Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
“Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008 dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut.”
KONSTITUSI negara Indonesia menahbiskan bahwa Indonesia adalah negara hukum. Negara hukum, dalam istilah Hugo Krabbe, merupakan hal yang sederhana, semua tindakan negara harus berdasarkan atas hukum dan karenanya harus dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Dimensi ganda landasan hukum dan pertanggungjawaban secara hukum, meski sederhana mendatangkan implikasi yang tidak sederhana. Ketaksederhanaannya karena pada praktiknya ada ketidaksetaraan antara negara dan warga negara. Ketidaksamaam antara aparat penyelenggara negara dan warga negara. Doktrin lama mengakui ketidaksederajatan raja dengan rakyatnya.
Makanya kemudian lahir doktrin perihal kesamaan di hadapan hukum. AV Dicey menjelaskan bahwa syarat mutlak negara hukum ada beberapa, satu di antaranya yang penting ialah equality before the law, semua orang sama di hadapan hukum. Hal yang menghendaki kedudukan penguasa dengan rakyat di mata hukum adalah sama dan sederajat, yang membedakan hanyalah fungsinya, yakni pemerintah berfungsi mengatur dan rakyat adalah yang diatur. Dan karenanya dalam konsep Dicey, baik yang mengatur maupun yang diatur memiliki pedomannya satu, yaitu hukum.
Sangat mungkin ada yang akan mendebat soal distingsi model negara hukum ala Eropa kontinental yang bergaya rechtstaat dan yang lahir dari tradisi civil law yang lebih menitikberatkan pada rule of law. Biarkanlah itu sebagai perdebatan teoritik hukum, tetapi hal yang tidak mungkin diindahkan dari negara hukum tentu saja adalah konsep hukum adalah persamaan kedudukan di dalam hukum. Persamaan kedudukan yang mewajibkan setiap orang, siapa pun tanpa kecuali harus menghormati hukum dan proses yang mengiringinya.
Kepatuhan proses hukum
Di megaskandal Bank Century, ada begitu banyak nama mentereng yang memiliki kapasitas luar biasa yang tampil dalam persidangannya. Sekadar mengingatkan, kasus Bank Century saat ini masih hanya menyidangkan Budi Mulya yang menerima uang Rp1 miliar di balik kasak-kusuk Bank Century. Menariknya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendakwanya dengan adanya tindakan yang dilakukan oleh Budi Mulya secara bersama-sama dengan orang-orang lainnya telah menyebabkan kerugian negara yang menjadi terkenal dengan skandal Century.
Kata `bersama-sama’, membuat magnitude kasus ini memang melebar dan banyak melibatkan orang-orang lain. Ada begitu banyak nama yang disangkutkan dengan kata `bersama-sama’ ini. Makanya kemudian, dalam proses persidangannya menghadirkan, setidaknya, tiga orang yang sangat sering diperbincangkan publik.
Sri Mulyani sebagai mantan Menteri Keuangan, Jusuf Kalla sebagai mantan Wakil Presiden, dan Boediono sebagai mantan Gubernur Bank Indonesia dan kini sebagai Wakil Presiden Republik Indonesia.
Kehadiran Wakil Presiden di persidangan tentu harus diapresiasi. Namun, di lain sisi, memang begitulah adanya seorang penyelenggara negara bersikap. Harus diingat, negara ini sudah tidak bermain-main dengan perkara korupsi. Seorang penyelenggara negara, terlibat atau tidak terlibat, seharusnya mau menunjukkan iktikad mendorong pemberantasan korupsi dengan cara menghormati proses hukum dan mau menjadi saksi dalam proses peradilan.
Bukan hanya tataran etika penyelenggara negara, melainkan UU No 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi dan Nepotisme juga sudah menggariskan hal yang sama. Pasal 5 angka 7 dengan jelas mengatakan bahwa setiap penyelenggara negara wajib untuk bersedia menjadi saksi dalam perkara korupsi, kolusi, dan nepotisme serta dalam perkara lainnya sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini pun berlaku untuk semua penyelenggara negara, yakni pejabat negara yang menjalankan fungsi eksekutif, legislatif, atau yudikatif, dan pejabat lain yang fungsi dan tugas pokoknya berkaitan dengan penyelenggaraan negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Aturan ini bukan hanya berdimensi anjuran etis untuk menaati dan menghormati proses hukum yang sedang berjalan, tetapi juga memiliki fungsi paksaan karena pada Pasal 20 Ayat 2 dicantumkan tentang setiap penyelenggara negara yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 5 angka 7 (tentang menjadi saksi dalam proses peradilan) dikenakan sanksi pidana dan atau sanksi perdata sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Ini yang dalam kajian sosiologi hukum dianggap sebagai komitmen normatif melalui legitimasi (normative commitment through legitimaty) karena adanya keinginan mematuhi hukum karena dipaksa oleh otoritas atau legitimasi kekuasaan pembuat hukum itu sendiri. Suatu kepatuhan yang dipaksakan oleh norma itu sendiri.
