Tuntutan jaksa dalam kasus penyiraman air keras terhadap Novel Baswedan sangat janggal, tidak memenuhi rasa keadilan dalam masyarakat, serta berdampak buruk pada upaya pemberantasan korupsi. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menuntut Rahmat Kadir Mahulette dan Rony Bugis satu tahun penjara. Terdakwa dianggap bersalah atas perbuatannya melakukan penganiayaan tanpa disertai niat. Melihat kejanggalan tersebut, PUKAT FH UGM menyimpulkan bahwa tuntutan yang diajukan oleh Jaksa mengandung beberapa permasalahan antara lain:
- Pernyataan Janggal Jaksa bahwa Tidak Ada Niat
Pernyataan Jaksa Penuntut Umum (JPU) yang mengatakan bahwa tidak terpenuhinya unsur rencana terlebih dahulu merupakan pemahaman hukum pidana yang keliru. Mengenai unsur rencana terlebih dahulu setidaknya mengandung 3 (tiga) unsur, di antaranya: memutuskan kehendak dalam suasana tenang, tersedia waktu yang cukup sejak timbulnya kehendak sampai dengan pelaksanaan kehendak, dan pelaksanaan kehendak dalam keadaan tenang. Dalam kasus a quo, terdakwa telah memenuhi tiga unsur di atas. Terbukti dengan adanya pengintaian dan air keras yang telah dipersiapkan oleh terdakwa sebelum melakukan penyiraman. Di sisi lain, JPU juga salah dalam membangun argumen jenis-jenis kesengajaan. Tindakan terdakwa tidak semata-mata dikualifikasikan kesengajaan sebagai maksud, melainkan juga kesengajaan sebagai kemungkinan. Jadi, meskipun terdakwa tidak bermaksud melukai bagian mata Novel, namun tindakan penyiraman dilakukan pada kondisi gelap sehingga ada kemungkinan mengenai bagian tubuh yang lain yaitu bagian mata Novel.
- Pasal yang Dikenakan Hanya Penganiayaan Biasa
Pasal yang dikenakan kepada terdakwa hanya penganiayaan biasa sebagaimana dimaksud dalam Pasal 353 ayat (2) KUHP, meskipun tindakan terdakwa tergolong penganiayaan berat. JPU seharusnya mengarahkan tindakan terdakwa pada Pasal penganiayaan berat sebagaimana dimaksud dalam Pasal 355 ayat (1) KUHP. Hal ini lantaran dalam konteks hukum pidana, dikenal adanya kesengajaan yang diobjektifkan, artinya ada tidaknya kesengajaan dilihat dari perbuatan yang tampak. Penyiraman air keras ke tubuh Novel yang dilakukan oleh terdakwa merupakan penganiayaan berat yang berakibat timbulnya luka berat hingga kematian, bukan hanya penganiayaan biasa.
- Jaksa sebagai Penuntut Justru Lebih Mempertimbangkan Keterangan Terdakwa
Jaksa yang seharusnya bertugas membuktikan kebenaran materiil dan keadilan justru memilih untuk lebih mempertimbangkan keterangan terdakwa sebagai bukti. Padahal terdakwa dalam memberikan keterangannya tidak disumpah sehingga memiliki hak ingkar. Selain itu, Jaksa justru mengabaikan adanya barang bukti semisal air keras yang digunakan oleh terdakwa maupun rekaman CCTV dan saksi kunci yang pernah diperiksa oleh Tim Pencari Fakta maupun Komnas HAM.
- Tuntutan Tidak Logis dan Mencedarai Keadilan
Dalam pasal yang termuat dalam dakwaan subsidair, Jaksa memiliki opsi menuntut maksimal tujuh tahun penjara. Namun alih-alih mengambil pilihan itu, Jaksa justru menuntut hukuman hanya satu tahun. Hal ini tentu saja mencederai keadilan sebab bertentangan dengan adagium hukum restitutio in integrum dimana hukum seharusnya menjadi instrumen untuk memulihkan kekacauan di masyarakat. Tuntutan yang ringan dalam kasus penyerangan terhadap aparat penegak hukum yang menangani kasus-kasus antikorupsi dapat menimbulkan ketakutan kepada aparat penegak hukum lain yang berusaha menegakkan keadilan. Selain itu, dibandingkan kasus penyiraman air keras lain, tuntutan yang diajukan dalam kasus Novel tergolong sangat ringan. Dalam kasus Lamaji di Mojokerto, dakwaan JPU menggunakan alternative gabungan dengan tuntutan 15 tahun penjara.
- Tidak Diungkapnya Aktor Intelektual dan Motif dalam Kasus Tersebut
Terdakwa menyatakan bahwa tindakannya dilandasi rasa tidak suka terhadap Novel karena dianggap telah mengkhianati dan melawan institusi Polri. Motif tersebut tidak kuat sebab terdakwa tidak ada hubungan dan tidak pernah bertemu dengan Novel. Di sisi lain, Novel juga tidak pernah menangani kasus yang melibatkan terdakwa. Dugaan adanya aktor intelektual di belakang kasus ini muncul mengingat rekam jejak Novel Baswedan sebagai penyidik KPK yang menangani kasus-kasus besar. Berdasarkan temuan Tim Pencari Fakta setidaknya terdapat enam kasus yang dinilai berpotensi menimbulkan balas dendam terhadap Novel. Meskipun demikian, hal tersebut tidak berhasil diungkapkan dalam proses persidangan.
Harapan terakhir untuk memperoleh keadilan dalam kasus ini sepenuhnya terletak pada palu Majelis Hakim. Tuntutan jaksa yang dibalut dengan berbagai kejanggalan di atas tidak tepat dijadikan satu-satunya rujukan dalam menjatuhkan putusan. Hakim memiliki kebebasan dalam menentukan berat ringannya hukuman, termasuk menjatuhkan hukuman pidana melebihi tuntutan jaksa sepanjang untuk memenuhi rasa keadilan masyarakat.
Hakim diharapkan mampu melihat kasus ini secara keseluruhan, mempertimbangkan secara obyektif dan menjatuhkan putusan yang seadil-adilnya tidak hanya bagi korban tetapi juga bagi rasa keadilan masyarakat.
14 Juni 2020
Pusat Kajian Anti (PUKAT) Korupsi
Fakultas Hukum, Universitas Gadjah Mada
Narahubung:
0856 4341 8232 (Agung Nugroho)
0812 1577 5644 (Yuris Reza K)
Unduh rilis lengkapnya pada tautan di bawah ini:
Press Release Pukat UGM_ Catatan Merah Tuntutan Jaksa pada Kasus Novel Baswedan