Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) mendapat serangan. Kata serangan ini tak menggunakan tanda kutip. Artinya, serangan dalam arti yang sebenarnya. Tanpa basa-basi, Badan Reserse Kriminal Mabes Polri menangkap Bambang Widjojanto, pemimpin KPK, sesaat setelah mengantarkan anaknya ke sekolah, Jumat pagi (23/1/2015).
Padahal, belum berselang lama, sudah ada serangan dari Mabes Polri. Bukan satu, tapi dua sekaligus. Pra-peradilan atas kebijakan KPK diajukan karena Komisaris Jenderal Budi Gunawan ditetapkan sebagai tersangka korupsi dan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh pimpinan KPK.
Sekarang sedang terjadi lagi pentas Cicak versus Buaya jilid ketiga. Dan, eskalasinya semakin besar. Setidaknya ada tiga indikasinya. Pertama, konflik kelembagaan yang saat ini muncul dibawa dari konflik personal secara pribadi. Sejarah sudah lama mengajarkan.
Tengok saja kasus Anggodo Widjojo (2009) dan Djoko Susilo (2012). Koran Tempo (21/1), misalnya, memberikan informasi. Pada kasus Anggodo, dua anggota KPK waktu itu, Bibit Samad Rianto dan Chandra M. Hamzah, pernah dipersangkakan dalam kasus dugaan suap Rp 5,1 miliar. Hubungan Mabes Polri dan KPK hampir retak. Dugaan kasus tersebut ternyata abal-abal. Sebab, Presiden SBY membentuk Tim Delapan guna memeriksa kasus terkait. Hasilnya, pimpinan KPK tak terbukti terima duit haram dari Anggodo. Kasus selesai.
Pada kasus Djoko Susilo, Mabes Polri-melalui Polda Lampung dan Metro Jaya-seperti unjuk kekuatan ke KPK dengan dalih ingin menahan penyidiknya, Novel Baswedan. Suasana panas. Pemicunya, KPK keukeh memeriksa jenderal bintang dua atas dugaan korupsi pengadaan alat simulasi kemudi roda empat dan roda dua. Berdasarkan hasil pemeriksaan, mantan Kakorlantas itu terbukti melakukan korupsi.
Dari dua kasus spesifik tersebut, meski ada sistem (antibodi) kelembagaan antar-penegak hukum dalam menyelesaikan konflik antar-kelembagaan, kali ini eskalasinya sangat besar. Pernyataan Presiden pun tak memberi ketenangan. Hanya normatif belaka. Konflik yang dipicu urusan personal tak boleh dibiarkan menghancurkan langkah pemberantasan korupsi.
Kedua, serangan ini kelihatannya buntut dari adonan politik. Bagaimana bisa? Hal ini dimulai dari langkah Presiden Jokowi menyodorkan nama Komisaris Jenderal Budi Gunawan sebagai calon tunggal Kapolri ke Komisi III DPR, lalu KPK menetapkannya sebagai tersangka. Namun, DPR tetap mengafirmasi mantan Kapolda Bali itu. Terakhir, Presiden menerbitkan keputusan untuk menunda pelantikan-bukan mencabut-calon Kapolri.
Jika dicermati dengan saksama, semua alur di atas-kecuali penetapan tersangka-adalah alur politik. Ditambah lagi dengan ancaman DPR yang ingin menginterplasi Presiden bila gagal melantik Budi Gunawan. Semua tampak seperti adonan politik. Drama Cicak versus Buaya saat ini lebih besar karena mengikutsertakan kekuasaan politik di dalamnya. Tak hanya urusan hukum seperti drama dua dan empat tahun lalu.
Ketiga, seperti terdapat friksi dalam tubuh Mabes Polri. Sempat muncul isu soal keberadaan mereka yang dianggap “pengkhianat” dalam tubuh Trunojoyo. Kemudian, muncul isu tandingan bahwa yang menuduh “pengkhianat” itu adalah pengkhianat sebenarnya. Beberapa aib seakan membuka jendela dalam tubuh Polri bahwa sedang terjadi friksi yang sangat kuat di antara para jenderal. Ditambah dengan mutasi jenderal yang terkesan sangat mendadak, keadaan yang kurang harmonis semakin terasa.
Suasana tak bahagia dalam tubuh Mabes Polri dimanfaatkan oleh oknum tertentu untuk sekaligus memberi kode bahwa pilihan mengusik kekuasaan mahal harganya. Dengan menangkap Bambang Widjojanto, pada bagian ini, pesannya samar mengarah ke kejelasan. Pihak eksternal sekelas KPK saja bisa dihantam, apalagi internal, apalagi hanya perseorangan. Di samping itu, ada rasa politik dalam penangkapan komisioner KPK itu.
Tiga hal di atas menunjukkan bahwa potensi tumbuhnya benih Cicak versus Buaya kali ini sangat dahsyat. Benih ini tak bisa dibiarkan terlalu lama. Gerakan publik pemberantasan korupsi masih sangat kuat untuk mengubur lagi benih terkutuk itu. Lihat saja, rakyat berbondong-bondong datang ke Jalan Rasuna Said, berdiri di belakang pemberantasan korupsi. Mereka mengecam langkah keliru polisi dalam menangkap Bambang Widjojanto. Tidak hanya di Jakarta, di daerah seperti di Yogyakarta, rakyat tak tinggal diam. Rakyat melawan kriminalisasi yang ditujukan ke pemberantasan korupsi.
Terlepas dari itu, rakyat tetap berhak memiliki asa untuk mendapatkan penegak hukum, khususnya polisi, yang jujur dan berintegritas. Jenderal Hoegeng Iman Santoso mengajarkan, “Polisi adalah polisi, bukan politisi.” Polisi perlu tahu tentang politik, tapi tak harus ber(main) politik.
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 24 Januari 2015