Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
BELAKANGAN ini sedang ramai dibincangkan dalam pembahasan RUU Pemilu mengenai satu poin penting: apakah mantan narapidana, khususnya mantan narapidana tindak pidana korupsi, boleh mencalonkan diri menjadi anggota legislatif? Perbedaan pendapat mengalir ke hadapan publik. Ada yang berpendapat, menjadi calon legislatif (caleg) adalah hak setiap warga negara, termasuk bekas napi. Lagi pula, salah satu putusan Mahkamah Konstitusi yang conditionally unconstitutional (inkonstitusional bersyarat) menggariskan bahwa bekas napi boleh maju nyaleg sepanjang memenuhi empat persyaratan.
Putusan MK itu diterbitkan setelah memeriksa permohonan pengujian Pasal 12 huruf g dan Pasal 50 ayat (1) huruf g UU Nomor 10 Tahun 2008 tentang Pemilu yang mengatur syarat caleg pusat ataupun daerah. Amar putusan itu membolehkan bekas napi mencalonkan diri sebagai anggota legislatif pusat atau daerah sepanjang, pertama; tak berlaku untuk jabatan publik.
Kedua; berlaku terbatas jangka waktunya hanya 5 tahun sejak terpidana selesai menjalani hukuman. Ketiga: dikecualikan terpidana yang secara jujur mengemukakan kepada publik bahwa dirinya bekas napi. Keempat; napi itu bukan pelaku kejahatan yang berulang (hukumonline, 25/03/09).
Di sisi yang lain, tak sedikit kelompok masyarakat menolak bekas napi maju jadi calon anggota legislatif. Alasannya, dia berisiko mengulangi perbuatannya.
Terutama, bagi napi tindak pidana korupsi. Tatkala bekas koruptor itu memenangi pemilihan, ia akan memegang kewenangan besar. Ketika ada kekuasaan di tangannya, sangat mungkin kembali melakukan perbuatan kotornya. Bukankah sifat kekuasaan cenderung untuk korup?
Perdebatan boleh tidaknya bekas napi, dalam hal ini bekas koruptor, nyaleg sama-sama memiliki argumentasi kuat. Yang berpendapat bekas koruptor boleh nyaleg, mendasarkan pada ketentuan bahwa tiap warga negara perlu dijamin haknya, termasuk hak untuk memilih dan dipilih.
Adapun pendapat yang menolak juga sama; hak untuk hidup dengan baik dan sejahtera harus dilindungi dengan meminimalisasi risiko kerusakan yang disebabkan oleh tipikor. Artinya, sampai pada titik argumentum, dua pendapat itu sama-sama kuat. Apakah tak ada jalan keluar untuk memutus perdebatan itu?
Jalan Keluar
Menghalangi seseorang untuk mendapatkan haknya adalah tindakan yang patut dihindari. Alangkah naifnya ketika kita bicara soal pemenuhan HAM, namun pada satu fase kemudian menciptakan batu penghalang untuk mencapai hak tersebut. Putusan MK yang inkonstitusional bersyarat itu sebenarnya sudah jadi jalan keluar yang mengakomodasi tiap kepentingan hukum dan asasi tiap warga negara. Tidak ada larangan untuk bisa maju menjadi caleg. Tentunya dengan empat syarat yang telah ditetapkan melalui putusan MK tersebut.
Kalau mau merunut ketentuan hukum pileg, mekanisme pencalonan anggota legislatif, baik pusat maupun daerah, harus melalui partai politik. Pasal 51 Ayat (1) UU Nomor 10 Tahun 2008 menulis, ’’Partai politik peserta pemilu melakukan seleksi bakal calon anggota DPR, DPRD provinsi, dan DPRD kabupaten/ kota.’’
Dengan ketentuan pasal tersebut, tanggung jawab untuk memfilter bakal calon ataupun calon berada di tangan partai. Kebijakan internal partai menentukan apakah bekas koruptor bisa menjadi calon anggota legislatif atau tidak. Jadi perdebatan untuk menolak atau menerima bekas koruptor yang mau nyaleg, bukan lagi berada di ranah melanggar atau tidak melanggar hak asasi melainkan ditujukan kepada wajah partai politik. Jalan keluarnya ada di kebijakan internal partai.
Partai yang pedalamannya bersih tentu akan berpikir seribu kali untuk menerima seseorang menjadi calon legislatif dari pintu partainya. Begitu sebaliknya, bagi partai yang menerima, apalagi ngotot meminta bekas koruptor sebagai calegnya, tak keliru bila kita menilai partai itu menerima asupan dana dari bekas koruptor itu.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 3 Februari 2012