Oleh : Hifdzil Alim (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Tak semua polisi adalah penegak hukum. Kira-kira begitu petikan kesimpulan ketika mendengar hakim Sarpin Rizaldi, hakim tunggal dalam praperadilan permohonan Komisaris Jenderal Budi Gunawan, membacakan putusan (16/2/2015). Pernyataan itu menjadi bagian dari pertimbangan hukum vonis.
Seakan tak percaya, sejak kapan ada dua model polisi: satunya dianggap sebagai penegak hukum, lainnya bukan penegak hukum? Apakah memang demikian adanya?
Tak ada satu pun judul undang-undang tentang penegak hukum. Bahkan dalam konstitusi sebelum diamendemen atau sesudahnya, juga tidak memuat dengan jelas apa dan siapa penegak hukum itu. Penjelasan tentang bab Pertahanan Negara, misalnya, hanya ditulis “cukup jelas.”
Hukum tidak mengatur secara spesifik istilah penegak hukum. Pengertian mengenai penegak hukum disebar dalam banyak undang-undang. Meskipun begitu, mari menengok kembali cantolan keyakinan makna yang dianut selama ini dalam negara hukum Republik Indonesia. Karena yang dipersoalkan di sini apakah ada polisi yang bukan penegak hukum, pertama sekali yang harus dirujuk adalah UUD 1945.
Pasal 30 ayat (4) Bab XII tentang Pertahanan dan Keamanan Negara UUD 1945 menyatakan, “Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani masyarakat, serta menegakkan hukum.” Aturan ini menunjukkan bahwa tugas kepolisian salah satunya adalah menegakkan hukum. Meski bunyi konstitusi sangat terang, apakah semua polisi dalam kepolisian adalah penegak hukum?
UUD memerintahkan pengaturan lebih lanjut perihal susunan, kedudukan, dan kewenangan kepolisian dalam sebuah undang-undang. Lalu terbitlah UU No. 2/2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia. Ketentuan fungsi penegakan hukum kepolisian ternyata diulangi dalam Pasal 2 UU No. 2/2002. Sebagian bunyi Pasal 2 tersebut, yaitu, “Fungsi kepolisian adalah…penegakan hukum…”
Yang menarik dari UU Kepolisian termaktub dalam Pasal 3 ayat (1), “Pengemban fungsi kepolisian adalah Kepolisian Negara Republik Indonesia yang dibantu oleh kepolisian khusus, penyidik pegawai negeri sipil, dan/atau bentuk-bentuk pengamanan swakarsa.” Ketentuan pasal ini bermakna dua hal. Pertama, kepolisian adalah pengemban fungsi kepolisian. Kedua, ada pengemban fungsi kepolisian yang bukan berasal dari kepolisian.
Demi menguatkan Pasal 3 ayat (1), dalam Pasal 5 ayat (1) UU No. 2/2002 ditekankan kembali fungsi kepolisian sebagai alat negara yang menegakkan hukum. Ternyata, sampai pada pasal terakhir dalam UU Kepolisian, tidak ada satu pun ketentuan yang membedakan bahwa polisi ada yang penegak hukum dan ada yang bukan. Artinya, berdasarkan undang-undang, semua anggota kepolisian adalah penegak hukum.
Apakah berhenti sampai di sini, bagaimanakah undang-undang lain menyebutkan tentang penegak hukum? Setali tiga uang. Aturan hukum lain juga meyakini polisi sebagai penegak hukum. Contohnya, Pasal 31 ayat (3) UU No. 11/2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang mengatur intersepsi (penyadapan). Pasal itu menyebutkan, selain kepolisian dan kejaksaan, penegak hukum lain boleh melakukan penyadapan berdasarkan undang-undang.
UU ITE mengamanatkan bahwa kegiatan penegakan hukum-dalam hal ini penyadapan-harus dilakukan oleh penegak hukum, seperti kepolisian dan kejaksaan. Penyebutannya bukan menunjuk ke orang per orang, melainkan kelembagaan. Artinya, setiap polisi dalam institusi kepolisian adalah penegak hukum. Tak kurang, tak lebih.
Adanya anggapan bahwa polisi harus dibedakan menjadi penegak hukum dan bukan penegak hukum harus dinilai sebagai bentuk penurunan derajat kehormatan kepolisian. Sebuah penilaian yang tak dapat diterima akal sehat. Dalam sejarahnya, polisi sebagai penegak hukum memberikan banyak konstribusi yang menemani tumbuhnya negara Indonesia.
Awaloedin Djamin, mantan Kapolri, dalam tulisannya yang berjudul “Struktur Kelembagaan dan Profesionalisme Polisi” (1995) memaparkan garis historis kepolisian. Di Indonesia diakui fungsi kepolisian telah ada sejak zaman Kerajaan Sriwijaya dan Majapahit.
Setelah Presiden Sukarno menerbitkan Dekrit 5 Juli 1959 dan memerintahkan negara menggunakan kembali UUD 1945, dua tahun kemudian, terbit UU No. 13/1961 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kepolisian Negara. Konsideran menimbang undang-undang itu dengan sangat gamblang menulis, “…agar supaya Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagai alat negara penegak hukum, dalam menyelesaikan revolusi…”
Para pendiri bangsa bersepakat bahwa kepolisian dibentuk sebagai penegak hukum. Maka pada 1 Juli 1955, sekaligus sebagai hari lahir kepolisian atau Hari Bhayangkara, Presiden Sukarno meresmikan pedoman hidup kepolisian: Tribrata. Isi Tribrata yang ketiga adalah Yana anucasaradharma. Polisi wajib menjaga ketertiban pribadi rakyat. Semua polisi merupakan penegak hukum. Jika demikian, masihkah ada pikiran bahwa ada polisi yang bukan penegak hukum?
artikel ini pernah diterbitkan oleh KORAN TEMPO, pada 21 Februari 2015