Oleh
Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
BELUM lama ini, Mahkamah Konstitusi membuat putusan yang cukup aneh perihal pemilu serentak. Dalam putusan itu, salah satu yang mendapatkan perhatian besar adalah perihal pemilu serentak yang dijadikan pada 2019 karena menurut MK tidaklah tepat secara waktu untuk dilakukan pada 2014 berhubung waktu persiapan mengadakan pemilu yang sudah sangat mepet. Hal yang kemudian mendapatkan sorotan tajam karena mepetnya waktu sesungguhnya diciptakan sendiri oleh MK. Dengan menunda pembacaan putusan hingga lebih dari delapan bulan, putusan itu sendiri tiba-tiba menjadi hambar dan kehilangan makna.
Apalagi MK mengeluarkan surat penjelasan soal agenda persidangan yang alih-alih menjelaskan, sebaliknya malah semakin membingungkan. MK mengaku telah mengambil kesepakatan soal pemilu serentak pada 26 Maret 2013, tetapi kemudian masih membicarakan perihal ambang batas (threshold) kandidat capres. Hal yang sangat mengherankan mengingat dalam penalaran hukum yang wajar ketika memutuskan menyerentakkan pemilu berarti dengan sendirinya menghilangkan kemungkinan adanya ambang batas. Artinya, sulit membayangkan ambang batas seperti apa yang dibicarakan MK sehingga memakan waktu berbulan-bulan.
Beberapa keanehan
Belum kering ludah dan tinta untuk membicarakan keanehan tersebut, MK kembali mengeluarkan putusan yang aneh, bahkan dapat dikesankan ajaib, yakni melalui Putusan MK Nomor 1-2/PUU-XII/2014 perihal Pengujian UU Nomor 4 Tahun 2014 tentang Penetapan Perppu Nomor 1 Tahun 2013 yang mengubah beberapa ketentuan UU No 24/2003 tentang Mahkamah Konstitusi (bisa disebut UU Penyelamatan MK).
Keanehan terasa karena MK membuat beberapa pendapat hukum yang kelihatannya hanya menjadi teori pembenar atas keinginan MK untuk tidak diawasi. Ini yang membuat mudah untuk mencurigai, jangan-jangan putusan dibuat hanya berdasarkan basis motif kepentingan.
Salah satu keanehannya perihal waktu yang dibutuhkan MK untuk memutus perkara ini. Terkait putusan mengenai pemilu serentak, MK perlu lebih dari setahun (tepatnya satu tahun dan 13 hari) untuk menyidangkannya, sedangkan untuk kasus ini MK hanya perlu waktu satu bulan (tepatnya 37 hari). Tentu saja mudah bagi MK untuk berdalih bahwa ini hanya soal panjang waktu pembahasan pengujian UU. Tetapi, ini akan menyisakan pertanyaan susulan yang akan sulit dijawab oleh MK perihal konsentrasi berlebih yang dituangkan MK untuk UU ini dibandingkan soal pemilu serentak.
Dari putusan ini, kita tidak hanya melihat inkonsistensi MK dalam menggunakan jadwal waktu membuat putusan, tetapi juga adanya masalah substantif.
Pertama, MK seakan lupa bahwa ia punya garis demarkasi untuk tabu membicarakan bagian tertentu dari UU ini. Bahwa ada problem hukum ketika presiden mengeluarkan perppu—khususnya terkait alasan kegentingan yang memaksa— memang jadi hal yang diperdebatkan. Tetapi, MK sesungguhnya tidak bisa melupakan bahwa yang dia uji bukan lagi dalam bentuk perppu, melainkan dalam bentuk UU. Konstitusi menggariskan bahwa subyektivitas presiden sesungguhnya telah diobyektivikasi oleh DPR dalam bentuk persetujuan DPR sehingga berujung pada penetapan perppu menjadi UU.
Kedua, MK membuat banyak penalaran yang terkesan dangkal. Misalnya, ketika MK membangun argumen hukum untuk membenarkan penolakannya terhadap kewajiban calon hakim konstitusi untuk berhenti dari parpol sekurang-kurangnya tujuh tahun sebelum dicalonkan sebagai hakim konstitusi. Argumen MK: adalah keliru mengatakan parpol berarti koruptif berdasarkan stigma yang dibuat masyarakat. Melarang parpol sama saja dengan diskriminasi yang dilarang konstitusi.
