Oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Ketika terjadi prahara perselisihan Kepolisian Republik Indonesia (Polri) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), hampir semua mata berpaling ke arah Presiden Jokowi. Presiden di mana? Demikian pertanyaan publik yang ramai didorong di media sosial. Pertanyaan yang tentu wajar mengingat Presiden Jokowi adalah kepala negara dan kepala pemerintahan yang sah di negeri ini. Kontrol dan tanggung jawab atas pemerintah dan negara juga sebagian berada di pundaknya. Sesungguhnya, sikapPresiden Jokowi sudah sedikit tergambar dalam cara pandang beberapa menterinya yang kemudian nyaris tanpa koreksi sama sekali.
Menteri yang menjadi pembantu Presiden beberapa kali menyatakan pernyataan yang memberikan kesan bahwa Presiden tak akan mengambil langkah langsung, memberikan kesempatan kepada penegakan hukum, bahkan perkataan yang menyalahkan dukungan kepada KPK adalah bentuk kekanak-kanakan dan dilakukan oleh rakyat yang tak jelas. Dengan Presiden membiarkan berbagai ucapan ini, dapat dibaca bahwa Presiden sesungguhnya merestui ucapan-ucapan tersebut.
Pidato Ambigu
Tak hanya melalui para menterinya, Presiden Jokowi sendiri akhirnya menyampaikan pidatonya. Dua kali. Pertama tentu saja pada hari penangkapan Bambang Widjoyanto (BW). Kala itu, Presiden menyatakan bahwa tak boleh ada pergesekan antara Polri dan KPK. Hal yang tentu saja membingungkan karena seakan menghindari kasus konkret yang terjadi.
Seakanakan Polri dan KPK jangan bergesekan, padahal pada faktanya sudah terjadi perbenturan. Paling diingat, pidato tersebut sama sekali tidak menyentuh perkara yang ingin diselesaikan. Tak lama berselang, ada pidato kedua. Kali ini diimbuhi dengan mengenalkan tujuh orang yang katanya akan menjadi tim dalam penyelesaian kasus ini. Perkembangan terkini, tak lagi tujuh, tetapi sembilan orang.
Bahkan masih ada lagi kemungkinan berbagai tambahan lain. Sembari kemudian dia menjelaskan dan menegaskan jangan lagi ada kriminalisasi terhadap KPK maupun terhadap Polri. Atas dua pidato tersebut, satu hal yang sama adalah keduanya melahirkan ambigu. Posisi yang tidak jelas.
Pertama, pidato ambigu yang tak menjelaskan apa-apa. Posisi Presiden hanya menegaskan bahwa jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi. Tapi, dalam hal itu, siapa pun paham itu. Jangan ada gesekan dan jangan ada kriminalisasi adalah hal yang semua orang paham. Itu adalah pernyataan normatif yang senilai dengan pernyataan; “Ayo kita semua berbuat baik!” Siapa pun tahu akan hal tersebut.
Tapi tidak jelas, gesekan itu apa, siapa yang melaku-kan dan sebagainya. Begitu juga pernyataan soal kriminalisasi. Siapa atas siapa, dan berbagai pertanyaan lainnya hilang tak terjawab. Kedua, membentuk tim yang belum terlalu jelas. Pembentukan tim independen tentu adalah hal yang sangat menarik. Akan tetapi, tim ini sendiri masih akan bergantung pada sekian banyak faktor.
Salah satunya adalah formalisasi tim. Tanpa adanya keputusan Presiden yang mendasari pembentukannya, maka tetap dikatakan mustahil tim ini diharapkan bisa bekerja. Keppres adalah landasan hidup untuk sebuah kerja tim. Landasan individual dan konkret yang akan menjadi sandaran bagi para anggota tim untuk melakukan sesuatu yang seharusnya.
Sekali lagi, tanpa aturan dasar tentu mustahil dapat dikatakan dapat bekerja dengan benar. Selain dasar hukum, faktor yang paling penting adalah isi dari dasar hukum tersebut. Jika dasar hukum ini berisi hal-hal yang menjelaskan keniscayaan sebuah tim dibentuk, tentu menjadi hal yang menarik. Akan tetapi jika tidak, sangat percuma membentuk tim. Artinya, pertanyaan mendasar jika tim ini dibentuk adalah apa kewenangannya?
Sejauh mana daya jelajahnya? Apa saja yang menjadi ranah yang akan dikerjakannya? Tanpa daya jelajah yang kuat, kemungkinan solutif untuk menyelesaikan perkara menjadi mengecil. Makanya, jika kemudian tim ini memiliki kewenangan untuk melakukan pengawasan penegakan hukum, bahkan memiliki hal luar biasa semisal melakukan verifikasi terhadap dugaan kriminalisasi dan penangkapan dan penahanan tidak wajar tentu akan menjadi menarik.
