Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Meski mendapat tentangan masyarakat luas, DPR secara institusional masih ngotot mengajukan rencana kegiatan tahun 2016 agar dibiayai oleh dana aspirasi yang mencapai Rp 11,2 triliun (Koran Tempo, 2 Juli 2015). Tahun depan, jika betul dana triliunan rupiah itu jadi dicairkan, anggota DPR—sebagai bagian dari pelaksana kekuasaan legislatif—akan memerankan karakter tambahan: pelaksana kekuasaan eksekutif. Persoalannya, apakah supplementary acting tersebut lazim adanya?
Literatur lawas hukum tata negara cukup mengenal dengan baik pemisahan atau pembagian kekuasaan negara. Kredo Trias Politica mengajarkan bahwa kekuasaan negara dipisah/dibagi menjadi tiga: legislatif, eksekutif, dan yudisial.
Kekuasaan legislatif, atas nama rakyat, memiliki kuasa untuk menyusun undang-undang. Selanjutnya, undang-undang yang disepakati, dijalankan oleh sebuah mesin besar birokrasi, di bawah kendali kekuasaan eksekutif. Apabila ada penyelewengan atas undang-undang, kekuasaan yudisial bakal turun tangan mengadili. Rangkaian peran kekuasaan ini secara bersama-sama membuat sistem yang mendasari bergeraknya sebuah negara. Sistem ini telah berjalan ratusan tahun.
Sekarang, sistem yang umurnya berabad-abad itu seperti digugat oleh sekelompok anggota Dewan Perwakilan Rakyat. Kira-kira kata mereka, “Berdasarkan undang-undang, kami berhak memerankan tugas sebagai pelaku kekuasaan eksekutif.” Rupanya, undang-undang yang dimaksud adalah Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014, yang menyebutkan, “Anggota DPR berhak mengusulkan dan memperjuangkan program pembangunan daerah pemilihan.” Ada anggaran negara yang harus dialirkan untuk usulan para wakil rakyat atas nama undang-undang.
Dana untuk usulan program pembangunan daerah pemilihan (UP2DP) bukan kali ini saja menuai kontroversi. Pada 2010, anggota Dewan juga mengajukan proposal serupa. Hanya, Pasal 78 UU Nomor 27 Tahun 2009, aturan hukum yang digantikan oleh UU Nomor 17 Tahun 2014, tak menyebutkan sama sekali hak anggota Dewan untuk membuat UP2DP. Sekadar informasi, UP2DP adalah norma baru bagi hak anggota Dewan yang muncul bersamaan dengan dua norma lainnya, yakni pengawasan dan sosialisasi undang-undang.
Artinya, UP2DP sebenarnya adalah norma yang terkesan “dipaksakan”. Hampir-hampir kurang ada penjelasan akademis yang mampu menguatkan eksistensinya. Pendek kata, jangan-jangan Pasal 80 huruf j UU Nomor 17 Tahun 2014 dipaksa lahir cuma untuk melegitimasi hasrat politik anggota Dewan, bukan murni untuk merepresentasikan kehendak rakyat. Setidaknya, ada dua kausanya.
Kausa pertama, kekuasaan legislatif berstatus sebagai pengawas kebijakan kekuasaan eksekutif. Maka tak mengherankan, misalnya, konstitusi memberi ruang yang cukup luas bagi DPR dalam Pasal 20A UUD 1945. DPR memiliki fungsi legislasi, anggaran, dan pengawasan. Selain itu, DPR dilengkapi dengan hak interpelasi, angket, dan menyatakan pendapat. Lembaga perwakilan rakyat memegang kekuasaan menginvestigasi kebijakan pemerintah yang dinilai menyimpang dari kehendak rakyat.
Ruang sangat istimewa yang melekat ke DPR bukan serta-merta turun dari langit, melainkan merupakan hasil kesepakatan politik yang mengkristal dalam hukum tertinggi: konstitusi. Di samping itu, belajar dari pengalaman, fungsi dan hak yang melekat ke tubuh DPR bertujuan mengangkat citra parlemen di era sebelumnya yang hanya dianggap sebagai stempel eksekutif. UUD 1945 menaikkan derajat kekuasaan legislatif sejajar dengan kekuasaan eksekutif.
Kausa kedua, karena Indonesia adalah negara kesatuan yang berbentuk republik, yang diterapkan adalah supremasi lembaga perwakilan pusat. C.F. Strong (2005)—yang dikutip banyak sarjana hukum tata negara—mengutarakan, ciri utama supremasi lembaga perwakilan pusat ialah tidak ada pembagian kedaulatan. Yang ada hanyalah pembagian kewenangan.
Makna supremasi parlemen pusat ada dua. Bahwa lembaga perwakilan hanya ada di pusat. Dan karena itu, makna kedua adalah parlemen harus sangat fokus menjadi pengawas bagi kekuasaan eksekutif, bukan ikut-ikutan mengerjakan tugas kekuasaan eksekutif. Konsep ikut membantu domain eksekutif melalui kewenangan UP2DP atau mengusulkan program yang dibiayai oleh dana aspirasi ditakutkan berpotensi menambah berat kinerja DPR yang membuatnya menjadi kurang fokus.
Akhirnya, dua kausa di atas secara implisit “melarang” pelaku kekuasaan legislatif beralih pos sebagai pelaksana kekuasaan eksekutif. Penting bagi DPR mereposisi kekuasaan legislatifnya.
Sebelum terpeleset dalam kubangan kekeliruan menahbiskan kedudukan kekuasaan legislatif, DPR kudu mengambil langkah reposisi sebagai berikut. Pertama, menghentikan gerakan ngotot meminta jatah dana aspirasi melalui UP2DP. Kedua, demi menghindari niatan yang sewaktu-waktu dapat muncul kembali, Pasal 80 huruf j—termasuk juga huruf k dan huruf l—UU Nomor 17 Tahun 2014 harus dihapus. Dengan demikian, tidak akan ada lagi celah godaan bagi segelintir oknum anggota Dewan yang kepingin mengumbar syahwat politiknya dengan mengorbankan kesucian kedudukan kekuasaan legislatif. Semoga.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 06 Juli 2015