oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Muhaimin Iskandar kembali menyangkal terlibat dugaan tindak pidana korupsi. Muhaimin mengatakan, program Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah transmigrasi sama sekali tidak dirapatkan. Bahkan, tidak dilaporkan kepadanya (Kompas, 7 Maret 2012).
Pernyataan Muhaimin disampaikan terkait dengan kesaksian Dadong Irbarelawan, Kepala Bagian Perencanaan Evaluasi Program dan Pelaporan Ditjen P2KT Kemenakertrans, dalam persidangan kasus suap pencairan dana Percepatan Pembangunan Infrastruktur Daerah (PPID). Dadong menyatakan, uang suap Rp 1,5 miliar dari Dharnawati sudah dikoordinasikan dengan Muhaimin.
Di lain waktu, dalam persidangan kasus yang sama, Sekretaris Jenderal Kemenakertrans Muchtar Lutfie membeberkan, anggaran PPID diusulkan oleh Kemenakertrans. Surat B97, yang disusul surat B73 pada 5 April 2011, adalah dokumen resmi yang dipakai untuk mengajukan pengucuran dana PPID.
Logika Kementerian
Ketentuan mengenai kementerian negara diatur dalam Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2008. Adapun pembentukannya ataupun tugas menteri diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 47 Tahun 2009. Dalam Perpres Pembentukan dan Organisasi Kementerian Negara disebutkan, salah satu fungsi kementerian adalah menyelenggarakan pengawasan atas pelaksanaan tugas di bidangnya (Pasal 26 Ayat 1 huruf c dan Ayat 2 huruf c).
Garis aturan tersebut tentu tidak dibentuk sembarangan. Ada norma yang dimaktubkan. Setiap kebijakan yang jadi cerminan tugas kementerian harus diawasi. Fungsi pengawasan itu terang: jangan sampai ada kesewenang-wenangan dan korupsi dalam membentuk kebijakan sehingga membuatnya keluar dari jalur pencapaian tujuan negara.
Berdasarkan norma Perpres No 47/2009, agak susah menerima keterangan Muhaimin yang menyatakan tidak tahu ada kebijakan PPID di Kemenakertrans, termasuk keberadaan surat pengajuan pencairan dana PPID. Segala kebijakan kementerian, apalagi bernilai strategis, seharusnya lewat meja menteri. Ini juga konsekuensi dari ketentuan ”Menteri mempunyai tugas memimpin kementerian sesuai dengan tugas bidang kementerian” (Pasal 28). Logika kementerian yang top-down dalam pembentukan kebijakan menolak keterangan Muhaimin tersebut.
Pernyataan Muhaimin yang mengaku tak tahu ada kebijakan PPID ataupun surat pengucuran dana PPID sebenarnya menunjukkan kepada kita secara gamblang adanya benih kehancuran. Ada malapetaka yang terkuak.
Implikasi menteri sebagai pemimpin kementerian adalah setiap jenjang jajaran yang ada di bawahnya harus bertanggung jawab kepadanya. Sebagaimana diatur dalam Perpres No 47/2009, pejabat di bawah menteri—mulai dari sekretaris jenderal (Pasal 29 Ayat 1), direktur jenderal (Pasal 33 Ayat 1), inspektorat jenderal (Pasal 37 Ayat 1), hingga kepala badan (Pasal 41 Ayat 1) dan kepala pusat (Pasal 41 Ayat 3)—harus bertanggung jawab kepada menteri. Intinya, segala kebijakan yang diterbitkan oleh anak buah menteri harus atau pasti diketahui oleh menteri.
Logika hukum kepemimpinan seorang menteri di kementerian mencantumkan, sebagai pimpinan puncak, menteri harus membaca dan mengetahui segala kebijakan kementerian. Kalau kemudian ada menteri yang menyatakan tidak tahu kebijakan di kementeriannya, ini bermakna ia tak tanggap dalam melaksanakan kinerjanya. Jadi, apa yang dilakukan menteri itu selama ini?
Selanjutnya, menteri jika tak tahu karena tak tanggap kinerja, bukankah menteri, hanya makan gaji buta? Bukankah berarti uang negara dihambur-hamburkan guna membayar sebuah kesia-sian? Jika iya, hal ini adalah malapetaka.
Absurd
Keterangan Muhaimin yang berbeda dengan anak buahnya secara tidak disadari akan menjadikan absurd kasus korupsi suap di Kemenakertrans. Bagaimana mungkin sebuah program kementerian yang anggarannya mencapai Rp 500 miliar tidak dirapatkan. Lebih parah lagi, anggaran program yang tak dirapatkan itu akan dicairkan. Sungguh tak masuk akal.
Namun, begitulah korupsi. Ia tak masuk akal. Korupsi mencibir akal sehat. Korupsi hanya masuk akal di kalangan para koruptor.
Jangan-jangan, keabsurdan kebijakan di Kemenakertrans juga terjadi di 33 kementerian dalam Kabinet Indonesia Bersatu II. Jika demikian, bukankah hal ini menunjukkan bahwa negara diurus dengan keabsurdan, negara dijalankan dengan ke-”tidak masuk akal”-an? Jika iya, ini benar-benar malapetaka.
Pencairan anggaran program pemerintah melibatkan, setidaknya, dua lembaga: Kementerian Keuangan dan lembaga pemerintah pemilik program. Apabila pernyataan Muhaimin benar, bahwa program PPID tak pernah dirapatkan sebelumnya, sehingga walau bukan menjadi program Kemenakertrans, anggaran program tersebut tetap turun, kemungkinan besar ada aktor lain. Dengan demikian, pernyataan Muhaimin memberikan sinyal bahwa suap untuk memuluskan rencana pembangunan infrastruktur transmigrasi di 19 kabupaten/kota itu dilakukan secara sistemik dan berjemaah.
Namun, tak berarti menteri aman dari tanggung jawab hukum terhadap korupsi yang dilakukan anak buahnya. Tanggung jawab mahaberat ada di pundak KPK untuk membuktikan keterlibatan sang menteri. Jika cara konfrontasi keterangan antara menteri dan anak buahnya tak menemukan titik kait, cara lain bisa diambil. Misalnya, mencari bukti adanya peralihan wewenang secara mandatori dari menteri ke anak buahnya berkenaan dengan program kementerian.
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 17 Maret 2012