Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #5: Novel Baswedan Mencari Keadilan “Mengupas Tuntas Tuntutan Jaksa” selain menghadirkan Novel Baswedan, Kurnia Ramadhana, dan Suparman Marzuki, juga menghadirkan Sri Wijayanti Eddyono (Dosen FH UGM), Maradona (Dosen FH Universitas Airlangga) dan Yuris Rezha (Peneliti PUKAT UGM).
Sri Wiyanti Eddyono mengkaji permasalahan ini dari sudut pandang viktimologi dan hak asasi manusia. Sri Wiyanti memaparkan bahwa dari sudut pandang viktimologi, hak korban meliputi: hak perlindungan, hak reparasi dan hak yang paling sering diabaikan yaitu hak partisipasi. “Indonesia masih menganut keadilan retributive yang mengutamakan kepentingan publik, kepentingan pelaku, tetapi tidak bagi kepentingan korban,” ujarnya.
Hal tersebut yang menjadi akar permasalahan yang berujung pada tidak adanya kepastian hukum dan keadilan bagi korban. Menurutnya, kasus Novel Baswedan termasuk dalam kasus yang perlu memperhatikan hak-hak korban, termasuk hak untuk mendapatkan informasi serta hak untuk mendapatkan perlindungan terhadap perkaranya.
Materi selanjutnya disampaikan oleh Maradona. Ia memberikan catatan-catatan selama proses persidangan, termasuk tuntutan jaksa dalam kasus Novel Baswedan. Menurutnya, niat memang dalam beberapa literatur disamakan dengan kesengajaan, tetapi tidak identik karena niat masih ada dalam hati pelaku belum ditunaikan menjadi suatu kesengajaan. Dalam suatu proses hukum, hakim harus melihat berdasarkan fakta yang ada untuk menentukan pasal berapa yang dijatuhkan beserta vonis akhirnya. Dari putusan hakim nantinya baru dapat didiskusikan kembali bagaimana perspektif hakim dalam melihat kasus ini.
Catatan PUKAT
Narasumber terakhir, Yuris Rezha menjabarkan catatan-catatan dari PUKAT serta dampak kasus Novel Baswedan ini pada agenda pemberantasan korupsi di Indonesia. Beberapa catatan dari PUKAT yang berkaitan dengan tuntutan jaksa, yakni: menyatakan ketiadaan niat dari pelaku, pengenaan pasal penganiayaan biasa, tidak dipanggilnya saksi yang ditengarai menjadi kunci pengungkapan perkara, tuntutan satu tahun bagi pelaku yang menciderai rasa keadilan, serta tidak terungkapnya aktor intelektual dan motif pelaku. Yuris menyampaikan bahwa tuntutan jaksa terhadap pelaku merupakan lanjutan dari rentetan kejanggalan selama proses penegakan hukum dalam kasus ini. Selanjutnya, preseden yang buruk menjadi ancaman bagi warga negara khususnya pegiat antikorupsi, bisa jadi kejadian seperti ini dapat berulang. Transparansi, akuntabilitas dan pengendalian benturan kepentingan di institusi penegak hukum sangat dibutuhkan untuk menjamin pelindungan hukum bagi warga negara, menjaga etika serta mencegah perilaku korupstif penegak hukum.
Penulis: Dhika Putri