oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
TAHUN ini, musim gugur di Amerika Serikat terasa semakin kelabu setelah Kongres AS tidak meloloskan anggaran pemerintah federal. Pemerintahan federal ”diberhentikan” sementara menunggu hasil negosiasi presiden dan Kongres AS. Ratusan ribu pegawai pemerintahan federal dalam status tak jelas, dapat lanjut bekerja atau dirumahkan. Meski banyak urusan diserahkan kepada negara bagian, berhentinya pemerintah federal berdampak pada urusan lintas negara bagian.
Ternyata tidak hanya AS yang diliputi awan kelabu, Indonesia juga sedang menghadapi ”musim gugur”: ”gugurnya” petinggi lembaga peradilan oleh dugaan kasus korupsi.
Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar tertangkap tangan bertransaksi dengan anggota Dewan Perwakilan Rakyat dari Partai Golkar, Chairun Nisa.
Peristiwa tangkap tangan ini, meski mengejutkan, sebenarnya tidaklah terlalu mengherankan sebagian besar masyarakat lainnya karena sebenarnya dugaan korupsi di tubuh MK telah tercium sejak beberapa tahun lalu. Sekitar Oktober 2010, Refli Harun menulis opini bertajuk MK Masih Bersih?” di Harian Kompas.
Ia mengungkapkan rawannya perkara pilkada disusupi oleh praktik korup oknum MK karena hanya tiga hakim yang memeriksa perkara.
Godaan uang miliaran rupiah sangat mungkin meruntuhkan kenegarawanan hakim-hakim MK.
Tak banyak orang percaya bahwa mafia telah merasuki MK saat itu. Namun, kini fakta berbicara lain, wibawa rumah keadilan telah ternodai.
Pola perekrutan
Walaupun hanya satu hakim yang terjerat dugaan korupsi, kita patut mempertanyakan pola perekrutan dan pengawasan internal hakim MK. Secara teoretis, pola pemilihan yang dilakukan sangatlah baik.
Pada Pasal 24 Ayat (3) dinyatakan bahwa MK memiliki sembilan orang hakim yang ditetapkan oleh presiden, diajukan masing-masing tiga orang oleh Mahkamah Agung, tiga orang Dewan Perwakilan Rakyat, dan tiga orang oleh presiden.
Hal itu lazim di dunia. Hakim pada Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi—pengadilan tertinggi—dipilih berdasar implementasi check and balances system.
Sistem yang menjamin para pemegang kekuasaan dalam saling mengontrol dan mengawasi.
Dengan pola perekrutan tersebut, hakim di pengadilan tertinggi adalah negarawan yang juga tak terlepas dari kepentingan politik. Di AS, polarisasi kepentingan politik hakim di Supreme Court terlihat saat mereka memutuskan perkara-perkara kontroversial. Contohnya, musim semi tahun ini, mereka memutuskan perkara perkawinan sejenis dan affirmative actions pada penerimaan mahasiswa.
Mayoritas publik AS berpendapat, hakim di Supreme Court cenderung liberal ketimbang konservatif. Publik AS bisa berdebat soal putusan-putusan kontroversial, tetapi mereka tetap memercayai hakim Supreme Court telah melaksanakan strict scrutiny.
Sebuah metode tertinggi yang memastikan hukum yang berlaku memenuhi government interest dan sesedikit mungkin potensi melanggar hak-hak individu. Sejauh ini Supreme Court AS berhasil membuktikan kewibawaannya.
Artinya, tidak ada masalah dengan pola perekrutan yang ada di Indonesia sekarang. Kita tentu berharap presiden, DPR, dan MA mengusulkan nama negarawan-negarawan terbaik di negeri ini dan meminimalisasi kepentingan pribadi atau golongan.
Meskipun dipilih dengan proses politik, MK seharusnya mampu menjaga wibawa dengan pengawasan internal yang maksimal. Pengawasan yang menjaga martabat dan wibawa hakim dan seluruh perangkat di dalamnya.
Akhirnya, kita menyaksikan salah seorang penjaga konstitusi ”gugur” di hadapan godaan harta. Tak hanya itu, berkali-kali kita dilukai oleh ulah anggota DPR yang mempermainkan kewenangan atas dasar kepentingan golongan.
Penangkapan ini tentu bukan akhir dari upaya pembersihan negeri ini. KPK harus mampu membongkar pihak-pihak yang terkait dalam kasus ini.
Tentu pedih rasanya melihat para petinggi negeri ini ”gugur” dan masuk bui karena korupsi.
Akan tetapi, bukankah optimisme harus selalu dibangun. Negeri ini, dalam hal ini MK, tidak boleh ”berhenti” melayani masyarakat. Sembari menunggu proses hukum yang berjalan, hak-hak warga negara harus diutamakan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 22 November 2013