Omnibus Law RUU Cipta Kerja telah disahkan dalam rapat Paripurna DPR. Selama ini, proses pembentukan RUU Cipta Kerja berlangsung cepat, tertutup, dan minim partisipasi publik. DPR dan pemerintah tetap melanjutkan pembahasan RUU kontroversial ini di tengah kondisi masyarakat yang tengah berjuang di tengah pandemi Covid-19.
Omnibus Law RUU Cipta Kerja memiliki kecacatan baik secara formil maupun materiil. PUKAT UGM telah mengkaji RUU Cipta Kerja dilihat dari kaca mata isu korupsi, pemerintahan, dan kaidah formil pembentukan Peraturan Perundang-Undangan. Berikut catatan PUKAT UGM terhadap RUU Cipta Kerja:
- RUU Cipta Kerja dan State Capture
Jika merujuk pada asas-asas formal yang digunakan sebagai pedoman dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, RUU ini tidak memenuhi asas keterbukaan (Pasal 5 UU 12/2011 jo UU Nomor 15/2019). Dalam pembentukan peraturan perundang-undangan, prinsip keterbukaan dimulai sejak tahap perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan, hingga pengundangan. Sementara pada penyusunan RUU Cipta Kerja ini, perkembangan draft pembahasan RUU Cipta Kerja tidak dapat diakses publik. Selain itu, rapat-rapat pembahasan RUU Cipta Kerja sering kali berlangsung tertutup.
Pada sisi lain, proses perencanaan dan penyusunan RUU Cipta Kerja kental dengan partisipasi dan perlibatan pengusaha. Hal ini membuka celah masuknya kepentingan yang hanya menguntungkan kelompok tertentu, yakni pengusaha. Fenomena ini erat dengan state capture yang oleh Joel Hellman dan Daniel Kaufmann (2001) didefinisikan sebagai “so-called oligarchs manipulating policy formation and even shaping the emerging rules of the game to their own, very substantial advantage.”
Rilis selengkapnya dapat diakses pada tautan berikut: