Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Di dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi terdapat aturan Pasal 32 Ayat 2 yang mengatur, “Dalam hal Pimpinan KPK menjadi tersangka tindak pidana kejahatan, diberhentikan sementara dari jabatannya”.
Hal ini pulalah yang dikenakan kepada Abraham Samad dan Bambang Widjojanto, dua unsur pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang diberhentikan karena menjadi tersangka dalam tindak pidana yang dituduhkan kepadanya. Pasal ini memang menarik. Jauh berbeda daripada lembaga lain dalam hal pemberhentian dan kaitannya dengan model praduga tak bersalah, KPK tentu lebih ketat dalam hal ini. Secara historik, sulit menegasikan bahwa pasal itu dicantumkan karena adanya keinginan mendapatkan komisioner KPK yang bersih sebersih-bersihnya, sehingga dengan sendirinya hal ini menempatkan marwah KPK menjadi sangat kuat dan tinggi. Artinya, aturan Pasal 32 Ayat 2 UU KPK adalah dalam rangka menjaga KPK melaksanakan tugas dan fungsi KPK itu sendiri.
Problemnya, apa yang dibayangkan pembentuk UU ketika membentuk aturan itu adalah dalam konsep penegakan hukum normal, yakni ketika semua proses penegakan hukum hadir melalui proses hukum yang benar dan bukan proses yang diada- adakan. Sering kali, dengan mudah seseorang ditetapkan menjadi tersangka dengan bukti yang terekayasa, tak sempurna atau dicari-cari, bahkan bukti tidak lengkap sekalipun, hanya berdasar pada mekanisme penegakan hukum pidana memiliki “rem darurat” yang dapat digunakan dalam bentuk surat perintah penghentian penyidikan (SP3).
Bayangan tak normal tersebut tidaklah terbayangkan dalam pembentukan UU KPK. Sepanjang pembacaan atas risalah UU KPK, sama sekali tidak terdapat pembahasan mendetail mengenai hal tersebut. Hanya selalu disandarkan pada keinginan bahwa orang yang berada di KPK adalah orang yang terjaga kapasitas dan integritasnya.
Padahal, di tengah beragamnya ketentuan pelanggaran pidana-mulai dari yang serius hingga sangat sepele, praktik penegakan hukum yang sering kali keliru, maupun mudahnya untuk mendalilkan bahwa ada prinsip korektif SP3-membuat sangat mungkin terjadinya penetapan tersangka atas pimpinan KPK yang berujung pada dihentikan sementaranya seorang pimpinan KPK.
Jangan dilupakan, ada begitu banyak ancaman pidana yang tersebar di berbagai UU. Baik yang sangat berat maupun yang sangat sepele. Dalam sebuah pandangan, jumlahnya dapat mencapai kira-kira 6.000-an. Itu baru di UU, belum lagi yang berasal dari sekian banyak peraturan daerah yang juga mencantumkan pasal-pasal mengenai ancaman pidana. Jumlah yang besar dan gejala penegakan hukum yang tak normal tentu menjadi padanan meyakinkan untuk mengatakan mudahnya penersangkaan.
Implikasi pemberhentian
Mudahnya terjadi penghentian sementara ini akan membuat kerepotan tersendiri akibat UU KPK yang tidak mengatur berbagai hal lain berkaitan dengan pemberhentian sementara. Misalnya dalam hal KPK terpaksa kekurangan pimpinan akibat pemberhentian secara bersamaan, maka dengan seketika terpaksa dikeluarkan peraturan pemerintah pengganti UU (Perppu), seperti yang sudah terjadi belakangan ini. Bahkan turunan dari itu juga tidak diatur dengan detail. Dalam posisi berhenti sementara, apakah aturan-aturan mengenai larangan etik dan sebagainya tetap terkena pada pimpinan yang sedang berhenti sementara ini?
Belum lagi gejala turut campur presiden melalui Perppu pun seharusnya dapat dihindari, mengingat praktik Perppu yang sering kali jauh dari kesan hukum, tetapi lebih terkesan politik. Hal ini dapat dilihat dari ketentuan Perppu pengisian sementara jabatan pimpinan KPK karena pimpinan kurang dari tiga orang yang saat ini terjadi.
Problemnya adalah penegasian usia 65 tahun pemilihan pimpinan KPK sementara dalam Perppu tersebut. Tentu pertanyaan mendasar secara ketatanegaraan adalah hal ihwal kegentingan memaksa apa yang terjadi sehingga usia 65 pun juga harus dikesampingkan?
