Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
SETELAH lebih dari empat tahun, dugaan kasus korupsi pemberian fasilitas pendanaan jangka pendek dan penyertaan modal sementara ke Bank Century akhirnya dimejahijaukan.
Maklum, setelah DPR menggelar rapat pengambilan keputusan hasil pemeriksaan panitia khusus, 3 Maret 2010, skandal korupsi perbankan tersebut mengalami masa naik-turun. Tak jelas apakah akan mengarah ke persidangan atau tidak.
Nuansanya sangat panas dan suhunya meninggi pada pengujung 2009 hingga awal 2010. Kala itu, isu persetujuan atas hasil investigasi panitia khusus (pansus) ditandingi kasak-kusuk rencana kabinet. Sebaliknya, setelah pengambilan suara di Sidang Paripurna DPR yang kemudian memuluskan opsi C—pilihan untuk setuju ada pelanggaran dalam kasus Bank Century—tampaknya gemuruh niat dalam membongkar kasus ini perlahan mereda.
Antiklimaks.
Sekarang, hasrat menggali siapa menanggung akibat hukum atas korupsi Century muncul kembali. Kalau tak ada aral, persidangan pertama digelar pada Kamis, 6 Maret 2014 (Kompas, 4/3). Pertanyaannya, apakah persidangan Century kali ini mampu membuka hitam-putih kasus yang merampok uang negara lebih dari Rp 6,7 triliun itu?
Persidangan politik
Ada pengalaman yang menyesakkan tatkala membahas perkembangan kasus Century di persidangan politik DPR. Pendulum bergerak tak tentu. Kadang kuat ke arah transaksi politik. Namun, pernah—untuk tak menyebut sering—mengarah ke magnet hukum yang memiliki daya tarik kuat agar kasus ini diselesaikan.
Pansus DPR antara akhir 2009 dan awal 2010 telah mengundang saksi dan ahli ke persidangan politik yang digelar untuk mencari tahu siapa yang paling bersalah atas bocornya uang negara dalam FPJP dan PMS Bank Century. Ketika pemeriksaan politik semakin digali lebih dalam, pendulum politik semakin kuat mengarah ke jarum transaksi.
Entah kebetulan atau tidak, seperti ada upaya untuk melenyapkan kasus Century. Sekadar mengingatkan, pindahnya mantan Menteri Keuangan Sri Mulyani ke Bank Dunia, menguatnya posisi Aburizal Bakrie sebagai Ketua Harian Sekretariat Gabungan Koalisi, dan melemahnya sikap Partai Golkar atas tuntutan pemeriksaan menyeluruh skandal Century, seperti sebuah teka-teki. Faktanya ada, tapi susah dibuktikan keterkaitannya. Nyatanya, umur kasus ini sudah lebih dari empat tahun, tetapi tak kunjung terpampang siapa yang ”sebenar-benar”-nya salah dan ”sebenar-benar”-nya benar.
Meski memperoleh banyak informasi, persidangan politik terbukti gagal mengurai karut-marut kasus korupsi perbankan ini. Sampai batas masa jabatan anggota DPR periode 2009-2014 berakhir, rasa-rasanya sengkarut politik di seputar pengungkapan kasus Century masih terus bergulir. Pansus masih ngotot memanggil Wakil Presiden Boediono ke Senayan. Bukankah kasus ini sudah dilimpahkan ke penegak hukum? Lalu, mengapa DPR masih cari-cari kesempatan untuk menggelar ulang persidangan politik?
Sedikit kegagalan persidangan politik sebenarnya dapat ditutup dengan persidangan hukum. Boleh jadi langkah hukum adalah pilihan yang tepat untuk mengurai benang kusut Century. Lagi-lagi, perlu diingatkan, sekira tiga setengah tahun lalu auditor negara sudah menerbitkan laporan forensiknya. Setidaknya, ada empat temuan dugaan pelanggaran hukum pada kasus Century (Kompas, 6/6/2010).
Pertama, pelanggaran batas maksimum pemberian kredit. Kedua, penerbitan letter of credit fiktif. Ketiga, rekayasa dalam menentukan capital adequacy ratio. Keempat, penyerahan Bank Century ke LPS pada 21 November 2008 tak mempunyai landasan hukum. Empat potensi pelanggaran ini menabrak aturan internal Bank Indonesia dan Undang-Undang Perbankan.
Persidangan hukum pertama kali atas salah satu tersangka kasus korupsi Bank Century, Budi Mulya, semestinya menjadi penanda putusnya hubungan persidangan politik di kasus a quo. Sangat mudah mencari justifikasi atas tanda putus ini.
Pertama, walau kadang diterpa isu tak sedap, KPK sering bisa keluar dari tekanan dalam menyidangkan kasus korupsi big fish. KPK rasanya tak memiliki tendensi politik kecuali politik rakyat. Lembaga negara antikorupsi ini bertugas menyelidik, menyidik, dan menuntut tersangka korupsi untuk melindungi harapan rakyat demi memiliki negeri yang bebas dari korupsi. Kedua, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta masih duduk di peringkat peradilan yang mampu mengadili koruptor tanpa pandang bulu.
Dua hal itu sudah lebih dari cukup untuk menjustifikasi persidangan hukum Century bakal sedikit memberi lampu hijau atas terangnya kasus yang hampir lima tahun tak kunjung benderang. Akan tetapi, bukan berarti persidangan hukum ini tak butuh perlindungan. Ia tetap butuh dilindungi. Selalu ada rasa pesimistis di samping optimistis, begitu pula sebaliknya.
Jadi ritual formil?
Hasil maksimal dari persidangan hukum Century adalah terungkap siapa dalangnya? Ke mana duit triliunan rupiah mengalir? Siapa yang ambil untung? Apakah ada keterlibatan partai politik?
Sebaliknya, hasil paling minim dari persidangan itu cuma bicara soal kasus Century dan keterlibatan internal BI dan/atau KSSK, tanpa merunut sampai ujung muara kasus itu sendiri. Persidangan hukum menjadi sekadar ritual formil bahwa ada kasus korupsi yang disidangkan dan mesti diputus.
Bagaimanapun, keberhasilan membongkar kasus Century bergantung pada sterilnya penegakan hukum dari intervensi politik. Dukungan pemerintah dan parlemen dibutuhkan dengan bentuk tak mengumbar umpan politik di luar persidangan Century. Independensi penegak hukum sudah dibuktikan oleh KPK. Sekarang tinggal kehendak politik pemimpin. Jika ini tak ada, jangan sekali-kali berharap akan terbongkar siapa yang ”sebenar-benar”-nya salah dan siapa yang sebenar-benarnya benar dalam kasus Century.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 07 Maret 2014