Selain itu, kerja-kerja yang membuktikan adanya rekayasa kasus akan sangat berfungsi menyelesaikan. Termasuk jika rekomendasi tim yang dikeluarkan nanti punya daya mengikat yang tidak hanya sekedar rekomendasi tanpa ikatan. Artinya, pada faktor ini, andai timnya dibuat kuat dan taktis, akan sangat kuat digunakan untuk mendorong penyelesaian perkara.
Selain itu, komposisi orang yang ada di tim, serta tata cara kerja mereka juga akan sangat menentukan kedalaman hasil pemeriksaan yang dapat berujung pada kesimpulan yang memadai dan solutif. Sayangnya, hingga tulisan ini dibuat, tim ini belum kunjung diformalisasi.
Belum ada kepastian akan hadirnya dan berbagai pernik-pernik menentukan seperti yang dituliskan di atas. Makanya, dalam hal ini, Presiden Jokowi masih menawarkan rencana yang masih jauh dari hitungan solutif atau tidaknya hasil yang akan dicapai oleh tim.
Harga Ketakjelasan
Salah satu yang jadi faktor kuat dalam dugaan ketakjelasan sikap Presiden ini tentunya patut diduga adalah sumbangsih dari beban politik yang terlalu kuat mendera Presiden Jokowi. Padahal, sebagai pemilik suara dengan dukungan terbanyak pada pemilihan umum lalu, Presiden Jokowi harusnya jauh lebih pede dalam bertindak.
Sekadar mengingatkan, posisi yang menjadi prahara ini juga diakibatkan ketakjelasan Presiden dalam menentukan posisi kepala Polri. Ketidakcermatan Presiden Jokowi dalam memilih kapolri, sedikit-banyak, telah mengakibatkan posisi mengunci saat ini. Kelambanan sikap, telah memberikan implikasi yang tidak kecil.
Dan inilah harga besar yang harus dibayarkan. Keberpihakan Jokowi pada kepentingan partai, telah memberikan label harga yang teramat tinggi, sangat mahal. Dapat dibayangkan, andai sedari awal Presiden Jokowi bersikap tegas dengan usulan pengajuan Budi Gunawan yang lebih mendapatkan restu politik dibanding restu publik, maka sebagian besar kisruh yang ada sekarang ini tidak akan terjadi.
Faktor penyebab dari berbagai posisi yang membuat saling mengunci ini menjadi hilang. Lagi-lagi, akibatnya adalah harga mahal dan kemudian posisi yang sudah semakin sulit. Jika dikembalikan ke berbagai pidato dan janji kampanye yang dilakukan oleh Presiden Jokowi ketika menjadi kontestanpemiluuntukmemenangkan hati rakyat Indonesia, rasanya, Jokowi telah terlampau laju meninggalkan janji tersebut.
Belum kering sesungguhnya ludah yang diucapkan Jokowi ketika dengan lantang mengatakan bahwa jika ia terpilih menjadi Presiden Republik Indonesia, ia hanya akan bekerja untuk dan atas nama rakyat. Hanya akan tunduk pada kehendak konstitusi dan kehendak rakyat Indonesia. Tidak ada yang selain itu.
Dalam konteks inilah lecutan peringatan dan terapi kejut mesti diberikankepada PresidenJokowi untuk segera siuman dalam kerja yang sudah menjauh dari suara konstitusi dan kehendak rakyat secara hukum dan moral. Ia harus mengembalikan esensi awal dalam tunduk pada kata rakyat dan bukan kata partai politik. Dan ketika mampu berdiri tegak di hadapan partai politik dan mengatakan lantang akan keinginan untuk mengikuti kehendak rakyat, saya yakin, kejelasan tindakan akan kembali hadir.
Kejelasan yang akan menyelesaikan perkara. Bentuk tim independen yang akan menyelesaikan perkaraperkara kriminalisasi ini. Lalu jalankan rekomendasinya agar penyelesaiannya menjadimudah. Dan dalam hal itu juga segera tegakkan moralitas konstitusi dengan mencari kapolri yang bukan tersangka kasus korupsi.
Serangkaian kerja yang sebenarnya bukan hanya berguna untuk rakyat Indonesia dan masa depan Indonesia, tetapi juga untuk diri dan masa depan Presiden Jokowi sebagai kepala negara dan kepala pemerintahan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN SINDO, pada 28 Januari 2015