Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Bukan Nawacita, tapi duka cita bagi pemberantasan korupsi. Begitulah gambaran lemahnya upaya pemberantasan korupsi dibawah kepemimpinan Presiden Jokowi selama 1 tahun pemerintahan. Nawacita yang digadang-gadang bisa membawa perubahan, ternyata belum mampu memperkuat upaya pemberantasan korupsi. Justru sebaliknya, fondasi antikorupsi yang dibangun pada awal masa pemerintahan ini sangatlah rapuh. Hampir belum ada janji politik dalam pemberantasan korupsi yang direalisasikan dengan serius oleh Presiden Jokowi.
Jika kita buka lembaran janji politik Jokowi, komitmen antikorupsi itu telah seringkali diucapkan dalam berbagai kesempatan. Komitmen itu diungkapkan dalam satu kalimat pendek, yakni keberpihakan pada pemberantasan korupsi. Keberpihakan itu diwujudkan dalam bentuk keberpihakan pada legislasi yang mendukung pemberantasan korupsi, mendukung KPK, mereformasi lembaga penegak hukum serta memprioritaskan penanganan korupsi di sektor penegak hukum, politik, pajak, bea cukai dan industri sumber daya alam. Jokowi juga berjanji membangun sistem pencegahan korupsi di birokrasi.
Akan tetapi melihat capaian pemerintah selama 1 tahun ini, belum nampak upaya serius menuju ke arah pemenuhan janji-janji tersebut. Fondasi yang akan menjadi dasar atas bangunan pemberantasan korupsi itupun belum terlihat. Justru langkah mundur yang kita dapati, dimana terjadi berbagai usaha pelemahan dan penghancuran gerakan pemberantasan korupsi. Dimulai dari kriminalisasi terhadap pimpinan KPK, pegawai KPK, pegiat antikorupsi dan pihak-pihak yang mendukung gerakan antikorupsi. Upaya kriminalisasi ini sampai saat ini tidak bisa dihentikan oleh Presiden Jokowi. Padahal telah nyata terlihat kejanggalan-kejanggalan dalam kriminalisasi tersebut.
Upaya penghancuran KPK tidak berhenti pada kriminalisasi, dasar hukum pembentukan KPK juga diganggu-gugat. Ada upaya untuk membubarkan KPK secara perlahan dengan menggunakan kewenangan legislasi. Bergulirnya isu RUU KPK merupakan bagian dari usaha itu. Maka jangan heran jika dalam draft RUU KPK terdapat pasal yang mengatur batas umur KPK hanya 12 tahun. Logika umur KPK ini semakin memperjelas gagasan untuk membunuh KPK. Presiden Jokowi terlihat tidak berani untuk tegas menolak ide ini. Buktinya, pemerintah hanya menunda pembahasan RUU KPK, bukan menolaknya. Jelas ini bertentangan dengan janji politik Presiden Jokowi yang akan mendukung dan mempertahankan KPK.
Disamping lemahnya dukungan terhadap KPK, Presiden Jokowi juga gagal membangun fondasi antikorupsi yang kuat bagi institusi kejaksaan dan kepolisian. Dua institusi penegak hukum tersebut secara struktural langsung berada dibawah perintah Presiden. Baik atau buruknya pemberantasan korupsi sebuah rezim pemerintahan, dapat dilihat dari kinerja kedua institusi penegak hukum tersebut. Lagi-lagi Presiden Jokowi melakukan blunder dengan mengisi pejabat di kedua institusi itu dengan pimpinan yang penuh catatan kontroversial.
Pengisian jabatan Jaksa Agung dan Kepala Kepolisian penuh dengan kejanggalan. Kita tentu masih ingat bahwa calon Kepala Kepolisian yang dijagokan Jokowi menjadi tersangka korupsi di KPK. Sementara, Jaksa Agung disorot publik sebab berlatarbelakang sebagai politisi partai Nasional Demokrat (Nasdem). Banyak pihak kemudian mempertanyakan integritas dan rekam jejak petinggi lembaga penegak hukum itu. Apalagi saat ini Jaksa Agung terseret-seret dugaan korupsi yang menjerat Gubernur Sumatera Utara dan Sekretaris Jenderal Partai Nasdem. Dalam situasi seperti ini tentu sulit meyakinkan publik bahwa kejaksaan dan kepolisian akan menopang Nawacita antikorupsi yang digadang-gadang Presiden Jokowi.
Publik belum melihat ada kinerja serius dari kedua institusi penegak hukum itu untuk ikut mewujudkan komitmen antikorupsi Presiden. Tidak ada capaian pemberantasan korupsi yang signifikan dari kejaksaan dan kepolisian. Kalaupun ada kasus yang diusut, perkembangannya tak menentu. Beberapa kasus di daerah justru dihentikan (SP3). Kita juga belum tahu apa rencana Jokowi untuk mereformasi birokrasi di kejaksaan dan kepolisian. Ingat, hingga saat ini dalam berbagai survei, publik masih menganggap kedua lembaga tersebut sebagai lembaga yang tidak kredibel. Butuh upaya luar biasa untuk melakukan reformasi birokrasi lembaga penegak hukum.
Perlakuan istimewa bagi koruptor masih dilanggengkan oleh pemerintahan Jokowi melalui kebijakan pemberian remisi. Menurut data Kementerian Hukum dan HAM, ada lebih kurang 1.938 narapidana korupsi yang mendapatkan remisi hingga saat ini. Berbagai alasan dicari untuk membenarkan kebijakan ini. Padahal peraturan yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya telah memperketat pemberian remisi, tapi masih saja dilonggarkan oleh Menteri Hukum dan HAM saat ini.
Melihat mulai kecewanya publik dengan kinerja pemberantasan korupsi, maka Presiden Jokowi tidak punya pilihan selain kembali ke cita-cita mulia Nawacita yang menunjukkan keberpihakan pada pemberantasan korupsi. Komitmen tidak cukup hanya dicuapkan dalam janji politik. Butuh langkah tegas dan kebijakan kongkrit. Jokowi harus memimpin langsung perang melawan korupsi. Harus ada perubahan mendasar dalam kebijakan antikorupsi. Sebab, jangan sampai ditahun-tahun berikutnya Nawacita berujung menjadi duka cita bagi pemberantasan korupsi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh Koran Tempo pada 3 November 2015