oleh : Zainal Arifin Mochtar (Pengajar Ilmu Hukum; Ketua PUKAT FH UGM)
Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Busyro Muqoddas mengeluarkan pernyataan menarik yang intinya berbicara tentang gaya hidup mewah dan berlebihan yang dipraktikkan banyak kalangan di republik ini serta biasanya kedekatan gaya hidup tersebut dengan perilaku korup yang ia lakukan.
Dan, karenanya, bukan tidak mungkin, gaya hidup “wah” inilah yang menjadi salah satu causa dari gejala korupsi. Tak lama berselang, lagilagi ia mengeluarkan statemen dekatnya posisi jabatan publik yang dipegang oleh tokoh partai dengan praktik korup. Khususnya di wilayah kementerian yang memang diisi oleh sebagian besar pentolan partai politik dan bisa jadi juga bukan kebetulan, beberapa kementerian ini memang sedang beperkara dengan korupsi dan tengah ditelisik KPK.
Permenungan
Keras tentu saja.Panas juga pastinya, apalagi bagi kalangan pejabat yang tertohok oleh bahasa tersebut.Tanpa perlu perdebatan panjang soal apa itu gaya hidup “wah”dan kuatnya keterkaitan parpol dan kementerian korup, persoalan malah membuncah di wilayah serangan terhadap Busyro melalu pernyataannya. Tentu, banyak yang terganggu dengan dua statemen hampir setara menyakitkannya ini.Terganggu, makanya menjadi hangat dan besar diperbincangkan.
Saya memahaminya secara sederhana. Perkataan pejabat Ketua KPK, tentunya diambil bukan melalui “batu dari langit”. Itu tentunya datang dari proses.Suatu refleksi yang mendalam soal nasib bangsa, berdasarkan berbagai kasus yang tengah ia tangani. Boleh jadi itu adalah hasil dari bacaan terhadap kasus korupsi yang ia saksikan sendiri bahwa banyak pejabat yang terlibat, bahkan pejabat tersebut (bisa jadi kebetulan) juga pemegang kuasa tertentu di partai dan pada saat yang sama memiliki gaya hidup yang berlebihan dan patut dikatakan “wah”.
Selama ini, memang cukup banyak kasus korupsi yang terafiliasi ke partai politik dan itu terbaca jelas di beberapa perkara terakhir yang dikelola oleh KPK dan meributkan jabatan publik. Makanya, saya menganggap tidak ada yang luar biasa dari kedua pernyataan tersebut. Saya juga memahaminya secara sederhana bahwa itu adalah tantangan untuk melakukan permenungan buat bangsa ini.
Saya yakin, Busyro juga boleh jadi melakukan kesalahan berpikir jika melakukan overgeneralisasi pola hubungan gaya hidup dengan perilaku korup serta keterkaitan antara pejabat kementerian dan korupsi partai politik.Tentu selalu ada pengecualian. Tapi dari pernyataan itu, lagi-lagi, saya memahaminya sebagai sebuah imbauan untuk melakukan gaya hidup yang sederhana plus memperbaiki pola hubungan antara partai dengan kementerian. Makanya, keduanya memiliki kadar kebenaran yang cukup tinggi. Banyak pejabat kita tidak lagi mempraktikkan hal yang sederhana.
Tidak ada larangan menjadi kaya tentunya. Tapi memberikan contoh gaya hidup sederhana juga penting untuk menjaga perasaan masyarakat yang masih terdapat jurang pemisah yang sangat dalam antara the have dan the have not. Mereka yang selalu berbicara rakyat di bibir, meneriakkan kata rakyat secara kencang, tetapi tidak memahami jurang pemisah ini tentunya merupakan tindakan yang tidak pas. Lagi-lagi tentu tidak semuanya.Tapi, perilaku tersebut tetap saja bisa mengganggu batin kecil masyarakat. Soal hubungan partai dengan peluang koruptif tidak bisa dinafikan begitu saja.
Dengan koalisi, apa pun yang terjadi, sepanjang partainya masih memberikan dukungan penuh pada kepala negara dan partai sang kepala negara, maka prestasi kerja tetap menjadi alasan kesekian dari sebuah proses reshuffle. Mau terjerat isu korupsi atau tidak, sepanjang partai pengusung masih bersinergi di bawah panji koalisi, ia akan tetap menjadi the untouchable. Makanya,ide Busyro bukan ide yang benar-benar baru. Semacam packagingulang.Sudah sekian lama seiring dengan teriakan untuk membentuk kabinet yang zaken.
Kabinet yang lebih mempertimbangkan kemampuan dan kemauan untuk memperbaiki bangsa dibandingkan kedekatan politik dengan pemilik hak prerogatif mengangkat pembantu. Bukan hal yang berlebihan tentunya berangan-angan mendapatkan menteri yang memang memenuhi kapabilitas,integritas, dan akseptabilitas dan bukan sekadar memiliki kartu anggota partai koalisi.
Kewajiban
Memang, Busyro sendiri harus waspada dengan perkataan ini. Boleh jadi, Busyro sudah sangat lulus ujian untuk soal kesederhanaan. Saya sendiri menjadi saksi atas kesederhanaan mantan Ketua Komisi Yudisial dan sekarang Ketua KPK ini. Saya melihat sendiri bagaimana gaya hidup yang seharusnya bagi pejabat,persis sindiran bersifat sabda yang dia lontarkan.
Namun, Busyro harus paham dan jangan sampai abai soal kementerian dan korupsi partai politik.Jika seperti saya yang menerjemahkan itu sebagai bagian dari permenungan, maka pada saat yang sama tersematkan tugas besar bagi Busyro untuk membongkar itu. Jika memang sabda tersebut berasal dari permenungan yang dalam atas kasus-kasus di KPK, maka pada saat yang sama,ada semacam titah untuk membawa itu ke publik sebagai bagian dari upaya kerja KPK.
Jika memang ada kementerian yang berkaitan dengan parpol yang terindikasi korupsi, tantangannya menjadi besar untuk segera membawa itu ke proses peradilan. Sebagai ketua KPK, ia tidak bisa hanya mengutuki, tapi punya tugas besar untuk menyelesaikannya. Bahayanya besar jika tidak mampu. Apalagi memang selama ini, KPK rajin mengungkap keterlibatan partai, tetapi masih sering gagap dalam menyelesaikannya secara menyeluruh.
Makanya, sabda Ketua KPK penting untuk diingat karena menjadi perintah perbaikan untuk semuanya, termasuk kepada KPK sendiri untuk tidak meratapi masalah, tetapi mampu mengerjakan dan menghajarnya. Mampukah? Semoga!
artikel ini pernah diterbitkan oleh koran SINDO pada 21 November 2011