oleh : Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
MAHKAMAH Agung (MA) akhirnya merestui pemakzulan terhadap Bupati Garut Aceng Fikri. Lewat putusannya, MA membenarkan usul dan pendapat DPRD yang menyatakan bahwa sang bupati telah melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah. Yakni, menabrak ketentuan hukum UU Nomor 32/2004 tentang Pemerintahan Daerah (UU Pemda) dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
Putusan ini bersifat final. Artinya, tidak ada upaya hukum lain yang bisa ditempuh untuk melawan putusan MA tersebut. Suka atau tidak suka, putu-san MA ini harus diterima dan dilaksanakan. Walaupun kuasa hukum Aceng berencana melayangkan gugatan senilai Rp 5 triliun kepada pemerintah, gugatan itu pun tidak akan menghalangi pelaksanaan putusan MA.
Publik tentu masih ingat awal mula kasus ini. Kontroversi bermula dari persoalan nikah kilat sang bupati dan berbagai pernyataan “nyeleneh” yang mengundang kritik publik. Luasnya kritik publik dan derasnya desakan masyarakat membuat DPRD bersikap yang berujung pada proses pemakzulan.
Pertimbangan Hukum dan Politik
Ada perbedaan mendasar terkait proses pemakzulan kepala daerah pasca berlakunya UU Pemda yang baru. Sebelumnya, pertimbangan politik menjadi faktor dominan. Kewenangan sepenuhnya ada di tangan DPRD. Alasan pemakzulan pun sangat politis. Biasanya terkait dengan penolakan terhadap laporan pertanggungjawaban kepala daerah atau krisis kepercayaan terhadap kepala daerah.
Sementara, UU Pemda yang baru menekankan pada aspek pertimbangan hukum sebagai syarat memakzulkan kepala daerah. Seorang kepala daerah hanya dapat diberhentikan jika melanggar hukum. Prosedur yang ditempuh kombinasi antara prosedur hukum melalui MA dan prosedur politik melalui DPRD.
Sebagaimana diatur dalam pasal 29 UU Pemda dan PP Nomor 6/2005 tentang Pemilihan, Pengesahan Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah bahwa ada 6 (enam) alasan pemberhentian kepala daerah. Yaitu, berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat baru, tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan, tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, tidak melaksanakan kewajiban kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah, dan melanggar larangan bagi kepala daerah dan/atau wakil kepala daerah.
Di antara enam alasan di atas, hanya dua alasan yang dapat digunakan DPRD untuk memakzulkan kepala daerah. Yakni, jika kepala daerah melanggar sumpah/janji jabatan dan tidak melaksanakan kewajiban.
Terkait dengan kasus Bupati Aceng, dia dinyatakan telah melanggar sumpah/janji jabatan. Pasal 110 UU Pemda menjelaskan, sumpah jabatan seorang kepala daerah itu antara lain berisi tentang ketaatan menjalankan segala UU de¬ngan selurus-lurusnya. Poin inilah yang menurut DPRD dilanggar karena Aceng melanggar UU Perkawinan. Inilah yang dijadikan pintu masuk pemakzulan.
Boleh jadi ada yang menganggap alasan hukum pemakzulan Aceng sangat lemah. Namun, putusan DPRD tidak bisa dilepaskan dari faktor sosial politik. Realitas sosial politik masyarakat menghendaki Bupati Aceng dimakzulkan.
Tindak Lanjut
Dengan keluarnya putusan MA, langkah hukum sudah berakhir. Langkah berikutnya masuk pada proses politik. DPRD harus segera menggelar rapat paripurna yang sekurang-kurangnya dihadiri 3/4 (tiga per empat) dari jumlah anggota DPRD dan putusan diambil, dengan persetujuan sekurang-kurangnya 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota DPRD yang hadir untuk memutuskan usul pemberhentian kepala daerah kepada presiden. Kemudian, presiden wajib memproses usul pemberhentian tersebut paling lambat 30 (tiga puluh) hari sejak DPRD menyampaikan usul tersebut.
Proses politik di sidang paripurna DPRD lah yang akan menentukan nasib Bupati Aceng. Pada tahap ini, segala kemungkinan masih bisa terjadi. Meski MA telah menyatakan Bupati Aceng melanggar sumpah janji jabatan, bisa saja proses politik di DPRD memutuskan untuk tidak mencopot Aceng. Tetapi, tampaknya DPRD tidak akan berani mengambil langkah ekstrem tersebut. Alasannya, DPRD bisa dianggap tidak konsisten dan masuk angin, sehingga bisa menjadi sasaran protes publik.
Karena itu, penting untuk mengawal proses pemakzulan ini. Hal ini sekaligus akan menjadi preseden baik bagi penye¬lengaraan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Kasus yang menimpa Bupati Aceng Fikri memberikan pelajaran penting bagi pejabat negara. Bahwa seorang pejabat negara tidak bisa sewenang-wenang dalam melakukan tugasnya. Walaupun kepala daerah dipilih langsung oleh rakyatnya, bukan berarti mereka bisa semena-mena melakukan perbuatan tercela dan melanggar hukum. Itulah pesan kuatnya.
artikel ini pernah diterbitkan oleh JAWA POS pada 28 Januari 2013