Adanya problem regulasi dalam perundang-undangan menyebabkan penghitungan kerugian keuangan Negara akibat tindak pidana korupsi pada sektor-sektor tertentu menjadi belum maksimal. Hal inilah yang melatarbelakangi PUKAT FH UGM mengadakan Diseminasi dan Diskusi Publik dengan Tema “Penghitungan Kerugian Keuangan Negara” pada Selasa (8/12/2020) secara daring. Diskusi ini selain diisi oleh Tim Peneliti dari PUKAT UGM yaitu Oce Madril dan Agung Nugroho, juga turut menghadirkan beberapa akademisi seperti Prof. Dr. Bambang Hero S.,M.Agr. (Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB); Prof. Dr. Pujiyono, S.H., M.Hum. (Guru Besar Fakultas Hukum UNDIP); Dr. W. Riawan Tjandra, S.H., M.Hum. (Pakar Hukum Administrasi Negara UAJY Yogyakarta).
Oce Madril mengatakan bahwa kerugian keuangan negara di sektor-sektor seperti lingkungan, kelautan, dan sebagainya harus memiliki regulasi yang jelas dan sinkron. Oce Madril juga mengungkapkan bahwa Tim Peneliti mendiskusikan 3 hal dalam Penelitiannya. 3 hal tersebut adalah konsep kerugian Negara, mekanisme penghitungan kerugian keuangan Negara, dan otoritasi pihak yang berwenang untuk menghitung kerugian keuangan Negara. Mengenai mekanisme, Oce menambahkan bahwa hingga saat ini masih terdapat perdebatan antara metode yang digunakan oleh akademisi, BPK, akuntan, dan penegak hukum. “Mereka memiliki mekanisme sendiri-sendiri untuk menghitung itu, dengan perspektif yang berbeda-beda, sepanjang dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan atau kebijakan”, tambahnya.
Sementara itu, Agung Nugroho yang juga merupakan Tim Peneliti PUKAT menambahkan bahwa sebenarnya MK telah membuka kemungkinan penghitungan bisa dilakukan oleh lembaga, penegak hukum dan non-pemerintah (ahli), sepanjang diterima oleh majelis hakim. Agung juga mengatakan bahwa UU Tindak Pidana Korupsi saat ini belum mendefinisikan kerugian keuangan Negara secara jelas. Ia mencontohkan dalam Pasal 32 dimana terdapat norma yang mengatur suatu keadaan kerugian keuangan Negara secara nyata dan pasti. “kata dapat sebelum frasa kerugian keuangan Negara tidak menentukan akibat kerugian keuangan Negara menjadi penekanan dari tindak pidana korupsi”, paparnya.
Kemudian, Riawan Tjandra dalam paparannya menyinggung mengenai Putusan MK yang membahas mengenai kewenangan PDTT (Pemeriksaan Dengan Tujuan Tertentu) yang dimiliki oleh Badan Pemeriksa Keuangan(BPK). Menurutnya MK tidak cukup tegas dalam berpendapat mengenai legal reasoning kewenangan PDTT. “Hanya norma mengenai PDTT yang merupakan satu-satunya pintu masuk untuk menelusuri dugaan kerugian keuangan negara”, paparnya. Ia juga menyinggung Perma Nomor 1/2020 yang membuat klasifikasi bobot pemidanaan yang disesuaikan dengan jumlah kerugian Negara. Menurutnya ini cukup bertentangan dengan pola di Kejaksaan dimana range kerugian keuangan Negara ini sudah tidak dipakai lagi. Mengenai aset, Riawan memaparkan ada 7 hal yang harus dicermati yaitu inventarisasi aset, perencanaan aset, legal audit, penilaian aset, optimalisasi aset, sistem informasi manajemen aset dalam pengawasan dan pengendalian aset, dan relasi dengan strategi manajemen.
Selanjutnya, Bambang Hero menerangkan bahwa Pengembalian aset lintas batas memerlukan kerjasama berbagai instansi secara terintegrasi. Guru Besar IPB ini mengatakan bahwa saat ini Undang-Undang yang mendukung pengembalian aset belum digunakan secara maksimal. Hal ini menyebabkan proses pelacakan, pengamanan, dan proses-proses lainnya belum berjalan dengan baik. Ia juga memaparkan beberapa permasalahan terkait aset yang mana pengelolaannya belum maksimal, barang sitaan tidak terawat, serta penjualan aset yang belum optimal. Padahal di saat yang sama, lingkungan semakin lama semakin rusak.
Sesi pemaparan dilanjutkan dengan paparan Pujiyono yang juga merupakan dosen di Fakultas Hukum UNDIP. Ia mengatakan bahwa korupsi tidak ada habisnya, semakin ditekan semakin meluas. Mengenai korupsi di sektor sumber daya alam (SDA), ia juga mengungkapkan pemberitaan mengenai korupsi di sektor ini masih sepi dibanding kerugian berupa uang, padahal kerugiannya juga besar. Hal ini lantaran ketika alam rusak, maka akan berdampak luar biasa bagi masyarakat secara luas. Tindakan korupsi di sektor SDA tidak hanya merugikan negara tapi juga menghambat pembangunan, sehingga harus ditangani secara luar biasa sebagai sebuah extraordinary crime.
Penulis: Sadam Afian Richwanudin