oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
ADALAH benar bahwa setiap orang bisa berbuat salah dan berhak memperbaiki diri. Juga benar bahwa rakyat harus percaya kepada pemimpinnya agar pemerintahan dapat berjalan maksimal. Tapi, bukankah sejak lama Mahatma Gandhi mengingatkan bahwa faith must be enforced by reason. When faith becomes blind, it dies. Intinya, kepercayaan harus didasarkan pada alasan. Jika kepercayaan diberikan tanpa alasan, ia akan menjadi buta. Tentu kita semua paham bahwa kepercayaan yang buta akan cenderung disalahgunakan oleh penerimanya.
Demikian halnya dengan kepercayaan kita sebagai rakyat kepada politisi. Rasanya sulit untuk kembali percaya kepada politisi karena sudah kali kesekian politisi tertangkap melakukan suap. Mulai korupsi wisma atlet, Hambalang, pengadaan Alquran, sampai korupsi dana penyesuaian infrastruktur daerah (DPID). Kini giliran Luthfi Hasan Ishaaq (LHI), presiden PKS, ditetapkan sebagai tersangka dan ditahan karena dugaan suap sapi impor.
Penangkapan LHI merupakan langkah lebih lanjut KPK yang telah menangkap tangan Ahmad Fathanah yang diduga teman dekat LHI karena menerima suap dari pengurus PT Indoguna Utama. Ditengarai suap senilai Rp 1 miliar itu digunakan untuk memuluskan pemenangan tender sapi impor kepada PT Indoguna Utama.
Korupsi dan Korporasi
Kasus suap semacam ini bukanlah modus baru. Selama 2012, kita disuguhi drama berburu persenan parpol di sejumlah proyek kementerian. Sejumlah parpol menyatakan, biaya politik yang harus dikeluarkan sangatlah tinggi. Syahwat mengeruk uang negara semakin menjadi pada 2012. Dalam Trend Corruption Report 2012, PuKAT Korupsi mencatat, pemerintah pusat dan daerah bekerja sama dengan politisi di lembaga perwakilan dan swasta dalam pemenangan tender. Berkaca pada suap wisma atlet, Nazaruddin (Nazar), politikus Partai Demokrat (PD), bekerja sama dengan oknum kementerian dan swasta. Dalam hal aktor swasta, Grup Permai menjadi perusahaan yang dikendalikan Nazar agar bisa memenangkan proyek wisma atlet dan memberikan sejumlah fee.
Pengungkapan kasus Nazar bukanlah hal yang mudah bagi KPK. Meski akhirnya bisa menghukum politikus kelas atas dan pejabat teras Kemenpora, korupsi wisma atlet masih menyisakan kerisauan. Nazar dan pelaku lainnya tidak didakwa atas tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan Grup Permai -yang nyata-nyata berdasar persidangan digunakan untuk motif jahat- sama sekali tidak diberi sanksi.
Padahal, pasal 20 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (PTPK) mengatur mengenai hukuman yang bisa diberikan kepada korporasi. Akhirnya, Nazar dan kawan-kawan dipidana dengan hukuman yang tidak maksimal dan perusahaannya masih eksis. Belum lagi, pernyataan Nazar soal aliran fee dalam konvensi PD sampai saat ini masih menjadi tanda tanya.
Pasal Pencucian Uang
Mengacu pada pengalaman penanganan suap wisma atlet, seharusnya KPK dapat lebih cermat dalam mengusut suap impor sapi. Pertama, mata rantai pelaku harus bisa diungkap tuntas. LHI terbilang “orang luar” dalam pengadaan sapi impor. Tentu saja ada otoritas yang bertanggung jawab dalam pengadaan sapi impor. Sebut saja Kementerian Pertanian (Kementan). Sangat mungkin, sejumlah oknum Kementan juga terlibat dalam pemulusan jalan berburu persenan tersebut. Tak hanya itu, politisi PKS dan politisi lainnya, baik yang ada di DPR maupun fungsionaris, harus diperiksa.
Kedua, KPK harus berani menggunakan pasal 20 UU PTPK dan TPPU karena bisa jadi telah terjadi permufakatan jahat untuk mencuci uang (money laundering) dari fee tersebut agar tidak bisa diketahui penyidik. Ataufee itu patut diduga bukanlah yang pertama karena sejak lama publik mencium adanya praktik kotor impor sapi. Sebelum pelaku kasus tersebut tertangkap tangan, gelagat kongkalikong dalam impor sapi sudah diberitakan media.
Ketiga, parpol mana pun yang politisinya kedapatan menerima suap seharusnya malu dan berbesar hati. Malu karena mereka melalaikan janji-janji pemberantasan korupsi. Dan berbesar hati mendukung segala proses hukum berjalan untuk “cuci dosa”. Sebab, di sinilah komitmen parpol diuji, benarkah mereka punya niat baik untuk memberantas korupsi di dalam tubuhnya sendiri. Demikian halnya dengan PKS, suap impor sapi bisa dijadikan media untuk membersihkan diri dari praktik kotor. PKS harus mau membuka diri, bukan justru melawan proses hukum terhadap LHI. Sekali lagi, membuktikan jargon pemberantasan korupsi juga bisa diterapkan ke dalam dirinya.
Menjelang Pemilu 2014, praktik korupsi politik diprediksi semakin marak dan terang-terangan. Kita sebagai masyarakat harus terus waspada, jangan sampai kembali terbujuk rayuan parpol korup. Publik harus memberikan pelajaran kepada parpol. Bukan berarti parpol harus dihilangkan dari bumi Indonesia. Yang perlu dilakukan adalah menjadi pengawas yang baik, memberikan masukan dan kritik. Bukan tidak mungkin, kelak korupsi politik berkurang karena publik tidak lagi permisif dan larut dalam fanatisme semu kepada parpol.
artikel ini pernah diterbitkan oleh JAWA POS pada 07 Februari 2013