Akan tetapi, karena lagi-lagi ini adalah soal politik dan sering kali bukan hukum, maka ada saja penerimaan terhadap praktik pengeluaran Perppu semacam ini. Bahkan ketika tak ada alasan obyektif yang bisa membenarkan kenapa usia di atas 65 tahun tetap diperbolehkan mengisi jabatan pimpinan KPK, tetap saja tak ada problem di DPR. Gejala ikut campur politik ini sangat berbahaya.
Jeremy Pope sudah mengingatkan bahwa wewenang memberhentikan untuk sementara harus dalam kaitan dengan alasan-alasan yang meyakinkan. Namun, wewenang ini mudah sekali disalahgunakan. Lebih lanjut, kata Pope, “Kita dapat membayangkan sebuah skenario di masa depan, kepala badan anti korupsi mungkin diberhentikan sementara oleh presiden semata-mata karena ia menyelidiki tuduhan-tuduhan yang dapat memalukannya dari sisi politik. Karena itu, harus selalu ada pembatasan yang jelas.”
Apa yang dinyatakan Pope sesungguhnya adalah adanya kemungkinan distingsi antara keinginan menegakkan integritas dengan bayangan penegakan hukum yang normal dengan fakta bahwa adanya kemungkinan penyalahgunaan oleh akibat penegakan hukum yang tak normal. Kelihatannya, analisis Pope menemukan kontekstualitasnya di Indonesia.
Pentingnya perlindungan
Dalam hal ini penting dilakukan perlindungan atas pimpinan KPK dari kemungkinan tersebut. Di tengah kondisi hukum yang sering kali tak normal, penguatan marwah KPK tidak bisa hanya dengan menegakkan integritas KPK sekuatnya, tetapi juga memberikan perlindungan yang memadai bagi KPK.
Upaya penindakan, apalagi terhadap pemegang wilayah kekuasaan, tentu lebih mudah mendapatkan perlawanan. Hongkong 1974, memberikan gambaran demo besar penentangan atas pendirian Independent Commission Against Corruption (ICAC) yang dilakukan para polisi. Bahkan dengan kekerasan, karena ICAC dianggap sebagai musuh bagi siapa pun yang merasa terancam kehadirannya.
Nigeria juga mengenal Nuhu Ribadu, seorang kepala dari Economic and Financial Crimes Commission (EFCC) sejak 2003 dengan rekam jejak mengagumkan. Namun, ia berakhir menyedihkan setelah mengejar seorang politisi senior berpengaruh kuat dengan tuduhan korupsi. Ia akhirnya terlempar dari jabatannya dengan dituduh berbagai kejahatan, bahkan terancam percobaan pembunuhan. Ia pun terpaksa “melarikan diri” ke Inggris di awal 2009.
Apa yang terjadi saat ini adalah fragmen yang sama, meski dengan judul berbeda, dengan apa yang terjadi di Hongkong dan Nigeria. Karena itu, merancang perlindungan menjadi penting, seperti berbagai prinsip internasional dan pengalaman di beberapa negara yang telah melakukan perlindungan atas pimpinan dan pekerja pada lembaga anti korupsi.
Kini, Pasal 32 Ayat 2 tersebut tengah diuji di MKoleh Bambang Widjojanto.Perlu dipikirkan dengan tegas oleh MK bahwa inilah saatnya ancaman “kriminalisasi” bagi pimpinan KPK harus dihentikan. Tak boleh lagi dibiarkan ada jilid-jilid kriminalisasi berikutnya hanya karena KPK sedang melakukan penegakan hukum anti korupsi.
MK sendiri pernah membangun prinsip constitutionally important kelembagaan KPK yang diuji berkali-kali dan dinyatakan tidak tepat secara ketatanegaraan, sebagaimana diyatakan dalam Putusan MK No 012-016-019/PUU-IV/2006. KPK sangat penting secara konstitusional. Artinya, sangat mungkin juga bagi MK untuk membangun prinsip perlindungan bagi KPK sebagai salah satu kepentingan konstitusional untuk menyelamatkan pemberantasan korupsi yang dilakukan KPK yang memiliki constitutionally important.
Klausulnya dapat dicari. Tetapi, khusus kejahatan berat, semisal tindakan korupsi, pelanggaran atas UU KPK itu sendiri, terorisme, illegal logging, perdagangan manusia, narkoba, dan kejahatan berat lainnya dapat diproses secara langsung. Tetapi, kejahatan-kejahatan ringan dapat ditangguhkan hingga berakhirnya masa jabatan pimpinan KPK. Ini adalah salah satu klausul. Tentu bisa banyak varian dan pilihan lain. Tetapi, yang terpenting adalah adanya perlindungan agar tidak dengan mudah ditersangkakan dan terkriminalisasi.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian Kompas pada 4 Juli 2015