Pandangan ini aneh. Terlalu naif menyamakan parpol dekat dengan korupsi. Hal paling esensial melarang parpol masuk ke MK adalah keinginan untuk melakukan sterilisasi MK dari kemungkinan konflik kepentingan. Sesuatu yang dilakukan dalam rangka menjaga marwah dan wibawa MK dengan meniadakan kemungkinan serangan orang terkait konflik kepentingan hakim konstitusi yang berasal dari parpol tertentu. Jadi, sifatnya di sini adalah preventif. Sejak awal harus ada larangan orang yang memiliki kemungkinan konflik kepentingan menjadi bagian dari pengambil kebijakan.
Hal yang sebenarnya tidak aneh karena MK pernah membangun logikanya secara sangat menarik di Putusan MK No 81/PUU-IX/2011. MK memberikan makna atas pasal tentang frasa ”mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik… pada saat mendaftar sebagai calon” dengan menafsirkan itu harus dimaknai sebagai mengundurkan diri sekurang-kurangnya lima tahun dari keanggotaan parpol saat mendaftar menjadi anggota KPU, Bawaslu, ataupun DKPP.
Di sini, MK terlihat membangun basis argumentasi dalam konsep menghindari benturan kepentingan. Dalam penalaran, ”pemain” tidaklah boleh menjadi ”wasit”. Seorang pemain, haruslah pensiun sekurang-kurangnya lima tahun sebelum menjadi wasit. Nalar ini tiba-tiba alpa dari MK dalam putusan soal UU yang menetapkan perppu soal penyelamatan MK. Beberapa hakim, yang jadi hakim ketika memutus parpol tidak boleh memasuki penyelenggara pemilu, menjilat ludah sendiri ketika mengatakan bahwa MK yang akan menyidangkan sengketa hasil pemilu dapat dimasuki oleh parpol.
Ketiga, hal yang penting bagaimana MK menempatkan diri berhadapan dengan UU ini. Jika mau jujur, teori dan perspektif dunia hukum menyediakan semua analisis untuk membenarkan suatu pasal atau malah menyalahkan suatu pasal. Artinya, sesungguhnya tersedia banyak perspektif untuk mendukung suatu aturan atau malah tidak mendukungnya. Di sini, konteks sering kali menjadi penting untuk dipertimbangkan. E Whinney (1954) menyatakan, salah satu hal penting adalah pemahaman akan konteks mengapa UU itu dikeluarkan. Bruce Ackerman (1991) mengatakan, jika hanya berharap pada penafsiran dari cognitive talent sembilan hakim konstitusi, ini akan menempatkan konstitusionalisme kita jauh dari kepentingan publik yang seharusnya dijaga oleh konstitusi publik.
Seleksi hakim konstitusi
Para hakim MK seharusnya ingat pemihakan akan makna sesungguhnya penting. Terlepas dari adanya cacat bawaan dalam UU No 4/2014, ada keinginan luhur untuk memperbaiki keterpurukan MK. MK jangan lupa, ia memiliki problem Akil Mochtar karena kualitas proses seleksi hakim konstitusi yang tidak disertai koridor yang berarti dan pas. MK juga tidak bisa menutup diri dari putusan PTUN yang dengan jelas mengungkapkan adanya kekeliruan tata cara seleksi hakim konstitusi.
Melalui cara MK memperlakukan UU No 4/2014, mudah menangkap kesan alergi MK terhadap pengawasan dan perbaikan proses seleksi hakim MK. Padahal, itulah esensi UU No 4/2014. Sikap tunakonteks ini sungguh mengherankan bagi MK yang sering mengagungkan keadilan substantif. Jangan salahkan publik yang mengatakan, seperti di pemilu serentak, putusan soal penyelamatan MK juga lahir dari nalar kepentingan, bukan logika hukum.
Artikel ini pernah diterbitkan Harian Kompas pada 15 Februari 2014