Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
GALAILA Karen Agustiawan menyatakan mundur dari kursinya sebagai Direktur Utama PT Pertamina, perusahaan negara yang mengurus soal minyak, gas, serta energi baru dan terbarukan, menjelang transisi pemerintahan. Meski alot pada awalnya, akhirnya perusahaan minyak negara menyetujui rencana resign perempuan kelahiran Bandung, 19 Oktober 1958 itu. Dari laman resmi perusahaan diketahui, Karen mengajukan surat pengunduran diri sejak 13 Agustus 2014. Akhirnya, rapat umum pemegang saham mempersilakannya untuk tak lagi memegang posisi dirut terhitung mulai 1 Oktober 2014.
Perusahaan juga menyampaikan alasan pengunduran diri itu lebih bersifat pribadi dan demi regenerasi kepemimpinan pada korporasi yang berdiri 10 Desember 1957. Namun, beberapa sumber mengungkap bahwa keputusan Karen tak melulu didasarkan sikap pribadi dan regenerasi kepemimpinan, tapi soal eksistensi tekanan politik dalam pengelolaan minyak dan gas. Hal itu dinilai rasional mengingat prestasi Karen dalam mengatur dan merawat cukup menyakinkan. Contoh, dia berhasil mengakuisisi aset Conoco Phillips di Aljazair dan membeli ladang minyak ExxonMobil di Irak. Kemudian, pendapatan fiskal Pertamina naik dalam setahun belakangan. Total pendapatan pada 2013 sebesar 71,1 miliar dolar AS dari sebelumnya 70,9 miliar dolar pada 2012. Laba bersih perusahaan tercatat mengalami kenaikan sekitar 11% dari 2,77 miliar dolar AS pada 2012 menjadi 3,07 miliar dolar pada 2013. Bagaimana pencapaian yang gemilang tersebut bisa menuntun dia pada pilihan keluar dari perusahaan?
Dengan melihat peningkatan pendapatan tersebut, wajar masyarakat mengira ada yang tak beres di internal Pertamina. Kejahatan dan korupsi di sektor minyak dan gas sebenarnya telah lama diendus. Dari obrolan di Seputar Ibu Kota misalnya, ada fenomena ‘minyak kencing’ dalam pendistribusiannya. Jalur penyaluran minyak dari Jawa ke Kalimantan telah dikuasai oleh sejumlah cukong tertentu. Akibatnya, jumlah liter minyak yang dikirim mengalami penyusutan ketika sudah sampai di daerah tujuan.
Walau ada topik demikian, sampai sekarang fenomena ‘minyak kencing’ sangat susah dibuktikan. Boleh jadi, para cukong itulah yang ingin dilawan oleh Karen. Dari obrolan juga diperoleh berita kalau para cukong telah menjalin kerja sama lancung dengan para pengambil kebijakan negara dan kekuatan politik yang ada di parlemen. Tujuan kongkalikong itu adalah untuk mengamankan ”pengelolaan” dan penyaluran minyak. Ada monopoli yang dibangun di luar ketentuan peraturan perundang- undangan. Dan kekuatan besar — yang dalam ”Tajuk Rencana” harian ini (20/8/14) disebut sebagai kekuasaan metapolitik— diduga membekinginya.
Integritas Perusahaan
Sikap Karen yang kukuh ingin menegakkan peraturan dan menjaga integritas perusahaan pernah dia paparkan ke publik tatkala menolak keras permintaan tunjangan hari raya (THR) dari anggota Komisi VII DPR. Bahkan dia tegaskan, tidak akan membiarkan badan usaha milik negara dijadikan sapi perah oleh siapa pun.
Karena hal itulah, ancaman pemecatan terhadapnya datang bertubi-tubi (SM, 28/1/14). Jangan-jangan, sekarang ini ancaman tersebut menuju terbukti. Andai para cukong yang ”bekerja sama” dengan kekuatan metapolitik benar-benar membuktikan ancamannya, seharusnya negara tak bisa hanya tinggal diam dan berpangku tangan. Negara harus bergerak melawannya. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sudah mulai memberi perhatian pada indikasi keberadaan jaringan korupsi di sektor energi dan sumber daya mineral. Kasus korupsi yang menjerat Rudi Rubiandini, mantan kepala SKK Migas yang menerima suap dari Simon Sanjaya, petinggi Kernel Oil Private Limited, adalah awal yang baik untuk membidik korupsi di bagian minyak dan gas. Sudah ada preseden bahwa pelaku korupsi di sektor minyak dan gas ternyata bisa ditangkap. Artinya, kekuatan metapolitik dan konglomerasi dalam sektor tersebut sebenarnya bisa dilawan. Lembaga antirasuah membuktikan hal itu.
Faktanya, saat ini sejumlah petinggi partai yang disangka menjadi pemeras SKK Migas mulai diperiksa. Sementara itu, satu menteri berkaitan dengan kasus tersebut juga sedang diselidiki secara serius. Ini yang harus ditiru oleh negara. Terakhir, pengunduran Karen harus mampu menjadi momentum untuk menegakkan integritas Pertamina sekaligus sebagai bentuk komitmen untuk tidak memberi ruang bagi konglomerasi dan kekuatan metapolitik busuk dalam pengelolaan dan pendistribusian minyak dan gas. Lagi pula, sesuai dengan amanat UUD 1945, minyak dan gas hanya ditujukan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat. Tentu, negara harus mewujudkan perintah tersebut.
artikel ini pernah diterbitkan oleh SUARA MERDEKA, pada 26 Agustus 2014