Menanggapi wacana pemberian remisi bagi narapidana korupsi, PUKAT UGM menyelenggarakan diskusi online bertema “Pemberantasan Korupsi di Tengah Pandemi” pada 7 April 2020. Diskusi ini tidak hanya membahas seputar remisi bagi napi korupsi, tetapi juga mengupas korupsi bencana dan kehadiran Perppu Nomor 1 Tahun 2020. Tersambung sebagai narasumber adalah Kurnia Ramadhana (Peneliti Indonesian Corruption Watch), Wawan Suyatmiko (Peneliti Transparency Internasional Indonesia) dan Zaenur Rohman (Peneliti Pusat Kajian Antikorupsi UGM).
Kurnia Ramadhana menerangkan, jika wacana membebaskan 300 terpidana korupsi merupakan upaya mencari celah di tengah-tengah situasi pelik Covid-19 ini. “Kami tidak menemukan adanya korelasi antara merebaknya wabah Covid-19 dengan keharusan negara membebaskan narapidana korupsi,”ujar Kurnia. Menurutnya napi korupsi hanya 1,8 % dari total narapidana yang ada dan napi tersebut mendiami sel khusus dimana setiap sel hanya dihuni oleh satu orang. Sehingga logika pembebasan napi korupsi untuk mengurangi jumlah tahanan dan mencegah merebaknya wabah Covid 19 dianggap tidak pas.
Kurnia menambahkan, meskipun wacana pemberian remisi bagi napi korupsi ditolak oleh Presiden, masyarakat tetap tidak boleh lengah. “Ada gerakan dari Pemerintah yang mencoba untuk mengganggu konstelasi gerakan antikorupsi di situasi pandemik saat ini. RUU Permasyarakatan pembahasannya terus jalan dan sangat menguntungkan bagi narapidana korupsi karena PP 99/2012 ingin dicabut,” terangnya.
Selain hal tersebut, hal lain yang harus diwaspadai di tengah pandemic Covid-19 adalah potensi korupsi bencana. Wawan Suyatmiko menjelaskan jika dalam situasi seperti ini pemerintah perlu mengupayakan keterbukaan data dan informasi, peningkatan transparansi dan akuntabilitas, dan penanganan asimetri informasi dengan seksama. Lebih lanjut Wawan menyesalkan upaya kontra-produktif yang dilakukan selama situasi pandemik ini. “Saat ini terus dibahas penyusunan regulasi yang tidak sensitif bencana, seperti Omnibus Law Cipta Kerja, RKUHP, dan RUU Permasyarakatan.”ujarnya. Padahal dalam kondisi seperti ini, masyarakat lebih mengharapkan wakil-wakil rakyat mampu merumuskan kebijakan yang dapat menanggulangi Covid-19 secara efektif dan efisien.
Pembahasan terakhir terkait Perppu 1/2020 diutarakan oleh Zaenur Rohman. Zaen, mengapresiasi kehadiran Perppu 1/2020. Meskipun demikian, terdapat beberapa catatan terutama berkaitan dengan Pasal 27. “Saya melihat Pasal 27 ini berangkat dari trauma ketika menangani krisis ekonomi 1998 dan 2008,” terangnya. Zaen lebih lanjut menerangkan jika Pasal 27 ayat (1) ini harus dibaca sepanjang tidak melawan hukum, tidak memperkaya diri sendiri dan orang lain, dan juga tidak merugikan keuangan negara. Di samping itu, Zaen menuturkan jika dalam situasi seperti ini KPK dapat mengambil peran salah satunya dengan memberikan pendampingan kepada pemerintah melalui Deputi Pencegahan.