Selasa, (21/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #8: RUU Cipta Kerja: “Masalah Pemidanaan & Potensi Kerugian Sosial”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube Pusat Kajian Antikorupsi FH UGM. Narasumber diskusi ini adalah Fira Mubayyinah (Direktur Pusat Pendidikan dan Kajian Antikorupsi Universitas Nahdlatul Ulama Indoneisa), Iqbal Felisiano (Pusat Studi Antikorupsi dan Kebijakan Pidana Universitas Airlangga), Rimawan Pradiptyo (Dosen Fakultas Ekonomika dan Bisnis Universitas Gadjah Mada), dan Eka Nanda Ravizki (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi Universitas Gadjah Mada).
Diskusi ini dimulai dengan pemaparan dari Rimawan Pradiptyo. Rimawan menjelaskan RUU Cipta Kerja dari perspektif ilmu ekonomi dan perbandingannya dengan beberapa negara anggota OECD (Organisation for Economic Cooperation and Development). Rimawan juga menyampaikan pembahasan mengenai kesiapan Indonesia dalam mengaplikasikan pendekatan berbasis resiko- risk based approach dalam RUU Cipta Kerja juga disampaikan dengan baik. Rimawan menyimpulkan bahwa aspek Indonesia belum siap menerapkan pendekatan berbasis resiko mengingat masih lemahnya database yang dimiliki pemerintah.
Pembahasan selanjutnya disampaikan oleh Fira Mubayyinah. Dalam pemaparannya yang berjudul “Melemahnya Nilai-nilai Antikorupsi & Potensi Kerugian Sosial dalam RUU Cipta Kerja”, Fira menyampaikan bahwa RUU Cipta Kerja tidak mencerminkan nilai antikorupsi. RUU Cipta Kerja yang dibuat terburu-buru dan tidak terbuka telah melanggar nilai-nilai antikorupsi, yaitu transparansi dan keadilan. Fira juga memaparkan terdapat nuansa lemahnya nilai-nilai antikorupsi dalam RUU Cipta Kerja yang membuka perilaku koruptif seperti yang tercermin dalam praktik orde baru.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan dari Eka Nanda Ravizki. Eka menyampaikan diskusi dengan menjelaskan beberapa prinsip-prinsip dalam hukum pidana, khususnya konsep strict liability dan kaitannya dengan Pasal 88 UU Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam RUU Cipta Kerja. Dalam pasal a quo, RUU Cipta Kerja menghilangkan klausa “tanpa perlu pembuktian unsur kesalahan”, sehingga penegak hukum harus membuktikan unsur kesalahan dalam kerusakan lingkungan. Selain itu, Eka juga memaparkan problematika mengenai sanksi administratif yang diterapkan dalam RUU Cipta Kerja yang jauh dari efek jera. Penerapan sanksi administratif yang sembarangan memberi kesan sentralisasi sanksi ke pemerintah pusat.
Masih terkait dengan bidang pidana pada RUU Cipta Kerja, Iqbal Felisiano membahas mengenai ancaman pidana yang terdapat pada RUU tersebut. Iqbal menyatakan bahwa terdapat potensi “bancakan” pejabat pemberi persetujuan lingkungan hidup dan melemahkan penegakkan UU Tindak Pidana Korupsi. Selain itu, terdapat juga potensi disparitas putusan yang menimbulkan ketidakadilan dengan adanya denda administratif ini. Iqbal menutup diskusi dengan memaparkan ketidakjelasan dalam sanksi pidana dan pemulihan lingkungan hidup jika wewenang tersebut ditarik ke pemerintah pusat seperti yang tercermin pada Pasal 82 (1).
Penulis: Erma Nuzulia S
Link Download Materi:
Eka Nanda_Pemidanaan UU Cipta Kerja