Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Malam, 3 Februari 2015, sebuah pesan pendek dari Ahmad Syafii ”Buya” Maarif masuk pukul 19.28. Isinya singkat, ”Baru Presiden telepon saya; BG tidak akan dilantik, cari waktu yang tepat. Mohon disampaikan kepada teman-teman. Trims. Maarif.”
Simpel, tetapi kuat kesannya. Pesan itulah yang kemudian secara cepat menjalar, beredar luas dan akhirnya menjadi salah satu polemik keesokan paginya.
Beberapa hari terakhir, barangkali itulah salah satu pesan yang ditunggu publik. Pesan yang menyiratkan kepastian penolakan Presiden Joko Widodo atas pencalonan seorang tersangka menjadi Kapolri. Kepastian yang entah akan menguap atau tidak. Dijalankan atau tidak.
Memang, tindakan dalam ranah kenegaraan, sering kali tak ada yang pasti kecuali telah memiliki beschikking sebagai bentuk formal keputusan negara akan hal itu. Seperti halnya Tim 9 yang terbentuk, tetapi tak memiliki keppres, rekomendasinya seperti khotbah di hadapan presiden dan khalayak. Diikuti atau tidak, terserah pada niat dan pilihan penerima khotbah.
Akan tetapi, melalui pesan tersebut, sedikit-banyak seharusnya punya sentimen yang berarti atas pilihan berdiri bersama pemberantasan korupsi. Setidaknya, Presiden Jokowi telah menegaskan posisi tidak akan melantik seorang tersangka menjadi kepala penegakan hukum. Artinya, Presiden telah berjanji berdiri bersama publik menegakkan moralitas antikorupsi.
Langkah penting
Berikutnya, perlu setidaknya ada tiga langkah lanjutan yang penting. Pertama, jika BG tak dilantik, muncul pertanyaan lanjutan, siapa yang akan mengisi pucuk pimpinan kepolisian?
Ini penting karena jika kembali diisi oleh orang yang bermasalah dan berkeinginan kuat menyelesaikan masalahnya dengan cara menyerang KPK, serangan terhadap KPK tetaplah bahaya laten. Bahaya potensial yang bisa muncul setiap saat.
Presiden pada tataran ini harus mau ber-tungkus lumus, bersungguh-sungguh mencari sosok yang tepat. Orang itu harus tidak tersangkut berbagai kasus dan dendam lama yang bisa kembali mengaktualkan posisi laten KPK dan Polri yang berhadap-hadapan.
Presiden harus bersungguh-sungguh membuka rekam jejak kandidat. Tidak hanya berdasarkan pada satu atau dua lembaga, apalagi lembaga internal kepolisian yang sangat besar konflik kepentingannya.
Membuka seluas-luasnya ruang masukan adalah sebaik-baiknya cara untuk mendapatkan orang yang tepat. Hal ini juga demi janji Jokowi saat kampanye, akan memilih jabatan Jaksa Agung dan Kapolri yang bersih dan berintegritas.
Tidak hanya posisi Kapolri. Jabatan-jabatan penting lain—yang biasanya dan selayaknya sepengetahuan Presiden—juga harus dikontrol dengan baik. Semisal jabatan Kabareskrim. Presiden tak boleh lagi dikangkangi dalam pengisian jabatan tersebut. Kebiasaan konstitusional untuk meminta pandangan dan posisi Presiden untuk jabatan tersebut harus dikedepankan. Apalagi, Polri langsung di bawah ”ketiak” Presiden.
Kedua, Presiden Jokowi masih berhadapan dengan kebutuhan untuk menyelesaikan posisi silang kepolisian yang sedang berhadap-hadapan dengan KPK. Dan dalam posisi itulah kebijakan seorang kepala negara dan kepala pemerintahan dibutuhkan. Jokowi harus segera membuat peta jalan agar posisi berhadap-hadapan ini berakhir dan tak perlu menjadi laten
lagi.
