Oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
TAK lama setelah dilantik, ia digelandang oleh kejaksaan ke ruang tahanan. Itulah yang terjadi pada salah satu anggota DPRD Sumatera Barat periode 2014-2019 yang menjadi tersangka korupsi. Sesungguhnya kejadian serupa terjadi kepada anggota DPRD di beberapa daerah lain. Ironisnya, merekalah wakil rakyat yang diamanahi tugas memperjuangkan aspirasi rakyat, membuat peraturan daerah, mengawasi pemerintahan, dan menetapkan anggaran daerah.
Terpilihnya ribuan anggota DPRD baru membawa harapan terwujudnya pemerintahan bersih dan berwibawa di daerah. Dengan kewenangan yang luas, DPRD dapat mewujudkan itu. DPRD merupakan aktor penting pembangunan di daerah, terutama pasca berlakunya otonomi daerah di mana DPRD memiliki kekuasaan lebih besar.
Bahkan, pada awal masa reformasi, DPRD diberikan kewenangan ala pemerintahan parlementer; memilih dan memberhentikan kepala daerah. Hal ini merupakan respons terhadap model sentralistik yang diterapkan pemerintahan Orde Baru yang menghasilkan buruknya tata kelola dan tingginya korupsi di jajaran pemerintahan daerah.
DPRD yang kuat diharapkan memunculkan pengawasan yang efektif terhadap jalannya pemerintahan. Melalui kewenangan legislasi, pengawasan dan anggaran, DPRD diharapkan jadi aktor pendorong munculnya tata kelola pemerintahan yang baik.
Namun, kewenangan yang besar itu ternyata tidak membawa kabar gembira. Justru korupsi dan penyalahgunaan wewenang tumbuh subur. DPRD jadi episentrum baru korupsi di daerah. Tingginya angka korupsi DPRD tecermin dari data Kementerian Dalam Negeri: hingga saat ini lebih dari 3.169 anggota DPRD terlibat kasus korupsi, baik di tingkat provinsi maupun kabupaten/kota. Angka itu masih akan bertambah mengingat sejumlah anggota DPRD sedang diperiksa oleh aparat penegak hukum.
Istilah korupsi berjemaah pun muncul untuk merefleksikan perbuatan korupsi wakil rakyat yang dilakukan secara bersama-sama. Tak jarang ada kasus korupsi yang melibatkan hampir semua, bahkan semuanya, anggota DPRD. Kewenangan yang besar jadi pintu masuk korupsi. Setiap kewenangan menjadi alat untuk melakukan transaksi koruptif. Permainan anggaran dan suap merupakan modus utama yang sering terjadi.
Ketika kepala daerah dipilih DPRD, gubernur, bupati/wali kota jadi sasaran empuk perahan. Sebaliknya, sebagai balas jasa politik, kepala daerah pun menganggarkan sejumlah pos anggaran bagi anggota Dewan. Kepala daerah merasa berutang budi kepada anggota DPRD yang telah memilihnya, bukan kepada rakyat. Implikasinya, DPRD diguyur berbagai macam bentuk anggaran, misalnya tunjangan aspirasi, komunikasi, transportasi, asuransi, kesejahteraan, dan purnatugas. Sementara program untuk rakyat terbengkalai.
Mata rantai koruptif
Inilah gambaran karakteristik korupsi DPRD 1999-2004 tatkala kepala daerah dipilih oleh DPRD. Korupsi yang muncul akibat relasi koruptif antara DPRD dan kepala daerah. Keadaan makin diperparah oleh perilaku partai politik di daerah yang menjadikan anggota DPRD sebagai sumber pendanaan partai. Parpol terkadang acuh tak acuh pada mentalitas kadernya dan cenderung mendorong mereka berbuat koruptif untuk mendanai partai.
Dalam beberapa kasus terungkap bahwa anggota Dewan merangkap jadi calo proyek, yang mempertemukan kepentingan pengusaha dan kepala daerah. Bahkan, tak jarang meminta jatah proyek secara terang-terangan. Relasi koruptif ini terbangun karena DPRD merasa bisa memonopoli kekuasaan eksekutif bahwa kepala daerah ditentukan oleh DPRD. Format kekuasaan DPRD ini jelas telah gagal. Kekuasaan besar pada DPRD gagal dijadikan modal untuk mewujudkan pemerintahan daerah yang lebih responsif, bertanggung jawab, bersih, dan berwibawa.
Untuk memutus mata rantai relasi koruptif ini dirumuskanlah pemilihan kepala daerah langsung. Pilkada langsung membuat kepala daerah lebih fokus kepada rakyat, tidak hanya segelintir elite yang ada di DPRD. Maka, berkembanglah berbagai inisiatif reformasi pelayanan publik di daerah dan program- program prorakyat. Orientasi kebijakan publik tertuju kepada rakyat karena rakyatlah yang berdaulat.
Mengembalikan mekanisme pilkada ke DPRD hanya akan menarik DPRD kembali masuk pada masa kelamnya. Masa di mana pimpinan dan anggota Dewan disoroti, digunjingkan, bahkan harus menghadapi dakwaan dan tuntutan hukum di pengadilan karena terlibat suap dan korupsi. Itulah puncak keterpurukan kredibilitas lembaga tersebut dalam sejarah republik ini.
Parpol pengusung gagasan kepala daerah dipilih DPRD mestinya sadar diri bahwa tingkat kepercayaan masyarakat saat ini pada partai berada di titik nadir. Masyarakat sudah semakin kritis melihat perilaku elite politik yang kerap menyalahgunakan kewenangan. Lebih baik parpol berpikir keras bagaimana agar kredibilitas lembaga perwakilan kembali pulih dan parpol mendapat kepercayaan penuh dari rakyat sebagai pilar demokrasi, bukan pilar korupsi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 13 September 2014