Pada Senin, 21 September 2020, PUKAT FH UGM menggelar diskusi edisi spesial dengan tema Refleksi 1 Tahun Revisi UU KPK: Mati (Suri)nya Pemberantasan Korupsi. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Ketua Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM), Asfinawati (Ketua YLBHI), Busyro Muqoddas (Pimpinan KPK 2011-2014), Zainal A. Mochtar (Dosen FH UGM), dan Alissa Wahid (Koordinator Gusdurian). Diskusi PUKAT Edisi Spesial ini diselenggarakan dalam rangka satu tahun revisi UU KPK, mencakup refleksi serta harapannya agar ke depannya KPK tetap dapat bekerja optimal.
Diskusi dimulai dengan pemaparan dari Oce Madril. OceĀ menerangkan catatan perjalanan UGM menolak perubahan UU KPK yang telah dimulai sejak tahun 2012. Oce juga menyampaikan bahwa publik dapat menilai produk-produk legislasi yang semakin hari kian mengancam kebebasan sipil dan HAM.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Mantan Pimpinan KPK, Busyro Muqoddas. Busyro menitikberatkan pada perubahan KPK lama dan KPK hasil revisi UU. “Satu tahun dengan DNA dan chemistry baru ditandai dengan status independen yang sengaja dihapuskan, sehingga KPK tidak lebih dari aparat pemerintahan”, tuturnya. Busyro pun membahas mengenai adanya digdaya bisnis dan politik oleh oligarki, yang tidak lepas dari pelumpuhan KPK.
Selanjutnya Asfinawati memaparkan materi diskusi yang berjudul “Refleksi Proses Pengawalan Publik terhadap Revisi UU KPK”. Presentasi tersebut diawali dengan foto yang menunjukan isu KPK sangat masif pada September 2019 lalu. Asfinawati juga menyebutkan poin dimana kebebasan sipil menyempit. Poin tersebut dibuktikan dengan data kebebasan di Indonesia (data berdasarkan Freedom House Index), dari tahun 1998 hingga 2019.
Pemaparan dilanjutkan oleh Zainal Arifin Mochtar. Zainal menyebut KPK hasil revisi dengan istilah KPK Kenormalan Baru. “KPK menurut saya mengalami kenormalan baru. KPK yang dulu memberantas korupsi, tidak bersahabat dengan korupsi, dan bergaya sederhana sekarang terbalik. Pulang kampung dengan helikopter dan banyak kasus menunjukan ‘persahabatan’ dengan korupsi”, tuturnya. Kemudian, Zainal mengajak publik untuk tetap mengawal pemberantasan korupsi tanpa memasukkan KPK sebagai faktor yang penting. “Rasanya aktivis antikorupsi harus berpikir bagaimana caranya memberantas korupsi tanpa mengharapkan KPK dan Presiden Jokowi”, lanjutnya.
Diskusi selanjutnya disampaikan oleh Alissa Wahid. Pemantik diskusi tersebut diawali dengan kutipan, change happens at the speed of trust. Alissa menjelaskan bahwa kepercayaan adalah hal yang utama dalam konteks publik. Alissa pun menuturkan jika paradigma terhadap pemberantasan korupsi tidak bisa semudah embel-embel korupsi bisa diberantas, namun butuh partisipasi aktif dari masyarakat itu sendiri. Paradigma baru yang dapat dilakukan adalah dengan rethinking, dimana akibat dari korupsi pun dapat dirasakan langsung oleh masyarakat.
Penulis: Erma Nuzulia S