Jika pilihan pertama lebih bersifat individual mengganti orang, yang kedua ini haruslah dalam kerangka yang lebih institusional dan operasional.
Reformasi di tubuh Polri sudah menjadi keniscayaan. Sekian lama kata sakti ini didengungkan, tetapi tak kunjung direalisasikan. Telah ada berbagai dokumen peta jalan dan pemikiran untuk membantu menghela reformasi di tubuh Polri, tetapi hingga kini masih ditumpuk di meja tidak dijalankan. Presiden Jokowi harus mulai mendorong kepolisian untuk memperbaiki peningkatan performa kepolisian.
Pastikan KPK berjalan
Begitu juga terhadap KPK. Presiden selayaknya mengambil langkah-langkah untuk memastikan kerja KPK tidak terganggu oleh tindakan yang tak perlu. Meski intervensi Presiden ke KPK terbatas mengingat komisi negara ini independen, Presiden sangat mungkin membuat perubahan terbatas atas UU Komisi Pemberantasan Korupsi.
Ketiga, dalam hal perubahan terbatas atas UU KPK, Presiden berkesempatan mengambil langkah penting untuk menyelamatkan KPK dan pemberantasan korupsi. Gejala semua pimpinan KPK segera dijadikan tersangka menunjukkan, KPK akan dilumpuhkan. Jelas, tanpa komisioner KPK tak akan bisa bertindak karena putusan tindakan hukum ada pada komisioner KPK, bukan pada pegawai lainnya.
KPK yang lumpuh hanya menguntungkan para koruptor. Karena itu, Presiden dapat bertindak cepat. Ide yang berkembang, misalnya, adalah mendorong perppu untuk menunjuk pelaksana tugas sementara komisioner KPK. Ide ini tentu saja akan mendatangkan penolakan besar, seperti zaman Presiden Susilo Bambang Yudhoyono yang ditolak oleh DPR.
Apalagi, ide menunjuk pelaksana tugas tak ada aturannya di UU KPK. Memberikan wewenang serupa dengan komisioner biasa juga bisa merusak doktrin pelaksana tugas yang biasanya memiliki keterbatasan wilayah kewenangan.
Jika pun mendorong perppu, pilihan yang bijak tentu saja adalah melakukan percepatan seleksi atau dapat juga menunjuk Busyro Muqoddas dan Robby Arya Brata, kandidat yang telah terseleksi, tetapi masih menunggu uji kelayakan dan kepatutan di DPR. Pengangkatan mereka untuk sementara waktu hingga proses seleksi kelima penggantian kelima komisioner secara bersamaan di akhir tahun, akan lebih mulus dibandingkan dengan menunjuk orang luar yang tiba-tiba masuk ke KPK.
Bahkan, jika dalam kondisi mendesak, perppu percepatan seleksi komisioner KPK masih lebih menarik daripada mendorong model pelaksana tugas untuk jabatan komisioner KPK.
Masih dalam kerangka mendorong perlindungan atas KPK, pemikiran untuk menerbitkan aturan perlindungan atas pekerja pemberantasan korupsi juga menjadi besar. Langkah ini tak menunjukkan pelanggaran atas apa pun. Secara peraturan perundang-undangan, konsep kewajiban negara untuk melindungi pekerjaan pemberantasan korupsi ada dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) yang telah diratifikasi Indonesia menjadi Undang-Undang Nomot 7 Tahun 2006.
Konsep perlindungan yang sama juga ada di berbagai UU, semisal UU Ombudsman untuk melindungi kerja-kerja para komisioner di lembaga seperti Ombudsman. Hal-hal yang artinya akan menambah daya perlindungan atas penegakan hukum dan anti korupsi.
Semua itu akan mewujudkan janji Presiden untuk mendukung dan menguatkan KPK, memberantas korupsi, dan tentu saja untuk berdiri bersama penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Janji yang saat ini menunggu untuk dilaksanakan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 11 Februari 2015