Pasca keluarnya konvensi PBB melawan korupsi atau dikenal dengan UNCAC, paradigma pemberantasan korupsi kini mulai berubah bukan lagi penjeraan individu melainkan pada pengembalian aset-aset/kerugian negara. Hal tersebut diungkapkan oleh Sujanarko, Direktur Pembinaan Jaringan Kerja Antar Komisi dan Instansi Komisi Pemberantasan Korupsi (PJKAKI KPK) dalam sambutannya pada acara Diskusi dan Diseminasi Publik dengan tema “Studi Valuasi Aset Negara dan Penghitungan Kerugian Negara”. Diskusi ini selain untuk memaparkan hasil penelitian dari Tim Riset PUKAT FH UGM yang bekerjasama dengan KPK, juga untuk memberikan pemahaman publik mengenai pentingnya progresifitas hukum dalam menangani pengembalian aset pada kasus korupsi. Hal ini ditegaskan oleh Oce Madril, Direktur PUKAT UGM yang mengatakan bahwa Indonesia tertinggal jauh dengan negara lain terutama terkait korupsi yang merugikan aset negara. “Pendekatan harus semakin progresif, aspek-aspek regulasi harus diperhatikan dan melihat hal-hal kedepannya”, paparnya.
Diskusi yang diselenggarakan secara daring pada Selasa (8/12/2020) ini menghadirkan Prof. Zuzy Anna (Guru Besar Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan UNPAD), Sujanarko (Direktur DJKAKI KPK) dan Tim Riset PUKAT UGM yang diwakili oleh Oce Madril dan Eka Nanda R dengan moderator adalah Hanifah Febriani (PUKAT UGM). Tim Riset PUKAT UGM menyoroti tentang pengaturan terkait valuasi aset negara yang hingga saat ini masih tumpang tindih dan tidak sinkron. Bahkan hingga saat ini belum ada pengaturan spesifik yang menjelaskan terkait penggolongan aset negara. “Aset negara kemungkinan bisa dikategorikan sebagai kekayaan negara atau aset negara adalah BMN (Barang Milik Negara),” paparnya.
Eka Nanda lebih lanjut menerangkan bahwa hingga saat ini tidak ditemukan definisi yang clear mengenai valuasi aset. Definisi valuasi aset selama ini lebih awam didengar dalam konteks perusahaan. Apabila definisi ini diasumsikan ke kekayaan negara, maka konteks perusahaan tinggal diganti dengan konteks negara. Namun lantaran tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, maka valuasi ini diasumsikan sebagai “penilai” dalam Peraturan Pemerintah Pengelolaan Barang Milik Negara. Permasalahannya, dengan metode seperti ini penilaian barang hanya terbatas pada tanah atau bangunan, hal ini sangat sempit mengingat definisi ini tidak dapat mencakup lingkungan hidup dan kerugian negara. “Penting untuk melakukan valuasi dan inventarisasi untuk memformalkan/mencatatkan aset negara dalam bentuk neraca kekayaan Negara” pungkas Eka.
Sementara itu Prof. Zuzy Anna menjelaskan bahwa pertama memang harus didefinisikan terlebih dahulu mengenai aset negara. Dalam ilmu ekonomi, aset negara dapat dikategorikan sebagai public property right atau hak kepemilikan publik yang diserahkan kepada pemerintah dan biasanya tidak dimiliki oleh siapapun. Ia juga menekankan bahwa saat ini penting untuk melakukan pemetaan aset. Sedangkan terkait valuasi aset, Prof. Zuzy memaparkan jika intinya terletak pada teknik valuasinya. Selama ini yang sering dilakukan bersifat direct impact maupun indirect. Hal ini penting diatur dalam Undang-Undang. Menurutnya saat ini masih banyak hal yang menjadi polemik, termasuk belum ada kesepahaman terkait metode yang dapat digunakan dan kompleksitasnya. Ia mencontohkan valuasi aset pada hutan tidak saja terkait pohonnya, juga terkait service dan berbagai faktor lainnya yang mengikuti. Lebih lanjut ia menuturkan pentingnya penggunaan metode yang tepat dalam melakukan valuasi aset. “Harus bisa dipertanggungjawabkan, harus menggunakan kaidah-kaidah yang tepat, jangan sembarangan”, ungkapnya.
Penulis: Sadam Afian Richwanudin