dibuktikan dengan merujuk pada risalah pembahasan UU KPK. Dengan demikian, argumentasi yang menyatakan bahwa polisi bukanlah penegak hukum jelas bertentangan dengan konstitusi dan UU.
Kewenangan KPK
Kekeliruan lain hakim praperadilan adalah mengenai kewenangan KPK. Pihak Komjen BG mempersoalkan kriteria kasus yang dapat ditangani oleh KPK berdasarkan Pasal 11. Dalam pasal itu dinyatakan bahwa salah satu kriterianya adalah terkait kerugian negara minimal 1 milyar rupiah. Secara utuh ketentuan itu berbunyi: KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan tindak pidana korupsi yang (a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara, (b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau (c) menyangkut kerugian negara paling sedikit 1 milyar rupiah.
Harus digarisbawahi ada kata-kata “dan/atau” pada poin (b). Menurut kamus bahasa Indonesia, kata penghubung “dan/atau” dapat diperlakukan sebagai “dan”, dapat juga diperlakukan sebagai “atau”. Tanda garis miring itu mengandung makna “pilihan”. Jadi, tiga kriteria yang disebutkan dalam Pasal 11 itu dapat berlaku secara kumulatif dan bisa juga secara aternatif.
Poin b dan c dalam Pasal 11 merupakan pilihan. Jadi tidak mutlak harus ada kerugian negara dan juga tidak harus mendapat perhatian masyarakat. Asalkan pelakunya adalah aparat penegak hukum dan penyelenggara negara. Mengapa UU tidak mengharuskan timbulnya kerugian negara? Karena memang tindak pidana korupsi tidak hanya yang berhubungan dengan kerugian negara, tetapi juga suap dan gratifikasi serta bentuk tindakan lainnya yang boleh jadi tidak ada kerugian negara yang nyata didalamnya.
Sebenarnya perihal suap dan gratifikasi ini telah sering dipersoalkan. Namun hingga saat ini, sudah banyak putusan pengadilan tingkat pertama, banding maupun kasasi yang memutuskan bahwa kasus gratifikasi dan suap merupakan kewenangan KPK. Bahkan beberapa putusan telah menjadi landmark decision, misalkan kasus mantan Jaksa BLBI, Urip Tri Gunawan dan mantan Kakorlantas Polri, Djoko Susilo.
Tampak jelas bahwa hakim praperadilan tidak memahami UUD 1945, UU KUHAP, UU Kepolisian dan UU KPK dengan baik. Pemahaman yang sesat menyebabkan lahirnya putusan yang sesat. Karenanya, putusan sesat ini harus dikoreksi. Upaya hukum luar biasa melalui Peninjauan Kembali ke Mahkamah Agung dapat ditempuh KPK.
artikel ini pernah diterbitkan Koran Tempo pada tanggal 18 Februari 2015