Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Setelah ditunggu-tunggu, presiden terpilih Joko Widodo akhirnya mengumumkan rencana kabinetnya (15 September 2014). Setidaknya ada 34 kementerian dan lembaga yang disiapkan. Sebanyak 18 kursi menteri akan diisi kalangan profesional. Sisanya, 16 kursi, berasal dari partai politik.
Pernyataan Jokowi tersebut sungguh di luar dugaan. Pasalnya, sebelumnya diyakini bahwa ia bakal merampingkan postur kementeriannya. Harapan untuk menggeser dominasi partai politik dalam pengisian jabatan menteri masih jauh panggang dari api. Kedudukan partai masih utama. Padahal santer diberitakan bahwa pemerintahan 2014-2019 akan mulai bersih dari unsur partai politik.
Sebulan yang lalu (13 Agustus 2014) saya menulis di koran ini perihal kabinet nirpartai, sebuah kabinet yang mengeliminasi pengaruh dan kepentingan partai politik. Nyatanya, memang sulit mendudukkan partai jauh dari kekuasaan eksekutif. Sebab, keberadaan pengaruh partai secara tidak langsung dijamin oleh konstitusi. Pasal 6A ayat (2) UUD NRI 1945 adalah landasan hukum bagi partai untuk ikut serta dalam urusan pasang-bongkar kandidat menteri.
Lagi pula, Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2006 tentang Kementerian Negara tidak secara tegas melarang calon menteri dari unsur partai politik. Artinya, partai politik sah-sah saja mengajukan orang yang dianggap sebagai bagian dari partai menjadi bakal calon menteri dalam kabinet Jokowi.
Meski demikian, membiarkan begitu saja anasir partai masuk dalam kekuasaan eksekutif adalah hal yang berbahaya. Lagi-lagi, salah satu sumber masalahnya berasal dari peraturan perundang-undangan, yakni UU No. 2 Tahun 2008 juncto UU No. 2 Tahun 2011 tentang Partai Politik. Dalam Pasal 34 ayat (1) disebutkan, “Keuangan partai politik bersumber dari iuran anggota…” Klausul pasal inilah yang menjadi titik api pemicu penolakan calon menteri dari partai politik.
Asumsinya, apabila calon menteri merupakan simpatisan, kader, anggota, apalagi pengurus teras partai politik, ia tetap harus membayar iuran kepada partai. Iuran itu bisa berbentuk langsung ataupun tidak langsung. Dari sinilah petaka lahir. Iuran yang bentuknya tidak langsung kemungkinan besar diserupakan dengan pengerjaan program dan proyek di kementerian masing-masing. Uang akan mengalir dari anggaran kementerian ke kantong partai politik. Akibatnya, orientasi yang dituju adalah penyejahteraan partai, bukan rakyat.
Ketika partai sudah mencengkeramkan tentakelnya, akan susah bagi menteri atau kementerian itu sendiri untuk melepaskan diri. Sudah ada tiga contoh menteri dalam Kabinet Indonesia Bersatu periode 2009-2014 yang digelandang Komisi Pemberantasan Korupsi. Dan kebetulan semuanya berasal dari unsur partai politik.
Bagaimanapun, pilihan membentuk kabinet nirpartai seharusnya tak lagi menjadi kewajiban, melainkan sebuah kebutuhan. Apa lacur, Jokowi-JK sudah mengumumkan ada 16 kursi menteri yang nantinya diperuntukkan bagi partai politik. Meski demikian, tanpa bermaksud melawan Undang-Undang tentang Kementerian Negara untuk menghindarkan petinggi atau anggota partai berdiri dalam kabinet, pemimpin pilihan rakyat itu harus membuat prosedur dan filter yang ketat bagi setiap bakal calon menteri.
Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM dalam laporan risetnya mengenai kecenderungan korupsi (Trend of Corruption Report) semester pertama tahun 2014 mendorong agar Presiden memberikan, setidaknya, tiga syarat bagi setiap bakal calon menteri-khususnya yang berasal dari partai politik. Ini adalah kebijakan jalan tengah.
Pertama, syarat integritas. Ukurannya syarat ini jelas. Siapa saja yang tersangkut kejahatan dengan ancaman lima tahun atau lebih tidak dapat maju sebagai bakal calon menteri. Hal demikian juga berlaku bagi mereka yang disangkutpautkan-meski belum secara hukum dibuktikan-dengan setiap kejahatan, misalnya korupsi, pencucian uang, terorisme, narkotik, kejahatan hak asasi manusia, dan kejahatan perdagangan manusia.
Kedua, syarat akseptabilitas. Bakal calon menteri harus diterima oleh publik. Setelah pembukaan bakal calon menteri, Presiden harus membuka polling penilaian rakyat terhadap semua bakal calon. Mereka yang pernah dipidana, disangka melakukan tindakan asusila, ditengarai terlibat pelanggaran hak asasi manusia, yang menyebabkan khalayak umum menolaknya, harus pula dieliminasi oleh Presiden.
Ketiga, syarat kapabilitas. Kemampuan memimpin lembaga atau kementerian bisa dilacak dari catatan pengalaman setiap bakal calon menteri. Presiden harus berani menolak mereka yang didorong kuat oleh partai tapi tak cakap dan tak memiliki jiwa kepemimpinan (leadership), apalagi tak menguasai bidang kementerian. Sebab, para menteri akan bekerja bersama Presiden, bukan bersama elite partai.
Syarat integritas, akseptabilitas, dan kapabilitas adalah bentuk negosiasi paling sederhana untuk memfasilitasi interest partai dan tuntutan rakyat. Terakhir, komitmen presiden-di samping janjinya kepada rakyat-sejatinya menjadi tapal batas antara usaha mewujudkan kesejahteraan rakyat dan memenuhi kepuasan partai politik atas dahaga kekuasaan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 22 September 2014