oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
SEJUMLAH politikus bertandang ke kediaman Anas Urbaningrum, mantan Ketua Umum Partai Demokrat, pascapenetapan status sebagai tersangka kasus pembangunan Pusat Pendidikan, Pelatihan, dan Sekolah Olahraga Nasional di Hambalang Sentul Kabupaten Bogor Jabar. Salah satu dari mereka adalah Mahfud Md, Ketua Mahkamah Konstitusi (MK).
Kedatangan Mahfud mengejutkan khalayak, termasuk saya. Sebelumnya orang nomor satu di pengadilan konsitusi itu dikenal sebagai garda depan pemberantasan korupsi. Dalam kepemimpinannya, skandal Anggodo Widjojo yang berencana menjahili dua mantan komisioner KPK, Bibit Samad Riyanto dan Chandra M Hamzah, berhasil dibongkar. Sejak itu, Mahfud mafhum dianggap sebagai salah satu panglima pemberantasan rasuah.
Hiruk-pikuk pertanyaan muncul di tengah masyarakat. Bagaimana mungkin Mahfud memberikan ’’dukungan’’ kepada tersangka korupsi? Bukankah dia sebelumnya berdiri dalam kelompok antikorupsi? Apakah Anas tak bersalah sehingga Mahfud berani memberikan semangat? Atas kedatangannya itu, wajar publik bertanya.
Ternyata Mahfud Md meluruskan pemberitaan dan informasi yang beredar. Ia tak mendukung Anas, tapi mendukung KPK dalam menuntaskan kasus korupsi yang diduga dilakukan oleh mantan pimpinan partai berlambang mercy itu. Hanya yang ia inginkan jangan sampai pemeriksaan hukum terhadap Anas berbalik jadi penghakiman politik.
Mahfud mengatakan, tak boleh ada intervensi politik dan kepentingan kekuasaan yang ambil untung dalam penetapan Anas sebagai tersangka korupsi dalam kasus Hambalang. Pada bagian ini, saya sepakat. Kekuasaan dan intervensi politik harus digeser keluar dari proses penegakan hukum antikorupsi.
Namun bukankah kubu Anas yang melancarkan manuver politik terkait penetapan status tersangka? Anas mengeluarkan dua pernyataan yang beraroma politik. Pertama; ia mengatakan bahwa penetapan dirinya hanyalah ’’halaman pertama’’ dari beberapa skandal besar.
Kedua; Anas juga berniat membongkar kasus Bank Century dan keterlibatan Eddy Baskoro Yudhoyono alias Ibas dalam kasus Hambalang. Dua pernyataan dengan tiga subtansi dari Anas itu kembali mengingatkan pada peristiwa serupa beberapa waktu lalu.
Waktu itu, Susno Duadji yang terjerat masalah terkait kasus ’’Cicak vs Buaya’’ juga berniat membongkar kasus besar dalam tubuh Mabes Polri. Hasilnya nihil. Entah apakah ketiadaan informasi ini bagian dari politik tawar-menawar atau tukar-menukar nasib agar kubu lain dalam Mabes Polri tak diganggu oleh komisi antirasuah.
Peristiwa kedua ada¬lah pengakuan M Nazaruddin, mantan Bendahara Partai Demokrat yang juga berkicau soal keterlibatan orang kuat dalam korupsi pembangunan wisma atlet di Palem¬bang, ataupun korupsi lainnya. Kala itu nama Anas juga disebut dan hasilnya kini KPK menetapkan Anas sebagai tersangka. Dalam posisi ini, Nazaruddin juga melakukan politik tukar nasib. Ia tak mau masuk bui sendirian.
Dari dua pelajaran, antara Susno Duadji dan Nazaruddin, kita dapat mengambil pelajaran bahwa Anas dengan pernyataannya juga sedang menebar manuver politik. Ia sepertinya melempar jaring politik ’’halaman pertama’’; kasus Century; serta dugaan keterlibatan Ibas, anak Yudhoyono. Hanya yang menjadi soal, apakah manuver politik Anas akan berakhir seperti Susno atau Nazaruddin?
Nasib Aman
Saya mencatat ada tiga hal yang dapat menjadi referensi untuk menebak hasil akhir manuver politik Anas. Pertama; meski telah mengundurkan diri dari Demokrat, kedudukan Anas masih cukup, atau boleh dibilang sangat kuat dalam internal partai. Faktanya, banyak loyalis yang tak rela anutannya mundur atau dipaksa keluar dari partai.
Bahkan, entah ini diskenariokan atau tidak, loyalis Anas melaporkan kebocoran draf sprindik ke kepolisian (01/03/13) yang setidak-tidaknya diharapkan pemeriksaan korupsi terhadap Anas dihentikan sementara waktu sampai pemeriksaan kebocoran sprindik selesai. Dukungan kuat itu memungkinkan Anas bertahan di kancah politik.
Kedua; kontestasi Pemilu 2014 yang makin dekat memaksa Demokrat berbenah dan membersihkan diri. Posisi paling aman adalah dengan tidak membongkar skandal lebih dalam. Kasus yang beredar ke telinga publik harus berhenti di permukaan agar keterpilihan partai tidak makin jeblok. Artinya, potensi partai untuk tukar-menukar nasib aman dengan Anas terbuka lebar. Partai tak mau busuk boroknya makin tercium.
Ketiga; pola penghukuman kasus korupsi yang masih rendah menguntungkan tiap aktor korupsi. Acara pembuktian penegak hukum yang tidak cukup kuat di persidangan dan putusan yang rata-rata tak sampai setengah dari tuntutan tak menjerakan koruptor. Hal ini membuat tersangka korupsi memilih diam dengan menyimpan semua informasi dan berharap setelah keluar bisa meraup keuntungan korupsi.
Tiga referensi itu mengantarkan pada hipotesis bahwa manuver politik Anas berujung untung sama untung. Untung bagi Anas karena tekanan partai berhenti. Seandainya pun terbukti di persidangan atas tuduhan korupsi, hukuman mungkin tak begitu berat.
Juga untung bagi partai karena citranya tak makin jatuh ke dasar jurang keterpilihan. Jika demikian kita tidak akan dapati ’’halaman kedua’’. Namun, sejujurnya saya berharap hipotesis ini keliru.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA pada 04 Maret 2013