Kamis, (16/07) Pukat UGM menggelar Diskusi Seputar Korupsi (DIKSI) #7: RUU Cipta Kerja: “Problem Legislasi & Ancaman Korupsi Kebijakan”. Diskusi ini diselenggarakan daring via aplikasi zoom dan disiarkan langsung melalui channel Youtube PUKAT UGM. Narasumber diskusi ini adalah Oce Madril (Direktur PUKAT FH UGM), Bayu Dwi Anggono (Direktur Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi Universitas Jember), Feri Amsari (Direktur Pusat Studi Konstitusi Universitas Andalas), Gita Putri Damayana (Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia), dan Danang Widoyoko (Sekretaris Jenderal Transparency International Indonesia).
Diskusi ini dimulai dengan pemantik dari Danang Widoyoko yang menjelaskan ancaman korupsi kebijakan dalam RUU Cipta Kerja. Danang menjelaskan bahwa iklim investasi di Indonesia sebetulnya tidak terlalu buruk, malah ada peningkatan dari tahun ke tahun. Danang pun menggarisbawahi bahwa permasalahan dalam berinvestasi di Indonesia adalah korupsi yang terjadi pada lembaga peradilan dan korupsi politik. Menurutnya, RUU Cipta Kerja justru berpotensi menurunkan akuntabilitas praktik bisnis dan investasi yang dapat menarik modal global masuk ke Indonesia.
Diskusi dilanjutkan dengan pemaparan pembahasan dari Gitra Putri Damayana. Gita memulai diskusi dengan membahas banyaknya jumlah regulasi yang ada di Indonesia yang saling tumpang tindih secara vertikal maupun horizontal. Pusat Studi Hukum dan Kebijakan menyebutnya dengan hiper-regulasi. Gita juga menjelaskan bahwa tujuan simplifikasi peraturan perundangan yang menjadi latar belakang RUU Cipta Kerja tidak sejalan dengan kenyataannya. Justru, dengan disahkannya RUU Cipta Kerja ini akan menambahkan 493 Peraturan Pemerintah, 19 Peraturan Presiden, dan 4 Peraturan Daerah.
Pemaparan berikutnya disampaikan oleh Oce Madril. Oce menjelaskan pemusatan kekuasaan ke presiden dari daerah yang banyak ditarik oleh RUU Cipta Kerja ini. Secara konseptual, Oce menjelaskan bahwa penarikan kekuasaan ke pusat ini tepat jika suatu negara menganut konsep negara kesatuan dan presidensial. Namun, secara praktik, dapat menyebabkan president heavy, atau bahasa lainnya adalah pemberatan wewenang pada presiden. Oce pun menerangkan bahwa RUU Cipta Kerja ini seakan-akan adalah ‘cek kosong’, karena banyak norma dalam pasal-pasal di RUU ini yang berimplikasi luas dan mendelegasikan peraturan pelaksana dalam bentuk peraturan pemerintah dan peraturan presiden.
Selanjutnya, Bayu Dwi Anggono memaparkan materi berkaitan dengan kaidah tertib pembentukan perundang-undangan secara formil dan materil. Kaidah tertib tersebut kemudian dikaitkan dengan RUU Cipta Kerja. Bayu menjelaskan bahwa permasalahan dalam RUU Cipta Kerja bukan hanya masalah dalam teknik penyusunan peraturan tersebut, namun juga landasan filosofis dari masing-masing undang-undang yang dicabut maupun direvisi oleh RUU ini. Rancangan ini memiliki landasan filosofis dalam memudahkan investasi, dan berbahaya jika landasan ini dijadikan patokan dalam perubahan beberapa pasal dalam, misalnya, UU Perairan, UU Kehutanan, dan UU Ketenagakerjaan.
Pemaparan terakhir disampaikan oleh Feri Amsari dengan materi yang berjudul “Omnibus Law Bahaya Laten terhadap Nilai-Nilai Pancasila”. Feri menyampaikan bahwa teknik pembentukan perundang-undangan dengan omnibus law hanya dapat digunakan pada topik yang sama. Hal ini selaras dengan praktik omnibus law di negara lain seperti Michigan dan Kanada. Selain itu, Feri pun menyampaikan bahwa konsep omnibus law dikenal sebagai UU yang anti demokrasi dan cenderung mengabaikan suara publik. Model omnibus law sejenis yang sedang didiskusikan di DPR, memang tidak diakui di UU No. 12 Tahun 2011. “Kalau dianggap salah prosedur, ya memang benar. Tidak mungkin bisa disahkan kalau prosedurnya saja bermasalah”, ungkapnya.
Penulis: Erma Nuzulia S
Download materi:
Feri amsari_presentasi omnibus