Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Setelah berlangsung sekian lama, akhirnya Presiden Joko Widodo mengambil langkah dalam menyelamatkan pemberantasan korupsi yang nyaris lumpuh. Presiden mengambil langkah cepat yang berisi tiga hal.
Pertama, tidak melanjutkan proses terhadap Budi Gunawan (BG), serta mengajukan kandidat baru yang akan dikirimkan kepada Dewan Perwakilan Rakyat untuk mendapatkan persetujuan. Kedua, menerbitkan keputusan presiden untuk memberhentikan sementara para komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang telah menjadi tersangka. Ketiga, untuk menghindari kekosongan pimpinan KPK, dikeluarkanlah peraturan pemerintah pengganti undang-undang (perppu) untuk melegalkan pengisian jabatan pelaksana tugas komisioner KPK yang dalam keadaan berhalangan.
Tawaran solusi Presiden ini tentu saja menarik mengingat langkah ini sudah sekian lama ditunggu dan dinantikan publik. Gugatan untuk segera mengambil langkah cepat untuk hal ini sesungguhnya telah didengungkan sekian lama. Ada beberapa langkah yang telah diambil, tetapi tanpa efek berarti. Dan, kali ini, langkah tersebut punya efek yang jauh lebih besar dibandingkan sekian langkah yang diambil selama ini.
Ada daripada tiada
Setidaknya ada tiga hal yang menjadi penegas bahwa langkah kali ini jauh lebih berarti dibandingkan apa yang dilakukan Jokowi selama ini. Pertama, akhirnya Presiden Jokowi menegakkan moralitas publik untuk tidak melantik seseorang yang penuh kontroversi dengan perkara korupsi. BG, meski telah memenangi praperadilan, tetap tidak berarti bebas dari perkara korupsi. Putusan aneh praperadilan dari hakim Sarpin Rizaldi sesungguhnya tidak berarti banyak terhadap kasus korupsi yang disangkakan atas BG. Putusan praperadilan, sederhananya, hanya menegaskan bahwa KPK tidak memiliki kewenangan untuk mengerjakan kasus BG oleh karena BG bukanlah penyelenggara negara, juga bukan penegak hukum, dan tindakannya tidaklah merugikan keuangan negara.
Putusan ini tentu saja aneh. Bagaimana mungkin BG tidak dianggap sebagai penegak hukum? Akan tetapi, bunyi putusan tersebut sama sekali tidak bisa dijadikan dasar bahwa BG bersih dari perkara korupsi. Lagi-lagi, hanya persoalan tidak dapat ditangani oleh KPK. Oleh karena itu, langkah Jokowi untuk tetap tidak melanjutkan proses atas BG serta mendorong Badrodin Haiti (BH) tentu saja merupakan langkah yang sangat menarik.
Dengan langkah itu, tentu saja Presiden akan berpotensi berhadapan dengan kekuatan politik di DPR. Sesuatu yang sebenarnya dapat dipertanggungjawabkan Presiden dengan gambaran yang disampaikan di atas. Presiden tentu tak perlu gentar dan khawatir dengan berbagai usulan liar yang mungkin terjadi. Bisa jadi Presiden dianggap melanggar etika politik di hadapan DPR. Namun, paling tidak Presiden telah menegakkan etika publik.
Tidak hanya itu, Presiden juga tak perlu khawatir dengan ancaman pemakzulan. Sulit menemukan alasan hukum yang benar untuk dapat dikatakan tindakan itu adalah gerbang menuju ke pemakzulan. Apakah bisa menuju ke arah interpelasi dan hak menyatakan pendapat? Tentu saja mungkin. Tetapi, rasanya, mustahil untuk berlanjut ke arah pemakzulan.
Karena itu, pada langkah inilah apresiasi besar harus diberikan kepada Jokowi. Tinggal diikuti dengan tindakan penegas dari Jokowi untuk meyakinkan kekuatan politik untuk tidak mengonsolidasikan ini menjadi hal-hal yang berpotensi menuju pemakzulan. Persoalan tersisa tentu saja soal rekam jejak BH sendiri. Sejauh mana kapasitas BH dapat mengendalikan kepolisian dan bersih dari berbagai perkara koruptif.
Kedua, mengeluarkan keppres pemberhentian sementara untuk komisioner KPK yang telah menjadi tersangka. Tindakan ini tentu saja masih mungkin untuk dipertanyakan. Mengingat masih ada keyakinan proses yang terjadi atas dua komisioner KPK itu adalah kriminalisasi dan bukan proses hukum biasa yang adil dan benar. Pesannya adalah betapa mudahnya komisioner KPK dapat ditersangkakan melalui tindakan hukum yang tidak adil.