Akan halnya dengan kehadiran Boediono, kita tentu tidak paham apakah kehadirannya dilandasi kesadaran individual ataukah memang dipaksa secara legitimatif oleh hukum. Akan tetapi, kehadirannya tetap memberikan nuansa menarik bahwa Boediono mau dan bersedia untuk bekerja sama dengan proses hukum yang ada. Dapat dibandingkan dengan pejabat-pejabat lain yang sering berkilah dengan berbagai dalih. Pesan yang dikirimkan Boediono sangat jelas, semua orang sama di hadapan hukum dan karenanya kehadiran menjadi suatu hal yang pasti.
Kepatuhan akan kebenaran
Hal lain di balik kesadaran mengikuti dan menghormati proses hukum sesungguhnya tidak berhenti pada formalitas kehadiran. Namun, juga masuk pada substansi kehadiran itu sendiri. Meminjam kritik kaum strukturalis dan marxian soal kesadaran untuk patuh pada hukum, yakni kesadaran yang berwujud epiphenomena, yakni kesadaran yang bersifat sampingan dari suatu tujuan yang sebenarnya ingin dibangun dari kesadaran untuk patuh pada hukum. Sangat mungkin untuk hadir ke proses persidangan, bukan dalam rangka memperjelas proses hukum, tetapi untuk meneguhkan kepentingan pribadi di balik proses hukum yang dipertontonkan.
Dalam konteks ini, tentu saja yang harus dilacak adalah apakah substansi kehadiran Sri Mulyani, Jusuf Kalla, dan Boediono, memang dalam kerangka memperjelas kasus hukum sehingga menjadikan terang proses hukum tersebut, ataukah hanya dijadikan panggung untuk kepentingan pribadi. Kepentingan pribadi yang mungkin beragam.
Karenanya, proses hukum haruslah melacak, memperlihatkan, dan pada saat yang sama harus berhati-hati dengan keterangan-keterangan yang terungkap di persidangan kasus Century.
Harus dilihat ketidaksinkronan keterangan setiap saksi tersebut. Karena dari situ dapat dilacak, apakah kesadaran hukum di balik kehadiran proses persidangan adalah datang dari komitmen penegakan hukum atau malah bagian yang mendistorsi proses hukum itu sendiri.
Keterangan Jusuf Kalla, misalnya, terdapat ketaksinkronan dengan keterangan Boediono. Boediono yang mengaku ditelepon langsung oleh JK dan berkoordinasi untuk penyelamatan Century pada 13 November 2008, dibantah oleh JK dengan mengatakan sama sekali tidak ada telepon-teleponan tersebut. Padahal, meski tidak terlalu penting dalam perkara yang berkaitan dengan Budi Mulya, tetapi soal koordinasi per telepon ini tetap penting untuk membingkai kesan Century yang dirampok secara `sembunyi-sembunyi’ dan kesan `sembunyi-sembunyi’ inilah yang dapat diasosiasikan dengan upaya jahatnya.
Ataukah memang ada koordinasi kebijakan yang dapat diasosiasikan tidak dalam kerangka merampok Bank Century demi kepentingan tertentu, tetapi inilah penyelamatan perekonomian negara yang diambil secara bersama aktor-aktor negara. Bukan hanya itu, masih ada beberapa hal dibalik skandal Century yang tidak sinkron antara Jusuf Kalla, Sri Mulyani, dan Boediono.
Hukum logika mengatakan tidak mungkin keduanya benar secara bersamaan. Hukum logika yang sama juga manandaskan bahwa juga tak mungkin tidak ada yang benar secara bersamaan.
Karenanya, siapa yang berbohong di cerita itu akan sangat mungkin mengungkap siapa yang sedang memainkan kepentingan pribadi di balik kepatuhan akan kehadiran untuk patuh hadir dalam proses hukum.
Memang benar, semua orang sama di hadapan hukum. Namun, hal yang tidak kalah pentingnya adalah bukan hanya karena sama di hadapan hukum tetapi mau hadir di persidangan dan secara bersungguh-sungguh mengungkap terangnya suatu kasus korupsi. Itulah kesadaran hukum yang bermakna. Suatu makna yang menjadi solusi perkara dan bukan menginvolusi perkara.
artikel ini pernah diterbitkan oleh MEDIA INDONESIA, pada 12 Mei 2014