oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Setahun belakangan ini sangat banyak hal yang wajib dan patut untuk ditorehkan sebagai bagian dari catatan akhir tahun. Sungguh teramat banyak. Dalam wilayah penegakan hukum saja, ada begitu banyak catatan yang menarik untuk diperlihatkan sebagai bagian dari cerminan reflektif yang selayaknya dipakai menuju tahun-tahun mendatang.
Tahun 2011 barangkali adalah tahun yang menunjukkan gejala pemberantasan korupsi yang kelihatan “menggeliat”, namun belum juga “terbangun” dari tidur panjang. Geliat yang tampak dari kemampuan pengembalian aset, kemampuan menggelar temuan penting permainan mafia anggaran, kemampuan untuk kembali hadir di daerah, meskipun pada saat yang sama belum juga ada kemampuan besar untuk mengejar semua pelaku dan menjadikan perkara tersebut sebagai pintu masuk untuk perbaikan sistemik.
Gagalnya kemampuan untuk memijaki penegakan hukum untuk membangun sistem yang antikoruptif. Dari sekian banyak catatan, hal yang paling mengkhawatirkan tentu saja adalah kemampuan penegakan hukum untuk membongkar semua pelaku tindak pidana korupsi. Pun ketika tertangkap tangan, tidak banyak yang bisa dilakukan untuk membedah secara kuat.
Selalu yang dibutuhkan setelah itu adalah peran dan kerja sama yang dilakukan oleh orang yang terlibat di dalam untuk mau menyanyi dan membongkar secara sukarela. Herannya, tidak terbangun nyanyian yang sungguh-sungguh bisa memberikan sumbangan yang besar untuk penyelesaian perkara-perkara tersebut. Semacam nyanyian sumbang, yang nyaring tapi tidak terlalu mengenakkan.
Paling tidak, ada tiga perkara penting yang melibatkan orang potensial sebagai whistle blower, tetapi hingga kini tidak banyak memberikan sumbangan untuk membongkar kasus sesungguhnya, yakni perkara yang melibatkan Gayus, Nazaruddin, dan yang terkini Nunun. Gayus punya peran besar untuk bisa membongkar permainan mafia pajak yang sangat mungkin melibatkan petinggi besar, bukan saja petinggi di Kementerian Keuangan, melainkan juga petinggi negara yang memiliki perusahaan-perusahaan besar.
Hingga kini, penegakan hukum masih gagal menyentuh mafia-mafia lainnya. Hanya Gayus yang notabene pegawai muda golongan tiga, yang dihukum dengan kejahatan yang hampir mustahil dikerjakan hanya oleh PNS muda yang minim kewenangan ini. Selebihnya, bebas dan merdeka. Tidak ada atasan Gayus yang dikejar.Tidak ada perusahaan penyogok untuk bermain pajak yang dikejar.
“Nyanyiannya” nyaris menjadi tidak berguna. Setali tiga uang dengan Nazaruddin. Orang yang menjadi tersangka setelah rekan bisnisnya tertangkap oleh KPK juga banyak berjanji untuk membuka banyak hal. Bahkan, ia pun “mencicil” beberapa pernyataan perihal keterlibatan pihak-pihak lain selama pelariannya di luar negeri.
Nyanyian yang cukup “wah”, bukan hanya karena melibatkan banyak petinggi partai, melainkan juga karena menyeret begitu banyak kegiatan internal kepartaian. Yang lebih mengkhawatirkan adalah kasus ini merupakan kasus yang sangat penting karena menjadi pelambang kegiatan banal para politisi merampok uang negara melalui praktik mafia anggaran.
Kegagalan mengungkap perkara ini secara terang benderang, akan mengancam kemampuan negara ini untuk menjinakkan mafia anggaran. Begitu pula dengan Nunun. Setelah sekian lama buron, ia akhirnya tertangkap, meski masih belum mampu digunakan maksimal untuk membongkar mafia pengusaha yang menjadi penyuap untuk menempatkan “boneka” kepentingan dalam jabatan deputi gubernur senior di Bank Indonesia. Kita semua paham bahwa ada sesuatu di balik “membeli” jabatan seperti ini.
Tapi hingga kini,penegakan hukum masih gagap untuk mengejarnya. Bahkan,orang yang paling diuntungkan dalam penyuapan tersebut juga belum dapat diungkap. Hanya sejumlah anggota Dewan Perwakilan Rakyat yang menikmati uang sogokan tersebut, yang kemudian sudah menuju dan menjalani proses hukum.
Perilaku Mafia
Mungkin,ketiga perkara tersebut dipersatukan oleh satu kata kunci yang sama, yakni perilaku mafia.Yang sayangnya, tidak (atau boleh jadi belum) terlihat pola penyelesaiannya secara baik dan pas.Belum ada skema penyelesaian yang diharapkan, bahkan boleh jadi masih jauhdariharapanpenyelesaian perkara yang diharapkan.
Kemungkinan, setidaknya ada tiga penyebab utamanya. Pertama, tentu saja adalah kemauan sang whistle blower. Orang yang potensial menjadi pembongkar ini sering kali diragukan kemauannya untuk membongkar segalanya. Dalam banyak kesempatan, ada yang ditutupi, bahkan terlihat tidak konsisten dalam memberikan keterangan. Belum lagi wilayah-wilayah yang tidak pas dan seakan-akan menyerang balik penegakan hukum.
Sulit untuk kemudian percaya begitu saja apa pun yang dikatakannya. Sulit untuk memberikan jaminan bahwa yang dikatakannya benarbenar merupakan upaya untuk memperjelas perkara, atau bisa jadi hanya sekadar memperkeruh. Mana yang benar dan mana yang pembenaran.
Kedua, tentu saja kemampuan negara untuk menggunakannya. Ada kesan kelambanan dalam memproses beberapa perkara. Juga ada kesan kreativitas yang rendah dalam menggunakan dan mengorek perkataan whistle blower. Ada sekian banyak pengakuan yang sudah diberikan, tapi sangat jarang yang kemudian ditindaklanjuti.Baik Gayus, Nazaruddin, maupun Nunun terlihat belum dipergunakan secara maksimal untuk membongkar yang lebih besar.
Ketiga, kesungguhan negara untuk memprakarsai dan mendorong penggunaan model whistle blower sebagai justice collaborator demi penegakan hukum. Dengan konsep keuntungan yang masih minimalis, sulit dibayangkan seseorang mau menjadi justice collaborator dengan keuntungan rendah tersebut. TentubaikGayus,Nazaruddin, maupun Nunun punya problemnya masing-masing di wilayah itu.
Tetapi jika kita tetap saja memola penegakan hukum dengan mirip perlakukan atas kasus-kasus yang membelit Gayus, Nazaruddin, maupun Nunun, rasanya sulit untuk segera “bangun” dalam pemberantasan korupsi.Gayus, Nazaruddin, dan Nunun pun bisa “menguap”.Semoga tidak!
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran SINDO pada 29 Desember 2011