Namun, dalam kondisi ini, Presiden Jokowi memang ada pada posisi sulit. UU KPK telah menegaskan bahwa komisioner yang menjadi tersangka harus diberhentikan sementara sebagai komisioner KPK, serta dikeluarkan keppres untuk legalisasi dari proses pemberhentian sementara tersebut. Artinya, dalam hal ini, pilihan buat Presiden memang sempit. Menerbitkan keppres pemberhentian seakan-akan menjadi kewajiban administrasi setelah komisioner tersebut menjadi tersangka.
Dahulu, Tim Sembilan seharusnya ditujukan untuk ini. Melakukan independenisasi proses dan mencari cara untuk melihat dan memverifikasi apakah ada kriminalisasi atau tidak. Sayangnya, itu tak terbentuk. Karena itu, keppres pemberhentian sangat disayangkan meski sangat dapat dimengerti. Sayang karena ada, tetapi mustahil ditolak.
Ketiga, harus diingat, langkah keppres pemberhentian ini punya implikasi dengan kekosongan jabatan komisioner. Karena itu, tindakan ketiga menjadi sangat penting, yakni Perppu Perubahan atas UU KPK agar dalam kondisi terjadi kekosongan yang menyebabkan komisioner berjumlah kurang dari tiga orang, dimungkinkan adanya penunjukan komisioner sementara KPK hingga adanya proses seleksi reguler.
Alasannya tentu saja terkait KPK tak mungkin dibiarkan tak dapat berjalan karena ketiadaan komisioner. Langkah ini bukan berarti tanpa kritikan oleh karena dapat membuka intervensi Presiden terhadap lembaga negara independen seperti KPK. Akan tetapi, memang sulit karena kondisi yang ada tak memungkinkan diadakannya proses pemilihan.
Untuk itu, dapat dikatakan bahwa langkah ini adalah langkah minimalis, tetapi sangat penting untuk dilakukan. Lebih baik ada langkah daripada tanpa langkah sama sekali. Apalagi langkah tersebut memang penting, walaupun tentu saja tidak berarti tanpa kritikan dan catatan.
Perlindungan
Sayangnya, tindakan ini masih akan dapat menemui jalan buntu jika tidak diikuti tindakan perlindungan lainnya yang sangat penting menyelamatkan pemberantasan korupsi dan KPK. Harus diingat, salah satu alasan ini terjadi karena adanya dugaan kriminalisasi yang terjadi atas para komisioner KPK dan penyidik KPK. Dua komisioner yang masih ada adalah dua orang yang telah dilaporkan pada kasus tertentu. Bahkan, salah satu sosok pemimpin sementara juga adalah orang yang memiliki laporan di kepolisian, yang telah melakukan suatu tindakan pelanggaran hukum.
Oleh karena itu, jika proses-proses kriminalisasi dan dengan mudahnya menersangkakan komisioner KPK, masih akan mungkin berlanjut dan merusak kerja KPK. Bayangkan, bisa-bisa yang terjadi adalah Presiden dipaksa untuk mengeluarkan pimpinan sementara atas pimpinan sementara. Khususnya jika pimpinan sementara ini kemudian juga mengalami kriminalisasi.
Bukan hanya itu, keberlanjutan KPK dan masa depan pemberantasan korupsi sangat bergantung pada kemampuan komisioner secara kolektif dan kerja sama dengan penyidik dan berbagai staf internal di KPK. Ada 21 penyidik KPK yang sangat mudah ditersangkakan oleh Polri melalui proses hukum kepemilikan senjata secara tidak sah. Jika yang terjadi seperti saat ini berlanjut, yakni proses menersangkakan bukan hanya atas komisioner melainkan juga penyidik, akan sangat mungkin mengganggu KPK meskipun telah ada komisioner sementara.
Artinya, langkah Presiden ini merupakan langkah baik. Better something than nothing. Paling tidak ada langkah yang dipakai meneguhkan KPK dan pemberantasan korupsi. Akan tetapi, akan jauh lebih baik lagi kalau dapat dilanjutkan dengan tindakan penegasan upaya mengakhiri kriminalisasi. Ini supaya langkah Presiden dapat berguna dengan baik dan tujuannya dapat tercapai.
artikel ini pernah diterbitkan oleh harian KOMPAS, pada 20 Februari 2015