oleh : Laras Susanti (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Korupsi menyebar bak virus ke setiap sendi kehidupan di negeri ini. Namun, tidak ada langkah kentara dalam pemberantasan korupsi.
Di tingkat pusat perselingkuhan eksekutif dan legislatif mirip opera sabun televisi. Mereka berselingkuh untuk saling berbagi persenan. Simak kasus korupsi wisma atlet SEA Games. Sekretaris Kementerian Pemuda dan Olahraga Wafid Muharam dan Manajer Pemasaran PT Duta Graha Mindo Rosalina Manulang telah terbukti bersalah dan divonis oleh pengadilan tipikor.
Kasus itu terus bergulir. Kini memasuki babak baru. Tak hanya Nazaruddin, politikus Partai Demokrat, yang ditetapkan sebagai tersangka. Rekan Nazaruddin, Angelina Sondakh, juga ditetapkan sebagai tersangka. Jalan terang membongkar kasus itu kian terbuka. Rosa berniat melaporkan seorang menteri yang ditengarai juga turut menikmati persenan.
Kasus korupsi wisma atlet SEA Games menunjukkan, pengadaan barang dan jasa rentan untuk disabotase pemburu persenan. Ini bukan hal baru. Berburu persenan jamak dilakukan partai politik. Sukses memasukkan kadernya di DPR adalah peluang. Sering kali bukan peluang untuk mengabdi kepada bangsa dan negara, melainkan peluang menghidupi partai politik.
Sejarah mencatat, sejumlah anggota DPR periode sebelumnya (2004-2009) terjerat kasus serupa. Sesuai catatan Kompas (29/2), Saleh Djasit (Fraksi Golkar), Al Amin Nasution (Fraksi PPP), dan Abdul Hadi Jamal (Fraksi PAN) adalah beberapa yang terjerat kasus korupsi.
Saleh Djasit terjerat di sektor pengadaan mobil pemadam kebakaran. Sektor alih fungsi hutan lindung menjerat Al Amin. Pada kasus pembangunan bandara dan pelabuhan kawasan Indonesia timur mengalir dana Rp 1 miliar kepada Abdul Hadi Jamal.
Tidak hanya pada tingkat pusat, sejumlah anggota DPRD pun berkomplot dengan pejabat daerah. Baru-baru ini anggota DPRD Provinsi DKI Jakarta diduga korupsi dalam proyek pengadaan alat komunikasi. Sejumlah kasus di atas menunjukkan janji-janji pemberantasan korupsi hanya manis di bibir, tapi rudin implementasi. Bahkan, sebagian besar pejanji mengkhianatinya.
Kejahatan Sistematis
Berburu persenan dilakukan secara sistematis. Tujuannya, mengelabui aparatur penegak hukum. Pada banyak kasus persenan diperoleh dengan menjalankan prosedur yang terkesan transparan. Dalam kasus wisma atlet SEA Games diketahui bahwa tender dilakukan secara terbuka, tetapi pemenang telah ditentukan. Penentuan pemenang dilakukan dengan transaksi antara Sekretaris Kemenpora dan perusahaan rekanan.
Perusahaan rekanan tak lain milik Nazaruddin. Sejumlah persenan diberikan guna memuluskan rencana. Untuk proyek bernilai Rp 191 miliar, Angie diduga menerima Rp 5 miliar. Tak hanya Angie, I Wayan Koster dan ”sang menteri” juga diduga menerima, bahkan untuk ”sang menteri” mencapai 8 persen. Praktik inilah yang membuat negara rugi. Anggaran digelembungkan, tetapi pada implementasinya dana realisasi proyek ditekan. Selisihnya digunakan untuk bagi-bagi persenan. Akhirnya, proyek tidak diselesaikan tepat waktu dan spesifikasi pekerjaan yang telah ditentukan disimpangkan.
Meski telah jamak terjadi, tak mudah menjerat pemburu persenan. Tarik-menarik kepentingan amat kuat terasa. KPK harus melalui beragam rintangan untuk memulangkan dan meminta keterangan dari Nazaruddin.
Sejumlah rekayasa dilakukan guna melemahkan KPK, mulai dari tuduhan pertemuan dengan tersangka sampai penyiksaan terhadap Nazaruddin. Tujuannya jelas: menghalang-halangi penyidikan kasus tersebut. Ketertutupan Nazaruddin membuat penyidikan semakin sulit. Belum lagi drama ”lupa ingatan” yang dipertontonkan rekan-rekan Nazaruddin.
Tak hanya itu, rintangan pun datang dari tekanan politik yang dilakukan rekan sejawat mereka di DPR. Kita tentu tak pernah lupa pada ancaman potong anggaran dan pembubaran KPK yang keluar dari sejumlah anggota DPR. Pernyataan itu bertentangan dengan kehendak rakyat. Padahal, kita semua tahu bahwa DPR adalah wakil rakyat.
Logika yang digunakan justru berangkat dari kehendak terus berburu persenan untuk diri sediri dan golongan. Jika tertangkap saat berburu, segala upaya dilakukan. Upaya itu tentu saja kontraproduktif untuk pemberantasan korupsi. Akhirnya, tidak mudah bagi penegak hukum untuk mengungkap sindikat pemburu persenan di DPR.
Makin Gencar
Dalam 2012 ini bisa diprediksi gerakan berburu persenan akan semakin gencar dilakukan sebab Pemilu 2014 tinggal dua tahun lagi. Dibutuhkan banyak dana untuk ”bertempur” sebab politik di sini berbiaya mahal.
Kini rasanya sulit menemukan partai politik yang ideologis. Maka, langkah pragmatis bernama politik uang pun diayunkan. Dukungan rakyat diperoleh lewat bagi-bagi uang. Tidak tanggung-tanggung: ratusan juta sampai miliaran rupiah digelontorkan. Banyaknya jumlah uang yang dikeluarkan membuat partai politik harus berhitung dan mencari sebanyak-banyaknya pemasukan.
Tidak hanya itu. Tekanan terhadap penegak hukum akan semakin gencar. Semakin banyak yang dijerat oleh pasal korupsi, semakin khawatirlah partai politik. Gesekan antarpartai juga akan semakin kentara. Tindakan saling mengunci dilakukan guna mencegah munculnya pelaku kooperatif seperti Agus Condro.
Maka, penegak hukum harus bekerja ekstrakeras. Meskipun tidak mudah, bukan berarti penegak hukum tidak mampu mengungkap korupsi. Di sinilah batu uji untuk penegak hukum. Batu uji guna membuktikan penegakan hukum tidak terkooptasi oleh kepentingan politik.
Penggunaan pasal tindak pidana pencucian uang yang dilakukan pada kasus Nazaruddin adalah sebuah terobosan yang patut didukung. Upaya mencegah terjadinya praktik berburu persenan harus dilakukan pula. Kita tentu berharap perubahan UU Partai Politik memungkinkan terobosan berarti. Terobosan yang tentu saja berpihak pada upaya mencegah politik uang itu.
Dua tahun rasanya menjadi masa yang cukup untuk menilai implementasi janji-janji partai politik memberantas korupsi. Tantangan kini ditawarkan: mampukah mereka menggunakan dua tahun ke depan untuk merealisasikan janji atau setidak-tidaknya tidak kembali menjadi bagian dari sindikat pemburu persenan.
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran KOMPAS pada 21 April 2012