Oleh
Oce Madril (Pengajar Ilmu Hukum; Peneliti PUKAT FH UGM)
Nasib calon Kapolri yang berstatus tersangka korupsi masih belum jelas. Gagal dilantik, tapi belum mau juga mengundurkan diri. Sementara proses hukum sudah menunggu di KPK. Disisi lain, banyak juga tuntutan agar calon Kapolri segera dilantik oleh Presiden. Tuntutan itu terutama datang dari politisi komisi III DPR dan partai koalisi pengusung Presiden Jokowi. Tuntutan ironis, yang menunjukkan lemahnya komitmen antikorupsi DPR dan partai pengusung Jokowi.
Secara hukum, UU 2/2002 tentang Kepolisian tidak mengatur lebih lanjut perihal pelantikan Kapolri. UU Kepolisian hanya mengatur mekanisme pengangkatan dan pemberhentian Kapolri. Hal itu diatur dalam Pasal 11, bahwa Kapolri diangkat dan diberhentikan oleh Presiden dengan persetujuan DPR. Persetujuan atau penolakan DPR terhadap usul Presiden harus diberikan dalam jangka waktu paling lambat 20 (dua puluh) hari terhitung sejak tanggal surat Presiden diterima oleh DPR. Jika DPR tidak memberikan jawaban dalam waktu tersebut, calon yang diajukan oleh Presiden dianggap disetujui oleh DPR.
Ada yang keliru memaknai batasan waktu 20 hari dalam Pasal 11 itu. Akhir-akhir ini berkembang argumentasi bahwa 20 hari adalah batas waktu bagi Presiden untuk melantik Kapolri. Jika Presiden gagal, maka setelah 20 hari dianggap telah ada Kapolri defenitif. Argumentasi ini disuarakan oleh beberapa politisi komisi III DPR. Dan ini juga dijadikan alasan untuk mendesak agar Presiden segara melantik Komjen BG. Ini jelas pemahaman yang keliru. Batas waktu 20 hari di atas kaitannya adalah dengan mekanisme persetujuan di DPR, tidak ada hubungan dengan pelantikan. UU telah dengan jelas membagi peran lembaga-lembaga terkait pengangkatan Kapolri. Mulai dari Komisi Kepolisian Nasional, Presiden dan DPR. Pelantikan merupakan proses ujung dari pengangkatan Kapolri yang hanya dapat dilakukan oleh Presiden.
Jebakan Pelantikan
Meskipun pelantikan seorang pejabat negara terlihat sebagai tahapan administratif seremonial, tetapi sebenarnya pelantikan memiliki kedudukan hukum yang sangat penting. Dalam hukum administrasi negara, pelantikan merupakan tanda dimulainya jabatan dan penggunaan wewenang dari seorang pejabat negara. Pelantikan menjadi tahap seseorang menjadi pejabat tata usaha negara yang dapat membuat keputusan (beschikking) dan kebijakan (diskresi) yang mempunyai akibat hukum bagi masyarakat sebagai manifestasi kekuasaan dan kewenangannya. Oleh karena itulah sebelum dilantik, seorang pejabat negara harus mengucapkan sumpah jabatan agar taat hukum dan tidak menyalahgunakan jabatannya.
Terkait dengan Kapolri, apakah Jokowi harus melantik BG? Banyak kalangan yang mengusulkan agar Jokowi melantik BG dan segera setelah itu menggantinya dengan calon baru. Usulan ini dapat dipahami karena memang BG telah melalui seluruh tahapan untuk menjadi Kapolri dan dapat mengakhiri polemik sebab BG –karena statusnya tersangka korupsi- segera diberhentikan. Tetapi usulan ini justru bisa memancing masalah baru. Kita harus ingat bahwa untuk memberhentikan Kapolri, membutuhkan persetujuan DPR. Itu bukan semata-mata hak prerogatif Presiden. Justru posisi DPR lebih kuat karena menjadi pemutus akhir diberhentikannya atau tidak seorang Kapolri. Pasal 11 UU 2/2002 ayat 1 dan 2 menegaskan hal itu. Pemberhentian itupun harus disertai alasan-alasan yang sah.
Dalam UU dijelaskan alasan yang sah, antara lain, masa jabatan Kapolri telah berakhir, atas permintaan sendiri, memasuki usia pensiun, berhalangan tetap, dan dijatuhi pidana yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Alasan sah manakah kira-kira akan digunakan Presiden? Tentu Presiden dapat menjadikan status tersangka BG sebagai alasan, akan tetapi bagaimana jika DPR tetap menolak? Bukankah DPR sudah menunjukkan sikap itu ketika menyetujui BG sebagai Kapolri walaupun status tersangkanya masih hangat. Jikalaupun BG mengundurkan diri, DPR tetap dapat menolaknya. Sebab, UU memungkinkan hal itu dan apabila DPR menolak usul pemberhentian Kapolri, maka Presiden menarik kembali usulannya, dan dapat mengajukan kembali permintaan persetujuan pemberhentian Kapolri pada masa persidangan berikutnya. Inilah jebakan yang akan dihadapi oleh Presiden jika melantik BG sebagai Kapolri.
Hak Prerogatif
Persoalan ini muncul karena hak prerogatif Presiden dalam pengangkatan dan pemberhentian Kapolri telah direduksi oleh ketentuan Pasal 11 UU No. 2 tahun 2002. Mekanisme yang harusnya menjadi kekuasaan penuh Presiden, direduksi dengan pelibatan DPR. Celakanya, DPR justru yang menjadi penentu. Ini jelas keliru. Secara ketatanegaraan, Pasal 8 UU 2/2012 menegaskan bahwa Kepolisian berada dibawah Presiden. Kapolri bertanggung jawab kepada Presiden. Urusan pemerintahan yang diberikan kepada Polri, juga merupakan urusan dalam lingkung kekuasaan eksekutif. Dinyatakan dalam Pasal 2 UU Kepolisian bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat.
Dapat disimpulkan secara kelembagaan dan fungsi, Kepolisian adalah bagian dari kekuasaan pemerintahan. Sehingga, sudah seharusnya Presiden memiliki kekuasaan penuh atas Polri. Termasuk hak prerogatif dalam mengangkat dan memberhentikan Kapolri. Hal ini merupakan wujud dari kekuasaan pemerintahan yang ditegaskan dalam Pasal 4 UUD 1945, bahwa Presiden memegang kekuasaan pemerintahan. Ketentuan Pasal 11 ayat 1-5 UU Kepolisian yang memberikan kewenangan besar pada DPR adalah bertentangan dengan konstitusi, Pasal 4 UUD 1945. Disinilah letak pentingnya judicial review UU Kepolisian yang diajukan oleh mantan Wakil Menteri Hukum dan HAM, Denny Indrayana, dkk ke Mahkamah Konstitusi. Mengembalikan konstitusionalitas hak prerogatif Presiden dalam menentukan Kapolri, sehingga Presiden tidak perlu lagi tersandera oleh DPR. MK harus segera menggelar sidang dan memutus perkara ini. Sementara itu, Jokowi dapat menunggu rekomendasi kebijakan dari Tim Independen.
Artikel ini pernah diterbitkan Koran Tempo