Indeks Persepsi Korupsi Indonesia (IPK) tahun 2020 menggambarkan kemunduran pemberantasan korupsi di Indonesia. IPK Indonesia mengalami penurunan 3 angka, dari 40 menjadi 37. Penurunan tiga poin tersebut menjadi catatan buruk, karena terhitung sejak 2008, tren IPK Indonesia cenderung naik “tipis-tipis”.
Penurunan IPK Indonesia menjadi gambaran bahwa ada kesalahan dalam kebijakan pemberantasan korupsi dalam kurun waktu satu tahun kebelakang. Menurut catatan PUKAT UGM, IPK Indonesia yang menurun sebenarnya telah dapat diprediksi dikarenakan berbagai fenomena yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir seperti pelemahan kelembagaaan antikorupsi; regulasi dan kebijakan ekonomi yang gagal mendorong proses bisnis yang bersih; dan kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia.
Terhadap hal tersebut, PUKAT menanggapi tiga hal sebagai berikut.
Pertama, melemahnya kelembagaan antikorupsi. Revisi UU KPK terbukti secara signifikan telah menurunkan kinerja KPK dalam hal penindakan pemberantasan korupsi. Selain itu, semangat pemberantasan korupsi dicederai oleh praktik korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum. Integritas penegakan hukum anti korupsi semakin melemah, karena lembaga yang seharusnya menegakan korupsi justru digerogoti dengan praktik-praktik koruptif. Hal tersebut juga berdampak pada menurunnya kepercayaan publik terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia.
Kedua, regulasi dan kebijakan sektor bisnis kurang mendorong proses bisnis yang bersih Penyumbang penurunan signifikan berasal dari indikator yang berhubungan dengan sektor ekonomi dan investasi. Indikator Global Insights turun 12 poin dan PRS turun 8 poin. Penurunan tersebut dipicu oleh relasi korupsi antara pebisnis dengan pemberi layanan publik untuk mempermudah proses memulai usaha atau mendapatkan izin berusaha dan praktik korupsi politik yang melibatkan penyelenggara negara dengan pebisnis.
Salah satu kebijakan yang didorong satu tahun terakhir adalah kemudahan berusaha untuk mendatangkan investasi, salah satunya melalui UU Cipta Kerja. Namun undang-undang tersebut tidak disertai dengan upaya pencegahan korupsi yang baik. Justru dalam beberapa hal cenderung hanya berfokus pada kemudahan berbisinis dengan menerobos beberapa katup pengaman yang sejatinya menjadi sistem pendukung pencegahan korupsi. Sistem yang dibangun terbukti masih belum mampu menanggulangi relasi korup antara pebisnis dan pejabat publik.
Ketiga, terdapat kemunduran situasi demokrasi dan pembentukan regulasi di Indonesia Secara umum, regulasi yang dibentuk dalam satu tahun belakang tidak mencerminkan prinsip-prinsip antikorupsi, seperti transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik. Beberapa UU yang lahir dengan meregresi prinsip tersebut diantaranya adalah UU KPK, UU Minerba dan UU Cipta Kerja. Proses legislasi yang buruk menjadi indikator kuat yang menyebabkan IPK Indonesia menurun.
Berdasarkan hal tersebut, PUKAT UGM memberikan rekomendasi sebagai berikut:
- Memperkuat kembali kelembagaan antikorupsi di Indonesia dengan melakukan evaluasi terhadap revisi UU KPK yang secara terang telah melemahkan KPK.
- Mendorong pemerintah untuk mengatur strategi pemberantasan korupsi yang telah diamanatkan UNCAC seperti kejahatan memperdagangkan pengaruh, perampasan aset serta pengelolaan konflik kepentingan demi mendukung pencegahan korupsi berjalan efektif dalam dunia usaha dan iklim bisnis di Indonesia
- Membenahi proses legislasi dengan memperkuat transparansi, akuntabilitas dan partisipasi publik dalam menyusun kebijakan.
Pusat Kajian Antikorupsi (PUKAT) Fakultas Hukum UGM
Contact Person:
Hanifah (085799885430)
Yuris Rezha (081215775644)
Lebih lanjut: